PIRAMIDA.ID- Tentang Nobel Sastra, Indonesia punya Pramoedya Ananta Toer yang berkali-kali dinominasikan sebagai peraih penghargaan bergengsi tersebut.
Hanya saja, Pram kurang beruntung, hingga ia meninggal tahun 2006, penghargaan tersebut gagal didapatkannya.
Meski penghargaan Nobel Sastra adalah penghargaan yang dianggap tertinggi untuk sastra di planet ini, namun ada dua nama yang dikenal pernah menolak untuk mendapatkan nobel sastra ini.
Kedua orang tersebut adalah Jean Paul Sartre dan Boris Leonidovich Pasternak. Keduanya punya alasan berbeda untuk penolakan ini.
Jean-Paul Sartre, Menolak Karena Pertimbangan Pribadi dan Alasan Politis
Nama Jean-Paul Sartre semakin melejit ketika diumumkan sebagai pemenang Nobel Sastra tahun 1964. Karya-karya filsafatnya dianggap bermuatan semangat akan kebebasan, mempertanyakan kebenaran dan juga tentunya kaya gagasan. Jean-Paul Sartre, ialah yang pertama meletakkan ekstensialisme dalam filsafat.
Namun, alih-alih menerimanya, Sartre justru menolaknya karena tidak ingin disebut sebagai “penerima Nobel Sastra”. Ia menganggap terlalu tinggi kemuliaan sebagai penerima Nobel Sastra yang nantinya malah membebani pembacanya.
Belakangan, diketahui juga ada motif lain dari Sartre menolak penghargaan bergengsi tersebut. Katanya, panitia Nobel berlaku tidak adil terhadap penulis dari Blok Timur, ketika dunia masih berada di perang dunia dan terbagi antara Blok Barat dan Blok Timur.
Alasan inilah yang akhirnya menjadikan banyak orang menganggap Sartre berpihak pada blok komunis. Padahal, Sartre sendiri menyatakan bahwa hal ini lebih didasari atas keadilan dan kesamarataan. Sebab, sejatinya Ekstensialisme yang dikemukakannya, merupakan bentuk protes terhadap gerakan totaliter, seperti komunis salah satunya.
Boris Pasternak: Penghargaan Dianggap Kerja CIA
Boris Leonidovich Pasternak adalah penulis asal Uni Sovyet (sekarang Rusia). Sebuah novel yang menjadi best seller dunia karangannya, Doctor Zhivago, adalah sebuah karya fiksi yang dianggap mengandung kritik terhadap sosialisme Uni Sovyet. Hasilnya, novel ini akhirnya dilarang diperjualbelikan di Uni Sovyet.
Namun, agar karya ini dapat dinikmati oleh penggemar sastra, karya tersebut dikirimkan ke Italia, dan penerbit Italia yang menerbitkannya pada tahun 1957. Novel tersebut mendapatkan respon yang baik, sampai kembali dicetak dan disebarluaskan ke seluruh dunia, dengan Bahasa Inggris.
Ketika dialihbahasakan menjadi Bahasa Inggris, novel tersebut justru menjadi novel dengan penjualan terbaik era itu di seluruh dunia. Ditambah lagi, ketika panitia Nobel Sastra mempublikasikan bahwa Pasternak adalah penerima Nobel Sastra, maka novel “Doctor Zhivago” semakin terkenal ke seluruh dunia.
Namun, ternyata (seperti yang akhirnya benar-benar terbukti), CIA (agen rahasia Amerika) berada di belakang keberhasilan serta kepopuleran novel tersebut.
Penerbitan ke seluruh dunia dalam Bahasa Inggris, ternyata dibekingi oleh CIA. Tentu saja, tujuannya adalah untuk “membongkar kebusukan Uni Sovyet kepada dunia” lewat karya Boris Pasternak.
Mengetahui hal itu, Uni Sovyet akhirnya menahan Boris Pasternak untuk tidak mengambil penghargaan tersebut di tahun 1958 ke Stockholm, Swedia.
Apabila Pasternak nekat ke Swedia, maka sebaiknya tidak usah kembali lagi ke Sovyet. Pasternak memilih untuk tidak mengambil penghargaan Nobel tersebut, karena ia mencintai tanah airnya. Baginya, tidak boleh kembali lagi ke negaranya, sama saja dengan kematian.
Sumber: Pojokseni.com