Alboin Samosir*
PIRAMIDA.ID- Dalam konsep negara hukum, kehadiran kebijakan merupakan instrument yang berperan penting dalam mendorong keberhasilan suatu negara. Kebijakan lazimnya dituangkan dalam sebuah peraturan. Maka lahirlah istilah kebijakan publik, yang memiliki hubungan yang erat dengan administrasi pemerintahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan publik adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang perintah, organisasi, dan sebagainya). Berkaca dari pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan kebijakan publik merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah baik yang tertulis maupun yang tidak terlulis yang bertujuan agar tercapainya sesuatu yang diinginkan.
Pemerintah selaku elemen yang bertugas dalam menyelenggarakan kebijakan publik tidak terlepas dari asas pemerintahan yang baik dan benar. Dalam hukum positif, asas ini muncul dalam sebuah peraturan perundang-undangan, di mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yakni pada Pasal 3 disebutkan beberapa asas penyelenggaraan negara, yaitu: asas kepastian hukum; asas tertib penyelenggaraan negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; dan asas akuntabilitas.
Namun, dalam praktik keseharian sering sekali asas ini berakhir sebagai tulisan dan kata-kata yang sering diucapkan oleh para pejabat publik ketika membuka suatu acara kenegaraan dan beberapa acara seremonial lainnya. Asas yang seharusnya menjadi pedoman dalam mengambil kebijakan publik sering sekali diabaikan oleh para pejabat publik. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya permasalahan sosial di masyarakat mulai dari terjadinya ketidakadilan, ketimpangan sosial, kemiskinan, dan sejumlah permasalahan lainnya. Ketidakmampuan dalam menyelenggarakan asas pemerintahan yang baik dapat berkaca dari penanganan pandemi Covid-19.
Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia bisa dikatakan belum memenuhi asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan benar. Hal ini terlihat dari lemahnya kebijakan antisipatif dan mitigasi dari pemerintah. Di saat negara lain sudah mulai melonggarkan aturan tentang protokol kesehatan, Indonesia justru menghadapi situasi yang kian memburuk. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari serangkaian kebijakan pemerintah yang semenjak kehadiran pandemic cenderung menganggap sepele permasalahan pagebluk ini.
Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan 2 orang yang beralamat di Depok, Jawa Barat terinfeksi virus Covid-19. Namun, bukannya segera mengambil tindakan konkret dalam penanganannya, pemerintah justru masih cenderung mengabaikannya.
Hal ini bisa dilihat dari serangkaian pernyataan para stakeholder yang kala itu masih saja menganggap enteng permasalahan ini dan hal itu diperparah karena ketiadaan langkah mitigasi yang tepat untuk segera menekan laju penyebaran virus ini.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai pemerintah mengeluarkan sejumlah pernyataan blunder selama pandemi Covid-19. Dikrektur untuk media LP3ES, Wijayanto mengatakan, “Di awal wabah, pemerintah terkesan menolak peringatan-peringatan yang disampaikan lembaga dunia dan penelitian-penelitian berbagai universitas dunia bahwa virus Corona bisa saja menyerang Indonesia.”
Bahkan, Menteri Kesehatan saat itu, Terawan mengatakan, “Tidak perlu panik dengan virus corona, enjoy saja.”
Selain pernyataan Terawan yang terkesan menyepelekan permasalahan pagebluk ini, terdapat beberapa pernyataan dari para pejabat publik yang memiliki tendesi yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh Mahfud MD melalui media sosialnya. Ia mengatakan, “Covid-19 tak mungkin masuk ke Indonesia karena perizinannya berbelit-belit.”
Selain Mahfud MD, masih ada Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan, “Corona kan sudah pergi dari Indonesia.” Pernyataan menggampangkan lainnya keluar dari kepala BNPB yang mengatakan, “Mungkin karena kita sering minum jamu makanya kita baik-baik saja.”
LP3ES mencatat terdapat 37 pernyataan blunder dari pemerintah di awal-awal kehadiran pandemi Covid-19 di Indonesia. Tidak hanya pernyataan yang blunder dari para pemangku kebijakan ini, tetapi juga langkah-langkah antisipatif yang masih lambat. Semenjak diumumkannya kedua warga yang terinfeksi pada 2 Maret, Pemerintah baru mengeluarkan kebijakan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 10 April 2021. Artinya selama interval Maret-April tidak ada langkah konkret yang diambil oleh pemerintah.
Sudah satu setengah tahun pandemi Covid-19 dilalui, praktis sampai hari ini belum ada solusi yang benar benar konkret dari pemerintah, selain munculnya istilah-istilah baru dalam penanganannya.
Setelah PSBB dianggap tidak mampu menekan laju infeksi virus ini, terbitlah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai dari PPKM Mikro, PPKM Makro, PPKM Level 1 hingga level 4, dan yang terbaru yakni dikeluarkannya Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali.
Apabila berkaca dengan kondisi yang terjadi di masyarakat sesungguhnya serangkaian kebijakan dan penamaan yang rumit belum mampu mengubah kondisi penanganan Covid-19 di Indonesia. Justru Indonesia masih saja berada di kubangan yang sama. Per Selasa (20/7/2021) jumlah terinfeksi positf di Indonesia mencapai 38.325 kasus. Angka ini tentu saja menempatkan Indonesia sebagai salah satu negera dengan tingkat penularan tertinggi di dunia. Selain angka penularan yang tinggi, hal yang sama terjadi dengan angka kematian akibat Covid-19. Rabu (21/7/2021) angka kematian mencapai 1383 kasus. Ini merupakan angka kematian tertinggi di dunia.
