Johanes Hotmatua Siahaan*
PIRAMIDA.ID- Mungkin ketika semasa kecil kita sering ingat lagu Indonesia Tanah Air Beta. Indonesia sejak dulu kala dipuja-puja bangsa. Perjalanan Indonesia dengan kejayaaannya dahulu sampai dapat disebutkan sebagai “Macan Asia” mungkin semakin tidak akan terdengar lagi ke depan melihat realitas yang terjadi di masyarakat kita.
Pemerintah semakin menghilangkan tanggung jawabnya seperti yang diamanatkan dalam konstitusi menyejahterahkan kehidupan rakyat juga dalam sila ke-5 Pancasila.
Dari jumlah penduduk sekitar 270,2 juta jiwa, sekitar 26,42 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (acuan Bank Dunia).
Sebagian besar APBN 2019 yang dianggarkan pemerintah lebih banyak membiayai belanja rutin atau membiayai birokrasi yang justru tidak dapat menjalankan fungsinya dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat.
Lantas, beban belanja pemerintah untuk reformasi birokrasi terus bertambah dari tahun ke tahun. Realisasi anggaran pelaksanaan reformasi birokrasi naik sebesar rata-rata 7,4%, dari Rp 186,48 triliun menjadi Rp 248,54 triliun. Dalam RAPBN 2020, pemerintah menetapkan belanja reformasi birokrasi kembali meningkat, yaitu menjadi sebesar Rp 261,3 triliun atau tumbuh 5,1% dari PAGU untuk 2019. (Kontan.co.id 9/8/2019).
Ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan masyarakatnya termasuk masalah kesejahteraan rakyatnya akan membawa bangsa ini ke ujung sebuah negara yang gagal. Menurut The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine yang dirilis tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke-61 dari 177 Failed State Index 2010. Mengutip Stoddard dalam Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge, ia menyebut ada empat kategori negara/bangsa.
Urutan 1-37 dalam indeks disebut sebagai negara runtuh (collapsed state). Urutan 38-129 disebut negara gagal (failed state), dan Indonesia termasuk di dalamnya. Urutan 130-164 disebut sebagai negara lemah (weak state). Urutan 165-177 disebut sebagai negara kuat (strong state). Menurut riset yang dilakukan oleh Fragile States Index (2019), Indonesia masuk ke dalam peringkat ketiga negara yang masuk dalam kategori mengkhawatirkan. Penilaian itu dilakukan berdasarkan berbagai indikator seperti sosial, ekonomi dan politik.
Ada tiga hal ciri sederhana sebuah Negara yang akan gagal.
Pertama, ketikdakmampuan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Terlihat semakin melebarnya jurang kemiskinan dengan naiknya harga barang pokok yang tidak dapat dikontrol pemerintah menjadi suatu contoh yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Hal itu semakin tidak berkorelasi dengan isu kenaikan gaji PNS dan gaji Presiden serta pejabat negara yang kurang lebih berjumlah 200.000 orang yang selama ini kinerjanya kurang dalam mensejahterahkan rakyat serta memberikan pelayan masyarakat.
Belum lagi pemerintah hanya menganggarkan Rp 381 triliun dari anggaran APBN 2019 untuk anggaran pengurangan kemiskinan.
Setiap kenaikan harga beras Rp 500 akan sangatlah terasa untuk masyarakat yang pendapatannya di bawah 2 dollar AS per hari. Sehingga tidak heran masyarakat desa seperti di Kabupaten Demak, Jawa Tengah mengonsumsi nasi aking karena beras tidak dapat terbeli lagi bahkan lebih dari itu singkong pun tak terbeli mereka lagi.
Namun di pihak lain, pemerintah berdalih bahwa angka kemiskinan di negara telah berkurang dan dengan menunjukkan angka-angka statistik serta melalui program-progaram yang instant yang tidak menjawab ke akar masalah kemiskinan seperti bantuan kompensasi BBM atau disebut dengan Bantuan Tunai Langsung (BLT), Inpres Daerah Tertinggal (IDT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang tidak diawasi pengerjaannya dan tidak efektif hanya memberikan “kasih sayang” kepada masyarakat miskin.
Dan satu lagi pemerintah juga menyatakan pendapatan perkapita masyarakat naik dilihat dari selesih ekspor dan impor, padahal itu semua terjadi hanya di kalangan menengah ke atas yang notabene mereka mempunyai perusahaan-perusahan sendiri.
Pada ciri yang kedua pelayanan dalam kesehatan yang sangat kurang. Di masa pandemi COVID-19, penyerapan anggaran kesehatan hanya baru 1,57% dari 75 triliun. Padahal kasus COVID-19 di Indonesia sudah menyentuh 315.714 (Kemkes.go.id 7/10/2020).
Hal ini mempertegas bahwa pemerintah semakin memperkecil tanggung jawabnya terhadap masyarakat terkhusus di bidang kesehatan.
Padahal masih banyak kasus lain seperti tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang serta angka kematian ibu dan bayi yang dialami masyarakat karena bukan hanya mereka kekurangan biaya tapi juga disebabkan kurangnya pelayananan kesehatan dan rumah sakit, puskesmas, dan posyandu serta tenaga medis di daearah pedesaan untuk menekan angka kasus di atas.
Dan untuk yang terakhir ini, mungkin kita tidak banyak berharap. Pendidikan masih sangat jauh dapat dirasakan oleh masyarakat kecil yang memang pendapatan mereka kurang untuk membiayai hidupnya apalagi membiayai pendidikan anak mereka.
Seharusnya ketika pemerintah gagal mewujudkan jaminan kesejahteraan dan pelayanan kesehatan rakyatnya tidaklah demikian untuk pendidikan. Beracuan terhadap konstitusi, negara kita mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara menjamin pendidikan yang layak haruslah dapat dinikmati seluruh masyarakat tanpa memandang jumlah uang yang mereka punya. Namun nyatanya biaya sekolah yang sangat mahal, membuat pikiran bahwa yang hanya mempunyai uang dapat bersekolah.
Dengan pemerataan pendidikan sebenarnya juga menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan keterpurukan bangsa ini agar tidak sampai kepada negara yang gagal. Mendidik generasi bangsa, memberikan mereka fasilitas untuk mengembangkan ilmunya, sehingga terwujudlah generasi masyarakat yang cerdas, yang tidak perlu lagi menunggu kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat kecil untuk mensejahterahkan rakyatnya.
Namun generasi tersebut mampu mewujudkan kesejahteraan-kesejahteraan kecil di masyarakatnya dan memberdayakan kekayaan sumber daya alam kita tanpa menunggu pihak asing lebih dulu untuk mengeruk kekayaan alam kita lagi, bahkan menjadi generasi cerdas dan berakhlak untuk menggantikan kaum penguasa sekarang menjadi pemimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita bangsa.
Memang kita juga tidak menafikan usaha-usaha pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap apa yang menyebabkan kegagalan dalam mengurangi kemiskinan atas program-program yang sudah dilakukan. Sebagai contoh untuk bebrapa tahun yang lalu, pemerintah telah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Boediono dan meluncurkan enam program prorakyat.
Namun program tersebut belum begitu terdengar pengaruhnya di masyarakat dan pengalaman pelaksanaannya sering tidak efektif dan efesien serta tidak tepat sasaran.
Harapan masyarakat kepada pemerintah juga segenap lembaga di dalamnya selayaknya dan haruslah membuat program untuk kesejahteraaan rakyat yang memang benar-benar menjawab ke dalam akar permasalahan masyarakat serta kebijakan anggaran yang dilakukan oleh legislatif harusnya lebih banyak penggunaannya untuk menyejahterakan kelompok miskin dan kaum marjinal; karena negara dikatakan jika yang sejahtera hanyalah sebagian kecil dari masyarakat yaitu para pejabat, pengusaha-pangusaha serta rekanan yang berkecimpung di dalamnya.
Namun kaum miskin dan kaum marjinal menunggu saat yang tepat untuk melakukan revolusi walaupun dalam keadaan perut mereka lapar.
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.