Friska Liska Sihombing*
PIRAMIDA.ID- Selamat memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2020. Ada banyak polemik yang tersaji dalam narasi tentang pengesahan hari lahirnya Pancasila ini. Menurut Orde Baru saat itu, lima sila yang ada dalam Pancasila sebetulnya sudah ada dalam diri bangsa Indonesia.
Hari yang dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila adalah 18 Agustus 1945, karena saat itu Pancasila secara resmi sudah menjadi falsafah bangsa dengan disahkannya UUD 1945. Dan tanggal 1 Juni itu hanyalah peringatan awal lahirnya istilah Pancasila. Apapun polemik yang melatarbelakangi tersebut, faktanya, hari ini adalah peringatan hari lahirnya Pancasila.
Dari berbagai sumber, pengertian Pancasila yang penulis baca ada begitu banyak individu dari berbagai latar belakang yang mengartikan Pancasila melebur ke dalam diri masing-masing individu tersebut.
Penulis sendiri kagum dengan pengertian-pengertian yang mereka sajikan. Menurut penulis bahwa Pancasila itu adalah warisan cara pandang yang paling alamiah dan membumi yang diwariskan oleh para founding fathers kita terdahulu untuk bisa kita terapkan. Bisa dikatakan budaya yang paling mendasar yang paling alami dimiliki bangsa ini dan harus benar-benar diwujudnyatakan dalam diri setiap insan. Sederhananya, Pancasila itu melekat dalam diri dan kehidupan setiap warga negara.
Penulis beranggapan demikian karena tiap warga negara yang telah tuntas dengan Pancasila dan konsisten mengamalkan Pancasila itu ke dalam jati dirinya tidak sulit baginya untuk mengartikan Pancasila.
Karakter Pancasila dalam diri bangsa ini mestinya tumbuh bersamaan dengan lahirnya manusia di negara ini (harusnya begitu) dan hal itu secara otomatis menjadi pedomannya – saya sedang membayangkannya.
Menurut Inayah Wahid (Founder Wahid Institute), Pancasila adalah intisari dari semua nilai-nilai kearifan yang bersifat universal sehingga sampai kapanpun tidak akan ketinggalan zaman. Penulis beranggapan pernyataan ini sangat mengikat eksistensi Pancasila itu sendiri untuk di semua zaman.
Oleh karenanya Pancasila masihlah sangat relevan untuk kita bahas, cari tahu, kita segarkan kembali, dan bahkan untuk terus mengilhami Pancasila, karena memang Pancasila itu bukan sesuatu yang usang melainkan ia universal, tetap hidup, dan relevan dalam berbagai lintas zaman.
Pancasila merupakan pijakan paling utama dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat. Terjaganya persatuan bangsa Indonesia bisa sama-sama kita wujudkan selama Pancasila masih menjadi landasannya. Kita jangan tawar menawar lagi dengan hal ini.
Dan bilamana ada seseorang atau sekelompok orang yang mengatakan, misalnya, dia tidak seorang yang “pancasilais” atau keberatan untuk mengakui Pancasila sebagai ideologi atau asas negara ini jauh sebelum dia mampu mengatakan dan menyatakan diri sedemikian dia telah lebih dulu tahu tentang apa itu Pancasila.
Sehingga dia merasa ada nilai-nilai atau terjemahan butir-butir Pancasila tersebut yang dirasa salah dan bertentangan dalam praktik hidupnya sendiri atau pandangannya itu benar-benar tidak membuatnya berhasil menjadi pribadi yang lain.
Dia hanya berargumen dan apabila dia berhasil untuk lepas dari Pancasila itu sendiri dia tidak benar-benar warga negara Indonesia atau dia benar-benar warga negara Indonesia yang gagal faham menerjemahkan Pancasila seturut landasannya terdahulu.
Di era postmodernisme ini, Pancasila bukan tidak mungkin terusik. Dalam perjalananya betapa berat cobaan Pancasila, beberapa kali ideologi bangsa ini dirongrong dan coba untuk diganti dengan ideologi komunis, Gerakan DI/TII di Jawa Barat tahun 1949 yang dipimpin oleh S.M. Karto Suwiryo ia memproklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) pada 7 Agustus 1949, Gerakan Aceh Merdeka, OPM, Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) tahun 1950 yang dipimpin oleh Dr. Soumokil.
Ancaman-ancaman seperti yang disebutkan tadi adalah fakta klasik ancaman yang benar-benar nyata menolak ideologi pancasila. Di era postmodernisme ancaman guncangan Pancasila itu sendiri lahir dari tiap-tiap warga negara yang tidak mampu mengamalkan dan mengaktualisasikan Pancasila.
Bukan dengan wacana pergantian ideologi akan tetapi nilai-nilai luhur Pancasila ditolak secara halus dengan semakin membiarkan diri tetap mencintai, mengonsumsi atau bahkan membangga-banggakan produk buatan luar negeri.
Bangga tidak menjalankan kewajiban agama dengan benar bahkan ada yang merasa bangga merekam dan diupload sebuah video sekelompok remaja di Gorontalo sekitar bulan Mei tahun 2019 lalu yang bercanda saat tengah salat tarawih. Hal ini tidak mencerminkan warga negara yang beradab.
Postmodernisme berusaha untuk mencari hal-hal yang “benar”, dengan terlebih dahulu mengeliminasi kebenaran mutlak dan menjadikan segala sesuatu – termasuk ilmu-ilmu empiris dan agama – menjadi bersifat relatif bagi keyakinan dan keinginan seorang individu.
Dan hal inilah yang terjadi pada sejumlah remaja Gorontalo seperti yang disebutkan dalam contoh tadi. Paham dan cara pandang yang seperti ini pula yang tengah masuk di Indonesia dan mudah-mudahan tidak sampai menggerogoti sejumlah warga negara. Tidak ada penyambutan khusus atas kedatangannya, tetapi inilah yang akan semakin berkembang apabila Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) tidak dengan segera bergerak dan mengerjakan apa yang menjadi tugasnya.
BPIP mempunyai tugas salah satunya, yaitu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Dengan atau bahkan tanpa kehadiran BPIP pendidikan mengenai Pancasila sebagai ideologi bangsa indonesia sebenarnya bisa kita dapatkan di gedung-gedung sekolah bahkan sedari Sekolah Dasar (SD).
Penekanannya adalah BPIP dapat segera melaksanakan tugasnya apabila tidak ingin ideologi bangsa ini terusik. Dari penelusuran yang penulis lakukan belum ada ditemukan penggalan judul berita bahwa BPIP menurut porsinya melakukan pelatihan atau seminar tentang ideologi atau membicarakan eksistensi pancasila (katakanlah begitu). terakhir BPIP melakukan konser.
Visi menjadi seorang pancasilais di tengah pasca modernisme ini akan sangat lebih mudah diupayakan dan diikuti oleh segenap warga negara bila didukung keteladanan para penyelenggara negara dengan penuh integritas. Karena justru era saat ini tidak banyak orang yang mau memerintah pikiran/otaknya bekerja untuk memilah hal-hal mana yang baik untuk diterima dan hal buruk untuk ditolak melainkan sangat mudah untuk menerima keduanya.
Dengan penyelenggara negara mencontohkan yang baik maka mereka akan menjadi suri teladan pula bagi rakyatnya. Tak jarang para penyelenggara negara kita yang justru tidak mencerminkan tindakan seorang yang pancasilais.
Banyak penyelenggara negara yang justru melakukan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan hal itulah yang tidak dapat dibenarkan. Bukan ideologinya yang salah melainkan orang-orangnya yang tidak kooperatif untuk sama-sama mengaktualisasikan dan merawat Pancasila.
Maka mari segenap rakyat indonesia kita aktualisasikan Pancasila, kita amalkan karena setidaknya dengan menyadari apa yang harus kita perbuat dengan Pancasila ini dihari lahirnya kita bisa diingatkan kembali untuk tetap merawatnya sebagai ideologi bangsa ini.
Penulis merupakan founder Kokasi.id (Komunitas Kartini Indonesia). Sekjend PMKRI Santo Fransiskus dari Asisi Cab. Pematangsiantar periode 2018-2019. Saat ini tinggal di DKI Jakarta.