PIRAMIDA.ID- Keputusan pemerintah untuk menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri mengenai pemakaian seragam dan atribut keagamaan di sekolah negeri telah memicu polemik. Sebagian kalangan termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritik penerbitan SKB tersebut.
Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan menjelaskan pihaknya mendesak pemerintah merevisi sanksi yang terdapat dalam SKB mengenai kebebasan bagi siswa sekolah negeri mengenakan atribut agama.
Menurut Amirsyah, sanksi penghentian dana biaya operasional (BOS) sudah melampaui ketentuan. Apalagi, kata Amirsyah, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, SKB tiga menteri tersebut tidak tercantum dalam tata urutan perundang-undangan.
Amirsyah menekankan sekolah merupakan lembaga pendidikan yang harus mengedepakan sosialisasi dan edukasi, bukan mengutamakan sanksi.
“Sanksi itu ada selayaknya di undang-undang, bukan di SKB. SKB ini melampaui kewenangannya memberi sanksi. Masak, ada SKB melampaui kewenangan. Dari mana logika SKB melampaui seperti itu. Sebab peraturan di atasnya lebih tinggi, mestinya itu yang memberikan sanksi. Itu pun tidak ada,” kata Amirsyah.
Amirsyah menambahkan penerbitan SKB tiga menteri tentang seragam sekolah negeri tersebut telah memicu polemik yang kontraproduktif dalam masyarakat ketika negara sedang menghadapi pandemi virus Covid-19. Padahal dunia pendidikan, menurutnya, membutuhkan pendampingan, pembiayaan, literasi, dan edukasi agar bisa berjalan dengan baik dalam era COVID-19.
Amirsyah menegaskan pemerintah mestinya lebih mengutamakan isu itu ketimbang soal seragam sekolah. Sebab, tentang seragam sekolah, sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014.
Menurutnya, MUI sudah mengecek, bahwa tidak ada pemaksaan penggunaan jilbab terhadap pelajar di sekolah negeri di Sumatera Barat.
Dari semua kepala daerah, baru Wali Kota Pariaman Genius Umar yang terang-terangan menolak SKB itu. Dia mengatakan SKB tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kearifan daerah.
Genius menegaskan di Pariaman yang hampir seratus persen penduduknya beragama Islam, tidak pernah ada kewajiban berpakaian muslim. Namun banyak pelajar memakai atribut keagamaan itu karena merupakan bagian dari kearifan lokal. Ia menyatakan SKB tersebut tidak perlu disosialisasiakan kepada masyarakat Pariaman karena segalanya sudah berjalan normal tanpa masalah.
Menanggapi polemik dalam masyarakat tentang SKB itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas mengatakan kepada VOA melalui pesan WhatsApp, pihaknya akan memperhatikan masukan-masukan dari beberapa pihak.
“Namun kami juga meminta semua memahami (bahwa) SKB ini diniatkan untuk menjaga keberagaman. Pada saat yang sama, menghargai anak-anak sekolah yang ingin mengekspresikan nilai keagamaan yang diyakini,” tutur Yaqut.
Pemerintah pada 3 Februari lalu menerbitkan SKB tiga menteri mengenai pemakaian seragam dan atribut dalam lingkungan sekolah. Surat keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas.
Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menjelaskan surat keputusan bersama itu dikeluarkan berdasarkan tiga pertimbangan, dan bahwa sekolah berperan penting dan bertanggung jawab dalam menjaga eksistensi Pancasila dan konstitusi; serta membangun dan memperkuat moderasi beragama dan toleransi.
Menurut Nadiem, SKB tiga menteri itu mengatur pakaian seragam dan atribut keagamaan di sekolah negeri di Indonesia. Ia menegaskan pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mengharuskan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lambat 30 hari setelah SKB tersebut dikeluarkan hari ini.
Nadiem menekankan ada sanksi bagi pelanggar SKB itu. Dia mencontohkan Kementerian Pendidikan bisa menghentikan bantuan operasional sekolah (BOS) atau bantuan pemerintah lainnya kepada sekolah yang melanggar.
VOA Indonesia