Joko Priyono*
PIRAMIDA.ID- Progresivitas ilmu pengetahuan mengantarkan manusia pada banyak hal yang ada di dalam kehidupan. Mulai dari yang sederhana hingga yang paling kompleks. Pergeseran subjek yang dikaji dalam pengetahuan pun mengarah dari hal yang semula bersifat makro menuju ke mikro.
Sains menjadi salah satu ilmu yang terus tumbuh dan berkembang dalam mencari data dan fakta untuk membuka tabir realitas dan menyajikannya kepada umat manusia dalam bentuk buah pemikirannya, yakni berupa teknologi.
Teknologi berkemajuan terus bermunculan, kita mengenal di antaranya artificial intelligence (kecerdasan buatan), internet of things (internet untuk segala hal), blockhain, nanoteknologi, bioteknologi, komputasi kuantum, dan pencetakan tiga dimensi (3D).
Namun, apa yang menjadi kunci keberadaan itu semua? Pertanyaan tersebut seakan tak perlu langsung dijawab, melainkan mensyaratkan untuk direnungkan terlebih dahulu sampai mendapati jawaban yang mendekati kebenaran.
Kiranya benar ketika dikembalikan pada konteks keberadaan manusia. Dalam banyak penjelasan, manusia adalah salah satu spesies makhluk hidup di Bumi yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban yang telah tersusun dan berjalan hingga sejauh ini. Dalam konsep teori evolusi, manusia tak lain adalah Homo sapiens atau makhluk yang berpikir.
Kenyataan itu mungkin akan melahirkan pertanyaan lanjut: apa yang menyebabkan? Pertanyaan itu akan memancing pertanyaan demi pertanyaan lain ketika membahas konsep berpikirnya seorang manusia.
Di hamparan luasan alam semesta, dalam proses yang dilalui, manusia kemudian menyadari akan keberadaan dirinya untuk terus berlatih mengaktifkan akalbudi melalui keberanian demi keberanian dalam penyangsian akan realitas yang ada dalam kehidupan. Ia juga terkait dengan kemampuan dalam pemfungsian nalar dan pengelolaan perasaan.
Daniel C. Dennet punya analisis yang lebih mendalam tentang bagaimana memaknai keberadaan akal budi. Filsuf yang banyak melakukan penelitian dalam bidang filsafat akalbudi dan filsafat sains tersebut berhasil memadukan filsafat, ilmu biologi saraf, evolusi, dan gagasan kecerdasan buatan untuk membahas pertanyaan terkait ihwal akalbudi. Ia memaparkan dalam sebuah bukunya yang berjudulkan Ragam Akalbudi dalam enam bab.
Kemudian Direktur Center for Cognitive Studies di Tufts University tersebut menawarkan ide yang layak untuk didiskusikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa ini. Mulanya ia memulai dengan pertanyaan apa saja ragam akalbudi itu.
“Jenis-jenis akalbudi apa saja yang ada? Bagaimana kita bisa tahu? Pertanyaan pertama adalah tentang apa yang ada –tentang ontologi, dalam peristilahan filsafat; pertanyaan kedua adalah tentang pengetahuan kita –tentang epistemologi. Tujuan buku ini bukanlah menjawab dua pertanyaan tersebut dengan tuntas, melainkan memperlihatkan mengapa pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab bersama-sama.”
Pertanyaan dan pernyataan itu membawa pada perenungan akan hakikat keberadaan akalbudi manusia. Sains terus bergerak pada pendobrakan secara revolusioner atas penemuan yang masih belum tertemukan. Kita ketahui bersama, mulai abad ke-20 di banyak cabang keilmuan yang ada di sains bergulat pada teori asal-usul alam semesta. Muncullah cabang ilmu bernama kosmologi, biologi molekuler, fisika kuantum, bahkan neurosains.
Mereka berpacu dalam kuasi ilmiah, hingga ketika dihubungkan dengan perkembangan zaman, muncul pergulatan akan keberadaan kecerdasan buatan. Pertanyaannya, apakah ia semata-mata memberikan keuntungan atau juga menghadirkan ancaman?
Konsep Kecerdasan
Kecerdasan buatan menunjukkan keberadaan kecerdasan yang berada di luar manusia. Konsep yang tak terlepas dari ide seorang ahli matematika Inggris, Alan Turing tersebut semakin membuka peluang bahwa banyak aktivitas maupun pekerjaan manusia pada perkembangan zaman dapat tergantikan oleh kombinasi antara algoritma, data, dan kekuatan pemrograman komputer.
Kalau kita menilik pada konsep kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, ada kecerdasan bernama superficial intelligence yang sejatinya mengilhami kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence). Menariknya, Dennet mengungkapkan akan kebolehjadian bahwa sistem keberadaan manusia tidak lain adalah robot.
“Kalau dikatakan secara tegas, leluhurnya leluhurnya leluhurnya…leluhur Anda adalah robot! Anda bukan saja keturunan robot-robot makromolekuler, melainkan juga tersusun olehnya: molekul hemoglobin, antibodi, saraf, mekanisme refleks vestibulo okuler –di tataran analisis dari molekul dan seterusnya, tubuh Anda (temasuk otak, tentu) didapati tersusun dari bagian-bagian yang dengan tanpa berpikir melakukan kerja yang terancang secara mengagumkan dan elegan.”
Sosok kelahiran 28 Maret 1942 tersebut kemudian menjelaskan terkait beberapa teori yang erat dengan konsepsi keberadaan akalbudi. Mulai dari teori yang dikemukakan ahli psikologi perilaku B. F. Skinner berupa pengkondisian operan, keberadaan sosok David Hume, filsuf yang dalam bahasa Dennet sebagai sosok yang menginginkan gagasan berpikir sendiri, hingga pandangan Donald Hebb terkait behaviorisme –pada 1949 ia mengajukan model pengkondisian sederhana hubungan antara sel-sel saraf.
Dennet kemudian menulis nama pembelajaran berupa ABC, yang terdiri dari asosiasionisme (associationism), behaviorisme (behaviorism), dan koneksionisme (connectionism). Dengan mengkombinasikan banyak konsep ilmu, Dennet, yang bersama tiga tokoh lain –Richard Dawkins, Sam Harris, dan Christopher Hitchens– dijuluki “Empat Penunggang Kuda Ateisme Baru”, melalui gagasan demi gagasan yang ada dalam buku ini mengajak pembaca untuk memahami ulang dan memikirkan kembali makna dan hakikat dari keberadaan akalbudi.
Walaupun perlu kejelian dan ketelitian dalam membaca teks demi teks pikiran Dennet, buku ini dapat dibilang menjadi sebuah warna baru khususnya mengenai diskursus pengetahuan populer. Dan tentu saja, sebagai bahan dalam mendialogkan pengetahuan, sebagaimana upaya dalam memfungsikan akalbudi. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah bagian dari buku ini:
“Tugas akalbudi adalah menghasilkan masa depan, seperti yang dicetuskan oleh penyair Paul Valéry. Akalbudi pada dasarnya adalah antisipator, pembangkit harapan. Akalbudi mengambil petunjuk dari masa kini, yang kemudian diasah dengan bantuan bahan yang disimpannya dari masa lalu, mengubahnya menjadi antisipasi masa depan. Lalu akalbudi bertindak, secara rasional, atas dasar antisipasi yang diperoleh dengan susah payah.”
Joko Priyono merupakan penulis lepas dan bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Terbit pertama kali di kolom detik.