Ella S. Prihatini
PIRAMIDA.ID- Ada lebih banyak perempuan yang maju dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) 2019 dibanding Pileg-pileg sebelumnya.
Tampaknya syarat mencalonkan minimal 30% kandidat perempuan agar partai politik bisa berkompetisi dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) telah berhasil “memaksa” partai untuk patuh.
Setidaknya ini terlihat dari Pileg terakhir pada 2019 saat rata-rata jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua partai mencapai 41,2%.
Kuota gender penting untuk meningkatkan keterpilihan perempuan agar mencapai critical mass.
Critical mass adalah jumlah minimal yang diperlukan menciptakan perubahan (rata-rata dipatok 30% dari jumlah kursi legislatif) agar mereka bisa memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.
Penelitian yang saya lakukan pada 2019, dan baru saja terbit di jurnal Politics & Gender, menemukan bahwa partai-partai politik telah berupaya mencalonkan lebih banyak perempuan.
Namun, meski jumlah caleg perempuan bertambah, keterpilihan calon perempuan dalam Pileg masih rendah.
Penuhi kuota
Di Indonesia, tujuh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan berpartisipasi di dalam setiap Pileg sejak 2004 telah mencalonkan perempuan sesuai ketentuan kuota pada Pileg 2014 dan 2019.
Semua partai, baik yang berideologi Islam maupun pluralis/nasionalis, sama-sama telah lebih banyak mencalonkan perempuan.
Data menunjukkan nominasi caleg perempuan di Pileg 2019 rata-rata naik 25% dibandingkan tahun 2004.
Perempuan bukan prioritas
Meski jumlah caleg perempuan bertambah, jumlah perempuan yang memegang kursi di parlemen lebih rendah.
Pada Pileg tahun lalu, misalnya, tingkat kemenangan caleg laki-laki 2,6 kali lebih tinggi dibanding perempuan.
Ini karena banyak partai yang masih belum memprioritaskan caleg perempuan.
Masih sangat sedikit partai yang memberikan nomor urut satu kepada perempuan, padahal mayoritas caleg yang terpilih adalah caleg-caleg yang berada di posisi teratas.
Lewat wawancara dengan ketua fraksi dan ketua badan pemenangan pemilu masing-masing partai, saya menemukan bahwa seleksi caleg oleh mayoritas partai di Indonesia masih sangat tertutup dan tersentralisasi.
Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan terkait pencalonan anggota parlemen di banyak negara yang tertutup dari publik.
Publik tidak benar-benar tahu mekanisme apa yang menentukan seorang caleg mendapat nomor urut 1 atau 9 dari partai.
Namun khusus di pengalaman PPP tahun 2014, terjadi lonjakan alokasi nomor urut teratas untuk caleg perempuan.
Responden saya menyebut bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah ketua badan pemenangan pemilu PPP di tahun itu adalah perempuan.
Ini menarik karena sesuai dengan riset sebelumnya yang menemukan bahwa jenis kelamin ketua tim pemenangan (laki-laki atau perempuan) berperan penting dalam mendorong atau menghambat kandidat perempuan untuk mencalonkan diri.
Kuota gender adalah konsep yang cukup baru. Di dunia, pada 1995, kuota gender hanya diterapkan lewat undang-undang di Argentina dan Nepal.
Kini, menurut data Inter-Parliamentary Union (IPU), ketentuan kuota gender telah diterapkan di 81 negara Di banyak negara, kuota gender telah berhasil membuat jumlah perempuan di parlemen meningkat. Data IPU menunjukkan negara dengan kuota gender memiliki legislator perempuan lebih banyak (30,3%) daripada negara yang tidak menerapkan (17,9%).
Biaya saksi dan kendala rekrutmen
Sebagian responden riset saya mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menjaring perempuan yang tertarik untuk berkompetisi demi kursi legislatif di DPR.
Tapi sebagian lainnya menilai animo perempuan untuk menjadi caleg sudah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun terdahulu.
Terlebih lagi, partai politik menetapkan sedikitnya Rp 500 juta untuk harga posisi nomor urut 1 di kertas suara.
Maka tak heran jika banyak caleg perempuan terbatas berasal dari latar belakang ekonomi atas.
Harga nomor urut satu setiap partai tentunya berbeda-beda, namun justifikasinya satu: partai membutuhkan dana untuk menyiapkan saksi di sekitar 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar pencatatan akurat.
Biaya saksi ini dibebankan kepada caleg dengan sistem iuran, tapi sebagian pihak menyebutnya dengan “mahar” yang dibayarkan caleg agar bisa dicalonkan oleh partai.
Praktik ini sudah sepatutnya mendapat perhatian dari semua kalangan.
Tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pencatatan hasil pemilu dan masifnya aksi jual-beli suara menimbulkan ancaman serius bagi demokrasi.
Lebih khusus lagi ini adalah ancaman bagi representasi politik perempuan, sebab pemilu yang mahal membuat partisipasi perempuan semakin terbatas.
Kuota gender 30% bisa jadi berhasil memaksa partai untuk mencalonkan lebih banyak perempuan dalam Pileg.
Namun, bila caleg perempuan hanya ditempatkan di nomor urut rendah yang kecil potensi menangnya, maka kenaikan jumlah caleg perempuan tidak akan meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR secara optimal.
Selain itu, biaya kampanye yang sangat mahal (termasuk kewajiban menyetor uang agar dapat nomor urut satu), membuat caleg perempuan hanya terbatas di antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat.
Lagi-lagi, ini akan menguatkan cengkraman oligarki di politik Indonesia.
Penulis merupakan pengajar di Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara. Artikel pertama kali terbit untuk The Conversation.