Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- “Sejumlah kecil orang yang memiliki energi lebih besar dari masyarakatnya yang letih. Memiliki kejernihan di tengah lautan kekeruhan pikiran di sekitarnya, memiliki semangat jauh lebih besar dari masyarakatnya yang putus asa. Memelihara dan terus menyebarluaskan optimisme akan hari esok yang lebih baik di tengah luapan pesimisme di sekitar mereka. Dan peradaban besar, tidak dibangun oleh orang banyak, tetapi oleh orang sedikit semacam itu…”
(Arnold Toynbee )
Ungkapan sejarawan Inggris ini langsung terlintas dalam kepala saya ketika diminta oleh rekan-rekan kaum muda penggagas media informasi-kreatif “Piramida” untuk kali perdana mengisi kolom ini. Kondisi hari-hari belakangan ini atas badai pandemi COVID-19 yang melanda dunia dan bangsa ini menghadirkan semesta persoalan, tantangan sekaligus cara dan strategi menghadapinya. Karena sesungguhnya ini “ujian peradaban”.
Tentu saja tulisan ini tidak mencoba melihat persoalan tersebut dalam konteks kebijakan kesehatan, akan tetapi lebih pada korelasinya terhadap proses demokratisasi dan kualitas kewargaan.
Defisit agen adalah problem demokratisasi. Dalam konteks ini, para pemimpin dan tokoh dari berbagai kalangan diposisikan sebagai agen-agen yang memfasilitasi perubahan dan kebaharuan. Merekalah yang diharapkan menjadi agen demokratisasi.
Namun saat ini kita justru mengalami gejala “kelangkaan agen”, baik dalam bentuk; ketersediaan, maupun isi; kualitas para agen.
Defisit agen tak lain adalah gejala salah fungsi dan nihil fungsi dari para agen yang ada di tengah-tengah masyarakat. Gejala ini melanda aneka agen-agen demokrasi saat ini baik politisi, pejabat publik, agen sosial dan kebudayaan, intelektual, seniman, aktivis bahkan para agamawan.
Sebut saja para politisi yang cenderung gagal membangun kualitas pemilih (voters) tapi justru memelihara pendukung yang membabi-buta (supporters).
Para pejabat publik yang semestinya memfasilitasi pelayanan kepentingan publik, namun justru menjadikan publik sekedar instrumen dari kepentingan dan otoritas mereka. Para intelektual yang membentuk opini publik sekaligus pembentuk dan penjaga nalar mayarakat, justru cenderung menjadi alat pembenar (legitimasi) kebijakan kekuasaan yang seringkali kurang berpihak pada kepentingan warga.
Para ilmuwan, budayawan, seniman dan aktivis yang memainkan peran penting menjaga adab dan ingatan sekaligus membangun individu dan warga yang berkarakter malah terjebak pada egoisme sempit dan dimanjakan para pemuja dan penggemar mereka.
Para agamawan juga tidak terlepas dari jebakan ini, tugas profetis untuk membangun kesadaran jemaah untuk beragama secara tidak membabi buta cenderung gagal diwujudkan dan sekedar membangun penganut, pengikut dan massa yang memonopoli ‘rezim kebenaran’ sendiri dan menegasikan “yang lain” (others).
Gejala defisit agen demokratisasi itu semakin parah dan terpampang jelas dalam situasi genting pandemi COVID-19 yang melanda dunia dan bangsa kita saat ini. Pertaruhan bangsa dalam menghadapi badai pandemi ini sesungguhnya tidak terletak sekedar identifikasi dan jenis virusnya, tetapi bagaimana kualitas dan cara kita menghadapinya.
Pada titik inilah kualitas kewargaan masyarakat menjadi relevan untuk dibicarakan; justru ketika kita tidak bisa berharap banyak pada peran para tokoh dan pemimpin itu atau ketika terjadi defisit dan kelangkaan “para agen demokratisasi” itu hampir di sebagian besar sektor kehidupan kita. Membangun kualitas warga negara adalah ajakan untuk menjadikan setiap warga serta komunitas dan lokalitas yang terbangun di sekitar mereka sebagai modal sosial penting bagi demokratisasi.
Warga negara adalah sebuah identitas politik yang setidaknya ditandai oleh lima kualitas.
Pertama, paham dan bisa menjaga hak-hak sendiri. Kedua, tahu dan bisa menjaga hak-hak orang lain. Ketiga, proaktif dalam penegakan hak-hak sendiri. Keempat, bertumpu pada diri sendiri atau mandiri. Kelima, melawan secara beradab apabila terjadi pencederaan terhadap hak-hak sendiri dan orang lain.
Hemat saya, peran ini dapat dilakukan oleh siapa saja dan khususnya kaum muda penerus sejarah bangsa ini ke depan. Salah satunya kaum muda yang sudah memulai hadirnya wadah informasi kreatif “Piramida” dan penyedia kolom ini sebagai salah satu entitas yang dapat memainkan peran “minoritas kreatif” di atas.
Selamat berjuang…!
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik. Pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.