PIRAMIDA.ID- Selama ini kenaikan cukai rokok dianggap hanya menjadi isu bagi konsumen dan pabrikan saja. Padahal, kenaikan tarif cukai rokok yang selama ini terjadi justru berdampak pada seluruh komponen stakeholder di industri hasil tembakau. Mereka yang menjadi tumbal dari keserakahan negara ini bukan cuma pabrik atau pun konsumen belaka.
Naiknya cukai rokok secara signifikan tahun ini, di angka 23% rata-rata, telah berhasil membuat seluruh stakeholder IHT menjadi korban.
Mungkin ya ada sedikit faktor pandemi yang berperan, tetapi aktor utama dari sengsaranya petani, buruh, konsumen kretek, pedagang, dan juga pabrikan tahun ini adalah pemerintah. Karena mereka lah yang membuat kebijakan tarif cukai rokok.
Perlu diketahui, bahkan jika harus berhadapan langsung dengan pandemi, industri rokok saya kira masih sanggup bertahan. Hanya saja, industri hasil tembakau harus menghadapi pandemi di tengah terpaan badai kenaikan cukai 23% tadi. Hal itu yang kemudian membuat keadaan di IHT menjadi berat bagi seluruh pihak.
Perlu diketahui, hingga saat ini produksi rokok telah turuh hingga belasan persen dibandingkan tahun lalu. Bahkan, Sekretaris Jendral Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia memprediksi produksi rokok tahun ini akan jatuh hingga 30%. Suka atau tidak, jatuhnya produksi rokok akan mempengaruhi semua pihak yang terlibat di IHT.
Di Bali, misalnya, para petani cengkeh telah mengeluhkan betapa sulitnya mereka menjual cengkeh dengan harga normal saat ini. Perlu diketahui, rerata harga cengkeh ketika panen berada di kisaran Rp 90 ribu hingga Rp 130 ribu.
Namun, akibat turunnya permintaan, harga pasaran cengkeh saat panen kemarin hanya berkisar di Rp 45 ribu hingga Rp 65 ribu. Sangat jauh dari harga normal.
Harga tadi tentu saja tidak sebanding dengan beban produksi yang harus dikeluarkan petani. Bahkan jika harga jual cengkeh bisa menutup biaya produksi saja, mereka belum mendapatkan laba guna mempertahankan hidup mereka satu tahun ke depan sebelum panen berlangsung lagi.
Hal yang jelas saja membuat mereka rugi meski mereka menanam komoditas asli nusantara.
Tak hanya itu, para petani tembakau di berbagai daerah juga turut menjadi tumbal dari kenaikan cukai rokok tahun ini. Di Ngawi, Klaten, serta beberapa daerah yang bukan menjadi sentra penghasil tembakau, kuota pembelian yang diberikan petani benar-benar minim. Jangankan untuk mengharap harga bagus, untuk menjual tembakau yang telah dipanen saja petani sudah sulit.
Semua terjadi lantaran turunnya produksi membuat pabrikan ikut mengurangi kuota pembelian baik cengkeh juga tembakau. Turunnya kuota pembelian ini berdampak pada sulitnya petani menjual hasil panen mereka. Jangankan mengharap harga bagus, bisa terjual saja sudah alhamdulilah.
Hal yang sama juga terjadi di sektor pekerja atau buruh yang harus kehilangan pekerjaan lantaran beberapa pabrik rokok harus tutup akibat keadaan ini. Berdasar hitungan dari Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia, pada setiap penurunan 5% produksi, potensi PHK bagi pekerja ada di kisaran 7 ribu orang. Coba bayangkan seandainya produksi turun 30%, berapa banyak kena PHK?
Semua ini terjadi akibat keserakahan pemerintah dalam mengeruk uang cukai rokok. Dengan asumsi mendapatkan dana segar yang besar, kenaikan cukai pun dikerek setinggi-tingginya. Walau pada kenyataanya, tahun ini sebenarnya pendapatan pemerintah dari cukai rokok tak sesuai ekspektasi mereka sendiri.
Jika mengacu pada pada APBN 2020, target penerimaan cukai rokok tahun ini ada di angka Rp 171,9 triliun. Target ini kemudian berkurang di APBNP 2020 hingga hanya menjadi Rp 164,9 triliun. Angka tersebut berada di bawah total penerimaan cukai rokok tahun 2019 yang ada di kisaran angka Rp 165 triliun. Ini menjadi bukti jika naiknya tarif cukai tak mesti seiring naiknya penerimaan cukai.
Dengan begitu, harusnya pemerintah belajar bahwa kenaikan cukai rokok yang tinggi seperti tahun ini justru membawa kerugian, bahkan untuk mereka sendiri.
Mengingat target penerimaan Rp 164.9 triliun tahun ini juga diprediksi tidak bakal tercapai akibat kondisi buruk di IHT. Pada akhirnya, pemerintah turut menjadi tumbal dari kebijakan mereka sendiri.(*)
Komunitas Kretek Indonesia.