Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- “Intelektualisme tidak pernah identik dengan gelar akademis. Intelektualisme juga tidak identik dengan banyaknya pengamat dan pakar.”
~Jeremy Jenings (1997)
Di zaman sekarang ini, setiap orang merasa sudah mudah untuk menjadi “intelek” karena Google, Ipod dan debat para pengamat dan selebritas di TV dan media sosial. Debat, refleksi dan ketekunan berpikir sudah dianggap tidak lagi relevan saat ini.
Oleh karenanya tidak perlu heran bila sering terjadi konsep berpikir, teori, opini dan intelektual cenderung dianggap terlalu sulit dan abstrak, tidak mewakili semangat kekinian. Pada ujungnya, gosip, desas-desus dan “info terkini” dianggap lebih bernilai dan up to date ketimbang konsep dan kerangka pikir. Selebritas media dan “pengamat” dianggap lebih paham dan menguasai persoalan dibanding kaum intelektual. Popularisme dipandang lebih bernilai dan telah mengalahkan gagasan.
Yupps, kita semakin kehilangan makna utama tentang pendidikan. Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup sekaligus membentuk kebudayaan dan sejarah baru.
Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka itu berorientasi ganda; memahami diri sendiri sekaligus memahami lingkungan semestanya. Ahli-ahli pendidikan mulai dari Ki Hajar Dewantara, Paulo Freire, Rabindranath Tagore, Maria Montessori, Helen Parkhust, mengingatkan fungsi pendidikan sebagai usaha mencerdaskan jiwa menurut kodratnya masing-masing.
Saat ini gejala anti intelektualisme yang cenderung menolak atau merendahkan segala upaya untuk bersikap reflektif, berpegang konsep, ide dan gagasan justru semakin mengemuka.
Lihat saja konstelasi sosial politik dan demokrasi di Republik kita hari ini yang penuh kebisingan dan hingar bingar namun kering substansi dan tanpa kedalaman argumentasi. Aneka perdebatan dan dinamika sosial politik dan demokrasi cenderung berlangsung sekedar pertarungan kepentingan dan ego politik ketimbang mempertengkarkan gagasan dan isi kebijakan.
Penguasaan terhadap substansi kebijakan dianggap tidak lagi penting dan digantikan dengan slogan, retorika dan panggung pencitraan, bila perlu sekaligus pelampiasan emosi dan kekerasan. Kebenaran bisa diputarbalikkan sedemikian rupa (post truth), pengkhianatan dianggap sebuah kesetiaan, kekerasan dan radikalisme dipandang sebagai sikap patriotisme, kebenaran dimonopoli dan yang lain dapat dimusnahkan, kritik dan fitnah terhadap pengambil kebijakan lebih dikedepankan ketimbang mengupas isi kebijakan dan aneka sikap kedangkalan lainnya yang anti intelektual.
Sepertinya kita terlanjur mulai candu dan asyik menikmati itu semua. Anti intelektualisne pada dasarnya adalah gerak balik ke arah kemunduran. Dalam praktiknya gerakan anti intelektualitas ini sering didasari politik identitas (primordialisme) dan sikap “gampangan” yang pragmatis yang disebabkan perluasan logika pasar kapitalis yang memperkuat sikap praktis dalam kehidupan yang cenderung menumpulkan daya kritis dan menyuburkan konsumerisme.
Gejala ini kemudian diperkuat lagi dengan lompatan kemajuan tehnologi yang luar biasa cepat dan masif yang dalam perkembangan demokrasi politik memicu gejala mediokrasi akibat demokratisasi media masa.
Gejala pendangkalan ini dapat kita lihat dalam berbagai kondisi hari ini. Kemajuan teknologi dan informasi yang tidak dapat diramalkan kemana ujungnya menghadirkan gelombang informasi dan akses tanpa batas mendorong terjadinya demokratisasi pengetahuan. Sejatinya masyarakat kita mengalami surplus pengetahuan. Namun, disini malah terjadi ironi kebudayaan kita.
