Oleh: Edis Galingging*
PIRAMIDA.ID- Belakangan ini dunia jagat maya kembali dihebohkan, ditengarai beredarnya berbagai foto mural atau coretan di dinding di media sosial kita, baik Twitter, Facebook, Instagram YouTube, dan lain sebagainya.
Pun juga kita kembali dihebohkan dengan berita aparat yang “memburu” para pelaku pembuat mural di pelbagai daerah. Kejadian tersebut tentu menimbulkan perbedaan pandangan, pendapat dan tanggapan yang berbeda-beda di tengah masyarakat dan pemerintah kita.
Berbicara tentang mural, mural adalah sebuah karya seni yang digambar atau dilukis di dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen. Bila memutar waktu jauh sebelumnya, ternyata sejarah seni lukisan dinding atau mural sudah sangatlah panjang dalam peradaban manusia, hal itu dapat ditelusuri hingga tahun 30.000 SM. Pada tahun itu, sebuah lukisan dibuat di dinding Gua Chauvet, Prancis. Lukisan tersebut menjadi lukisan prasejarah terkenal yang dibuat di dinding gua.
Dalam lingkungan masyarakat luas, mural umumnya dibuat untuk memberikan rasa kepuasan terhadap si pembuat mural. Namun, ada yang berbeda dengan mural saat ini. Mural tersebut bukan hanya berbicara tentang rasa kepuasan terhadap si pembuat mural, melainkan sebuah mural yang mencoba memancing sikap moralitas kita dalam konteks berbangsa dan bernegara di situasi pandemi Covid-19 ini.
Mural tersebut bukan hanya menampilkan seni tetapi seolah-olah ingin menunjukkan ekspresi, keadaan, pandangan, dan keresahan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah melalui sebuah karya seni di lokasi publik.
Adapun mural yang coba saya singgung di atas antara lain, yaitu mural yang bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang, Kabupaten Tangerang; yang kedua sebuah mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Selanjutnya mural bertuliskan “Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan” lebih lanjut lagi, mural bergambar yang mirip wajah Presiden Jokowi dengan mata tertutup “404: Not Found” yang menjadi pusat pembicaraan masyarakat luas. Dan yang terbaru, ada mural dengan kata “504 Error” dan mural bertuliskan “Dipenjara Karena Lapar”.
Lalu, apa dibalik rentetan kejadian ini? Kira-kira pesan apa yang seniman coba sampaikan kepada kita?
Pertama, dalam konteks penyampaian kritikan, ada banyak ragam atau cara yang digunakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi ataupun kritikan terhadap pemerintah. Ada yang melakukan dengan turun ke jalan, ada yang menggunakan media musik, ada yang melalui sebuah karya sastra atau dalam bentuk tulisan lainnya, bahkan melalui sebuah karya seni.
Dari antara cara tersebut, seni masih cukup diperhitungkan sebagai media penyampaian aspirasi pun ekspresi, salah satunya adalah mural. Selain tidak membutuhkan proses yang panjang, melalui mural, pesan dengan gampang dipahami dan diterima oleh masyarakat banyak, ya walau dengan persepsi-persepsi yang terbangun tentunya dapat berbeda-beda.
Kedua, saya ingin sampaikan mural yang saat ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap pemerintah, sekaligus keresahan hati masyarakat (seniman) kita. Sebuah kritikan, kritikan yang harusnya diterima pemerintah sebagai bahan renungan serta refleksi untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tentu tidak menyulitkan masyarakat, tidak merugikan rakyat, dan tidak menyakiti hati rakyat.
Ketiga, ingin menyampaikan ke ruang publik bahwa situasi bangsa saat ini “tidak baik-baik”. Persoalan pandemi Covid-19 adalah pusat persoalan besar bangsa saat ini, bahkan dunia. Yang seolah-olah menguji pemerintah kita, saat inilah diuji kemampuan suatu pemerintah dalam sebuah negara, dan menguji loyalitas para petinggi negara untuk segera menangani pandemi ini.
Keempat, kritik yang penyampaiannya dalam bentuk seni cenderung berhasil menarik simpati hati masyarakat. Melalui karya seni, seniman berhasil melakukan propaganda semangat masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya masing-masing. Hal itu dapat mejadi bukti keberhasilan seniman mural dalam menyampaikan aspirasinya, dengan melihat respon pemerintah yang cukup kocar-kacir dan menghapus beberapa mural, yang justru menciptakan efek streisand di tengah masyarakat.
Kelima, ruang publik untuk mengkritik pemerintah telah dibatasi. Kita tahu saat ini banyak regulasi atau peraturan yang cenderung menutup ruang gerak masyarakat ataupun mahasiswa dalam menyampaikan asprirasinya, kita sebut saja UU ITE.
Tidak dapat dipungkiri ada beberapa pasal yang terdapat pada regulasi ini telah mempersempit keberanian masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi melalui ruang informasi, yaitu media sosial. Dan untungnya di Indonesia belum ada UU yang mengatur tentang mural. Jadi, kita punya solusi baru sebagai langkah baik utk menyampaikan aspirasi saat ini.
Keenam, dari rentetan penghapusan mural tersebut menggambarkan bahwa demokrasi bangsa saat ini tidak baik. Hal itu dapat kita lihat dari Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) dengan skor 6,3. Meski dalam segi peringkat indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, skor tersebut menurun dari yang sebelumnya, skor tersebut menurun dari sebelumnya 6,48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Terakhir, saya ingin sampaikan, bilamana para seniman telah bersuara, artinya negara dalam keadaan tidak baik-baik saja! Pemerintah seharusnya mampu mempelajari lebih mendalam penyebab masyarakat menyampaikan kritikan. Mural bisa saja dihapus, pemural bisa saja didiskriminasi, dan pemural bisa saja memaafkan pemerintah, tapi ketidaksigapan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 tidak dapat dilupakan!(*)
Penulis merupakan Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cab. Pematangsiantar.