Oleh: Epifanius Mariano Mbale*
PIRAMIDA.ID- Korupsi merupakan penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan sendiri maupun orang lain. Tindak pidana korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakter kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan laporan ICW yang dirilis pada minggu 22 Mei lalu, ada peningkatan jumlah perkara korupsi yang disidangkan dan kenaikan jumlah tersangka dari tahun ke tahun sebelum masa pandemi. Jika memantau persidangan dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, mulai tahun 2017 sampai 2021 maka kerugian uang negara akibat praktik korupsi yang masuk dalam proses persidangan telah mencetak rekor, ini dikarenakan angkanya telah menyentuh 62 triliun rupiah.
Berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Indonesia menerapkan hukuman maksimal hukuman mati bagi para pelaku korupsi. Hal ini jelas tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 UU tersebut, yang menyatakan tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Tindak pidana korupsi yang dimaksud, tertera dalam ayat 1, adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Akan tetapi, hingga saat ini belum kita dengar ada koruptor yang dihukum mati. Sebut saja Heru Hidayat, terdakwa dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri, pernah dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, koruptor senilai Rp22, 788 triliun itu lolos dari jeratan hukuman mati dan hanya dituntut uang pengganti.
Terbaru yang membuat heboh adalah 23 terpidana korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat, dengan hanya mendapatkan surat keterangan kelakuan baik dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian hukum dan HAM.
Tidak sampai di situ saja, penangkapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati oleh KPK, menambah deretan kasus yang menodai citra lembaga penegakan hukum di tanah air, ini benar-benar memalukan di mana hakim agung acap kali dianggap wakil Tuhan untuk deliver keadilan di dunia melakukan hal seperti ini.
Menurut UU persyaratan penerimaan remisi dalam pasal 10 UU No 22 tahun 2022 Tentang Permasyarakatan semua jenis kejahatan yang sudah dipidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat, asalkan sudah menjalani 2/3 masa tahanan dan ada surat keterangan berbuat baik.
Belum lagi kebanyakan dari para pelaku korupsi ini tidak merasa malu setelah menjalani masa hukuman. Bahkan di ranah politik, tidak sedikit politisi yang mencalonkan kembali dirinya meski mereka merupakan mantan koruptor. Bagaimana bisa negara seperti memberi kenikmatan bagi napi koruptor di negeri ini, apakah seperti ini cara memberantas kejahatan yang dibilang extraordinary crime?
Belum lagi RUU Perampasan Aset juga belum kunjung dibahas oleh wakil rakyat, apakah mereka takut kelak menjerat diri sendiri? Hari-hari ini negara malah disuguhi dengan kesibukan para pemimpin yang mengurusi koalisi dan melupakan masalah korupsi, bahkan seperti membuka jalan untuk koruptor agar tetap berlaga dalam dunianya sendiri yang dianggap benar. Jangan bermain-main dengan hukum! Segera referomasi hukum di bidang peradilan!(*)
Penulis merupakan Anggota PMKRI Cabang Denpasar.