Meluasnya akses terhadap pengetahuan tidak diikuti oleh sikap dan kerangka berpikir baru dalam masyarakat. Pada titik ini yang terbentuk justru “masyarakat gosip” dan info yang kehidupan publiknya cenderung diisi oleh info dan gosip yang kadang tidak memiliki kedalaman. Banyak orang yang merasa maha mengetahui karena menguasai beragam informasi walau sesungguhnya mereka tidak memahami.
Mereka cenderung aktif dan asyik terlibat dalam aneka percakapan publik di media sosial hari ini tanpa merasa perlu memahami sejarah dan asal muasal sebuah gagasan. Masyarakat dengan budaya baru yang “asal tampil” dan gampangan. Yang terpenting sensasi ketimbang argumentasi.
Gejala ini pula yang menghadirkan popularisme pengetahuan yang tuna proses dan anti pada ketaatan berpikir yang otentik. Orang yang taat pada konsep berpikir dan idealisme akan dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman dan tidak memahami dinamika yang berkembang. Makanya tidak perlu heran jika elit dan pemimpin kita hari ini diisi oleh kebanyakan sosok yang pragmatis dan transisional karena ruang politik akan sulit dimasuki oleh para sosok pemikir yang memiliki ide dan gagasan otentik karena akan dianggap tidak mampu memahami aspirasi dan kemauan orang banyak (kebenaran mayoritas).
Kondisi tuna idealisme dan rigid ini pula yang mendorong begitu mudahnya terjadi kompromi dan transaksi kepentingan oleh para elit politisi dalam demokrasi kita hari ini. Sulit menemukan prinsip politik yang konsisten dan berintegritas karena tak ada yang tidak dapat “dinegosiasikan” sekarang ini.
Ironisnya, gejala ketangkasan ini juga merambat dalam sistem pendidikan dan persekolahan kita. Birokratisasi dunia pendidikan sudah sedemikian rupa mengubah arah dan kultur akademik kita. Para guru cenderung terjebak dalam rutinitas kepegawaian dan ekspresi kedinasan semata. Kondisi itu kadangkala membuat para guru memandang dirinya sebagai pegawai an sich ketimbang “mitra berpikir” siswanya. Birokratisasi kampus dan universitas juga tidak berbeda jauh.
Relasi para pemimpin kampus dan ketergantungan dengan birokrasi negara dan elit pengusaha kadang menyebabkan kultur akademik yang semestinya kritis dan independen kadang menjadi redup dan tumpul digantikan kompromi dan pengendalian. Dimensi akademik kadang bahkan dijadikan alat legitimasi kebijakan para elit pemimpin dan politisi.
Hari ini demokrasi dan politik sudah sekedar persoalan teknis saja, bukan lagi soal etis dan prinsip. Sejak aneka kekuasaan politik dapat diraih cukup dengan teknis lewat pencitraan, iklan dan survei, maka politik ideal itu semakin dipandang tidak begitu penting lagi. Anda boleh saja jadi pemimpin tanpa harus capek berpikir dan berpengetahuan atau memiliki prinsip politik. Semua bisa didesain sedemikian rupa oleh para konsultan dan agen yang memilki keahlian untuk itu.
Gejala pendangkalan dan anti intelektualisne ini pada dasarnya anti pikiran dan anti kritik. Ini bisa membuat masyarakat terlambat untuk bertumbuh dan berkembang untuk membentuk sejarah dan kebudayaan baru serta hanya akan menghasilkan kumpulan generasi medioker (tanggung).
Padahal Republik ini sejatinya lahir dari hasil kerja-kerja pikiran dan sejarah perjuangan kaum intelektual dan sudah tentu keberlangsungannya hanya bisa dijaga dan dirawat oleh kaum intelektual pula.
Untuk tidak menyebut aneka gejala lainnya, pertanyaan yang penting dan genting untuk kita ajukan adalah, “Apa sesungguhnya yang dapat kita lakukan untuk menghadapi atas menguatnya gejala pendangkalan ini?”
Saya belum begitu tahu persis. Tetapi paling tidak kita dapat untuk kembali pada cita-cita para pendiri Republik ini dan memulainya dari diri kita sendiri untuk menggali kedalaman otentik masing-masing.
Jika Anda tidak bersedia dan terlanjur asyik dan menikmati semesta kedangkalan itu? Yeah! Saya hanya bisa ucapkan, “selamat merayakannya..!”
Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika.