Oleh: Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- Asal-usul dan senioritas Jailolo dalam urutan berdirinya kerajaan-kerajaan Maluku, Jailolo dipandang sebagai kerajaan tertua. Walaupun diakui sebagai kerajaan tertua oleh kerajaan-kerajaan Maluku lainnya, tidak dapat dipastikan kapan kerajaan ini didirikan.
Yang dapat dicatat hanyalah peristiwa kesejarahan bahwa pada masa awal ada seorang raja perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuah kerajaan di bagian utara pulau Halmahera – mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dari Jailolo. Menurut cerita rakyat di daerah ini, perkawinan antara Ratu Jailolo dengan Raja Loloda merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada Jailolo menguasai seluruh Halmahera.
Politik Jailolo berhasil, sebab sebelum tahun 1250, teritorial Kerajaan Jailolo telah meliputi hampir seluruh Halmahera, termasuk Loloda.
Sumber Nagarakartagama mengungkapkan bahwa ketika Jailolo terbentuk sebagai Kerajaan, wilayahnya belum mencakup Halmahera Utara bagian barat, karena di sana terdapat Kerajaan Loloda. Di samping itu, di bagian utara Halmahera juga terdapat Kerajaan Moro, yang pada masa belakangan menjadi sasaran perluasan Kerajaan Jailolo di bawah Katarabumi pada abad ke-16. Bagian barat Kerajaan Jailolo adalah Batu Cina, yang letaknya berhadapan dengan Kepulauan Maluku – yakni pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian.
Jailolo semula adalah nama sebuah desa, dan kerajaan yang berdiri di desa itu kemudian diberi nama yang sama. Menurut sumber Nagarakartagama, yang disusun oleh Mpu Prapanca, kemungkinan kolano pertama Jailolo adalah seorang perempuan yang berkuasa secara tiran dan memerintah dengan tangan besi.
Setelah Ratu Jailolo yang tiran itu wafat, Loloda terlihat mampu melepaskan diri dari
kekuasaan Jailolo. Sebab, ketika berlangsung pertemuan Moti pada abad ke-14, Raja Loloda berikhtiar untuk menghadiri pertemuan tersebut, tetapi terhalang oleh angin ribut, yang menyebabkannya mendarat di Dufa-dufa, Ternate. Karena memerintah dengan tangan besi, terjadi perlawanan dan pembangkangan terhadap Kolano Jailolo, yang diikuti dengan eksodus para pembangkang politik ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, dan Bacan.
Makian. Di pulau-pulau inilah para pemberontak Jailolo mendirikan kerajaan-kerajaan – salah satu di antaranya yang terbesar dan terkuat adalah Ternate – yang, pada gilirannya, merongrong dan bahkan mengakhiri eksistensi Kerajaan Jailolo.
Tentang status Jailolo sebagai kerajaan tertua, pendapat berbeda dikemukakan oleh Prof. Lapian dalam salah satu publikasinya tahun 1994, dengan menelaah berbagai mitos yang berhasil direkam Portugis sekitar tahun 1544, Prof. Lapian sampai pada kesimpulan bahwa garis Raja-raja Maluku berawal dari empat buah telur naga yang menetaskan tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Dari tiga orang anak laki-laki itu, seorang menjadi Raja Bacan, yang lain menjadi Raja Papua, dan seorang lagi menjadi penguasa Butung dan Banggai, sementara yang perempuan menjadi permaisuri Raja Loloda.
Berdasarkan versi ini, maka hanya terdapat dua kelompok Maluku Utara, Bacan sebagai
yang tertua dan Loloda yang mewakili rakyat yang bertutur dengan bahasa Halmahera Utara. Tidak ada penyebutan tentang Ternate, Tidore, dan Jailolo.
Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batu Cina yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, di mana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen.
Namun Batucina tidak punya hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah.
Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan di Jailolo.
Sekali waktu, Kerajaan Jailolo pernah berada di bawah kekuasaan seorang asing bernama Syarif, yang diduga datang dari Makkah. Ia adalah adik Sultan Mindanao (Mangindanao) dan Sultan Borneo. Tetapi, dalam sumber-sumber sejarah tidak dijelaskan kapan Syarif dari Makkah itu berkuasa. Ancaman dan Ekspansi Ternate terhadap Jailolo Ancaman Ternate terhadap Jailolo dimulai pada 1284, ketika Siale – Kolano Ternate ketiga – menyerang beberapa desa Kerajaan Jailolo dan mendudukinya. Pada 1304, Kolano Ternate lainnya, Ngara Malamo, menyerang Jailolo dan menduduki untuk waktu yang lama beberapa desa di Batu Cina, di bagian selatan Jailolo.
Sekalipun dalam Pertemuan Moti (1322) – yang melahirkan Persekutuan Moti (Motir
Verbond) – Jailolo diakui sebagai kerajaan peringkat pertama dari tiga kerajaan lain (Ternate, Tidore, Bacan) dalam hal senioritasnya, tetapi hal ini tidak mengakhiri ambisi Ternate untuk mencaplok Jailolo. Pada 1343, Kolano Ternate, Tulu Malamo, tidak lagi mengakui keputusan Motir Verbond, dan menyerang serta menduduki Jailolo. Raja Jailolo ketika itu tidak dapat berbuat sesuatupun, walaupun tindakan Tulu Malamo menuai reaksi keras dari Kolano Tidore dan Bacan.
Sekalipun serbuan Tulu Malamo atas Jailolo telah menuai reaksi keras dari kerajaankerajaan lainnya di Maluku, pada 1359 Kolano Ternate, Gapi Malamo, kembali menyatakan tantangannya terhadap Jailolo. Kali ini agresi yang dilancarkan Ternate tidak berhasil. Bala tentara Jailolo dapat menghalau tentara Ternate keluar dari wilayahnya.
Kegagalan inilah yang barangkali menyebabkan dilangsungkannya perkawinan politik antara putera sulung Kolano Ternate pengganti Gapi Malamo, yakni Kolano Gapi Baguna, dengan puteri Kolano Jailolo, Kaicil Kawalu, pada 1372. Tetapi, perkawinan politik ini tampaknya tidak berhasil mengimplementasikan ambisi politik Ternate untuk mendominasi Jailolo.
Antara waktu perkawinan politik tersebut hingga berkuasanya Katarabumi di Jailolo, masih terlihat serangkaian upaya agresi Ternate terhadap Jailolo. Pada 1380, Kumala Putu, Kolano Ternate ke-17, berupaya menyerbu dan menduduki Jailolo. Demikian pula, Kolano Marhum menyerbu Jailolo pada 1465. Kolano Ternate ini relatif berhasil menanamkan pengaruhnya. Sebab, ketika terjadi perang suksesi di kalangan keturunan bangsawan Jailolo, Jamilu, salah satu bangsawan Jailolo kepercayaan Ternate, memenangkannya. Tetapi, Jamilu tidak menduduki takhta Jailolo, karena diangkat oleh Marhum sebagai Raja Muda di Ambon.
Pada 1524, Taruwese, Raja Muda Ternate, melanjutkan upaya pendudukan Jailolo yang gagal, karena berhasil dihalau bala tentara Jailolo. Tiga tahun kemudian (1527), Taruwese mencoba melakukan usaha yang sama dengan bantuan Portugis. Kali ini ia berhasil menduduki sebagian Jailolo, tetapi tidak untuk waktu yang lama.(*)
Penulis merupakan Pemuda Halmahera Barat yang menggemari sejarah dan gerakan. Aktif di GMKI.