Oleh: Arianto Sitorus Pane*
PIRAMIDA.ID- Salah satu yang paling menggelisahkan dari negeri ini adalah semakin jauhnya kebudayaan dari kehidupan generasi muda, meski jargon penguatan budaya terus didengungkan.
Kebudayaan Indonesia semakin terkesan “tradisional” dan eksklusif. Kebudayaan memang dihadirkan dalam beragam perayaan dan festival, namun hanya sampai sebagai sebuah pertunjukan ataupun upacara, dan tidak merasuk dalam kehidupan nyata dan alam pikir generasi muda.
Salah satu persoalannya, sering kali kita mengartikan kebudayaan secara sempit sebagai hasil-hasil kesenian maupun adat dan tradisi yang terwujud dalam norma dan upacara. Akibatnya, perhatian kita mengenai budaya menjadi dangkal, hanya menyentuh bagian permukaan saja.
Dengan pemahaman itu, yang kita lakukan sebatas upaya untuk melestarikan hasil-hasil kebudayaan, tapi kita melupakan tujuan dari adanya suatu budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, kita seperti menjaga cangkang tanpa isi, tulisan tanpa makna.
Tanpa nilai dan makna, kebudayaan tidak lagi bisa dijadikan jangkar bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya, generasi muda saat ini seperti mengalami keterputusan dengan budaya bangsanya. Keadaan ini semakin diperparah dengan membanjirnya budaya-budaya asing yang masuk ke negeri ini.
Tentu saja budaya seharusnya berjalan secara dinamis dan terbuka pada pengaruh dari luar. Namun, pengaruh dari luar itu hanya akan membawa dampak positif jika ia memperkaya dan bukan menggantikan budaya yang kita miliki.
Budaya semestinya berkembang secara organis. Berakar pada lokalitas dan melangkah maju secara alami berdasarkan iramanya sendiri sesuai dengan temperamen khasnya, dan menyerap pengaruh yang sejalan dengannya. Hanya dengan demikian, perkembangan budaya suatu bangsa sejalan dengan penguatan jati diri manusianya.
Dan itu sebabnya, keberakaran menjadi sangat penting bagi pembentukan jati diri suatu bangsa. Keberakaran menunjukkan kodrat kita sebagai manusia yang menyejarah. Dalam arti ini, pengembangan suatu kebudayaan tidak berarti membuang kebudayaan yang lama (diskontinuitas budaya), melainkan merupakan proses memperluas cakrawala dan membuat yang lama itu menjadi lebih matang.
Menanggapi persoalan di atas, ada beberapa pertanyaan yang bisa kita ajukan. Apa yang menyebabkan rendahnya perhatian generasi muda pada isu kebudayaan? Benarkah ada kecenderungan pada generasi muda untuk menjadi generasi tunabudaya? Jika ya, apa yang bisa dilakukan untuk melawan kecenderungan tersebut?
Untuk menjawab hal tersebut maka si penulis menghadirkan youtube channel yang bernama “Nusantara Budaya Lokal” yang mengulas budaya dan tradisi-tradisi nusantara dengan harapan mampu mencegah generasi tuna budaya.(*)
Penulis merupakan Jurnalis, penulis modul, pegiat lingkungan dan pemuda di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Penulis merupakan akademisi, pegiat literasi, aktivis lingkungan yang juga tertarik tentang isu-isu sosial budaya masyarakat dan produktif dalam menuliskan opini di beberapa media cetak dan siber). Penulis bisa dihubungi melalui telp/wa; 085323195923.