Selain penularan dan kematian yang mencapai angka yang memprihatinkan, dampak lain dari pandemi Covid-19 ini adalah mereka yang menjadi korban dari pemberlakuan PPKM Darurat ini. Jauh sebelum PPKM Darurat, telah banyak kasus yang merugikan masyarakat. Mulai dari massifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan kepada para karyawannya. Menurut Kamar Dagang Industri (Kadin) hingga awal Oktober 2020, 6,4 juta tenaga kerja mengalami PHK. Sementara menurut data Kementerian Keuangan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Sehingga per bulan November 2020 ini total jumlah pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang.
Kondisi lain yang menambah kisah buram penanganan Covid-19 di Indonesia terutama ketika angka yang terinfeksi cukup tinggi adalah ketidaksiapaan sarana dan prasarana dalam mengadapinya. Maka tidak heran di media sosial kita menemukan bagaimana rumah sakit mengalami over capacity, tenaga kesehatan yang terbatas, pasien terlantar, ketersediaan oksigen yang tidak memadai, kurangnya ventilator, yang pada akhirnya memaksa beberapa pasien Covid-19 menjalani isolasi mandiri, di mana ironinya banyak pasien yang meregang nyawa ketika menjalani isolasi mandiri.
Menurut Lapor Covid-19, sebuah wadah laporan warga, hingga Senin (19/7/2021) mencatat setidaknya 682 pasien Covid-19 meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri. Peristiwa meninggalnya pasien di luar fasilitas kesehatan ini telah terdeteksi di 16 provinsi di Indonesia, dengan kasus tertinggi di Jawa Barat sebanyak 248, kemudian 114 kasus di Jawa Tengah, dan 107 kasus di Yogyakarta.
Karut marut ini semakin diperparah dengan banyaknya tindakan-tindakan arogansi yang dilakukan oleh aparat selama pemberlakuan PPKM Darurat. Banyak pedagang yang menjadi korban dari tindakan penertiban ini mulai dari merampas barang dagangan, menyiram dengan air, hingga aksi pemukulan. Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri menyebut, berdasarkan hasil pemantauan, telah terjadi 50 kasus penggunaan kekerasaan atau tindakan koersif selama masa penegakan PPKM Darurat.
Di tengah jumlah korban yang meningkat setiap harinya dan semakin banyaknya masyarakat mengalami ketidakpastian hidup dikarenakan kehilangan mata pencaharian, sejauh ini masih belum ada tanda-tanda akan ada langkah serius yang akan diterapkan pemerintah, bahkan setelah PPKM Darurat sudah diperpanjang seruan penolakan PPKM Darurat semakin menggema dari berbagai daerah. Lantas, apa yang harusnya dilakukan pemerintah selaku pengambil dan penentu kebijakan dalam menangani pandemi ini?
Apa yang terjadi hari ini merupakan akumulasi dari lambatnya penanganan pandemi Covid-19, perilaku pejabat publik yang menggangap sepele pandemi Covid-19, pengabaian akan sains, dan memilih menerapkan PSBB, PPKM dengan berbagai variannya itu, dibandingkan menerapkan regulasi yang sudah ada sebelumnya, yakni Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sebab penerapan PSBB dan PPKM tak ubahnya perang diksi yang digunakan pemerintah untuk mengelak dari tanggung jawab sosialnya. Meskipun terkesan terlambat, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas dan serius jika tidak ingin Indonesia tenggelam dalam Covid-19. Tenggelamnya Indonesia dalam kubangan pandemi ini bisa dipastikan Indonesia akan mengalami krisis berkepanjangan. Langkah tegas dan serius yang dapat diambil pemerintah adalah dengan menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan dan pembatasan kerumunan secara humanis.
Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sesungguhnya menjadi petunjuk sekaligus jalan dalam menuntaskan pandemic Covid-19. Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini pemerintah diwajibkan melakukan karantina kesehatan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan.
Selain diwajibkan melakukan karantina kesehatan, Pasal 55 Undang-Undang ini disebutkan selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Tidak hanya mewajibkan pemerintah, undang-undang ini juga mewajibkan bagi setiap warga yang mengalami karantina wilayah wajib mematuhinya (Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2). Yang dimaksud kebutuhan dasar di sini adalah kepastian hidup dan keselamatan. Di samping itu, untuk mendukung pelayanan publik dalam penangan nan Covid-19 adalah pemerintah perlu membuat pedoman yang jelas dalam menertibkan kerumunan.
Berkaca dari kasus penertiban pedagang yang diboncengi dengan tindakan koersif tidak dapat ditolerir, sebab sesungguhnya yang ditertibkan itu adalah kerumunannya bukan pedagangnya. Jika pemerintah tidak dapat menjamin kepastian hidup kepada mereka, maka jangan halangi mereka untuk tetap bertahan hidup.
Meskipun terkesan kontroversial, tetapi upaya vaksinasi merupakan salah metode yang cukup efektif dalam menekan laju pandemic Covid-19 ini, sebab dengan vaksinasilah herd immunity akan terbangun di masyarakat. Maka perlu ada upaya edukasi dan sosialisasi yang massif kepada masyarakat tentang manfaat dari vaksinasi ini dangan catatan pemerintah dilarang mengkomersialkan vaksin.
Sebab dalam situasi yang seperti ini, pemerintah wajib memastikan seluruh masyarakat Indonesia dapat mengakses vaksin secara gratis. Sekaligus menjamin proses pendistribusian vaksin di setiap daerah dapat dilakukan secara massif dan merata.(*)
Penulis merupakan Presidium Gerakan Kemasyarakatan (PGK) PP PMKRI Sanctus Thomas Aquinas.