Oleh: Yulius Nipu*
PIRAMIDA.ID- Kehidupan masyarakat global beberapa dekade belakangan ini mencerminkan semangat yang diliputi perasaan dan perilaku ekonomi yang mencari keuntungan dan kepentingan bagi diri semata-mata. Upaya yang dilakukan dalam memperoleh keuntungan dengan menghalalkan segala cara.
Misalnya, di Indonesia salah satu contohnya mendesain budaya seperti tarian bahkan pakaian adat untuk kepentingan pasar. Praktik semacam ini merupakan persaingan dalam pasar bebas yang mana semua orang berperan sebagai pelaku ekonomi, tanpa intervensi oleh apa pun dan dari pihak mana pun.
Oleh karena persaingan pasar bebas, maka usaha memperoleh keuntungan tidak hanya dengan menjual hasil alam sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Namun, entitas-entitas lain seperti budaya atau adat istiadat dapat dijadikan produk, dengan dipoles seindah mungkin sesuai selera masyarakat modern.
Hal ini merupakan paradigma yang dibangun masyarakat modern untuk terlibat dalam persaingan pasar bebas sekaligus merawat dan menjaga tetap utuhnya budaya atau adat istiadat serta entitas lainnya ditengah gempuran globalisme dan modernisme.
Salah satu istilah yang ramai dikalangan masyarakat modern saat ini mengenai perilaku ekonomi diatas yakni ekonomi kreatif. Secara sederhana ekonomi kreatif dapat diartikan sebagai usaha mendatangkan keuntungan dengan memanfaatkan hasil alam, budaya dan adat istiadat yang ada disekitar. Model ekonomi seperti ini mulai muncul ketika masuknya paham neoliberalisme.
Ideologi Neoliberalisme
Paham neoliberalisme merupakan gagasan terkait dengan upaya untuk kembali pada kebijakan ekonomi liberal klasik yang diusung oleh Adam Smith. Liberalisme klasik ala Adam Smith menentang bentuk-bentuk monopoli baik oleh negara maupun kelompok bisnis.
Namun dalam pandangan liberalisme klasik peran negara tetap dibutuhkan terutama untuk menciptakan lingkungan yang dapat menjamin hak-hak individu. Sementara neoliberalisme pada posisi yang lebih “mencurigai” peran negara sehingga dari apa pun kekuasaan negara perlu dikontrol.
Neoliberalisme dicirikan dengan gagasan yang lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara, campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih terbuka. Gagasan neoliberalisme berakar pada tradisi pemikiran liberal yang menempatkan individualisme, rasionalitas, kebebasan dan equality sebagai nilai-nilai mendasar.
Hakekat Kebudayaan
Kebudayaan itu merupakan kekayaan esensial yang tak hanya dimiliki individu tertentu, tetapi dimiliki pula kelompok sosial yang dalam peranannya memberi nilai-nilai. Ia merupakan jantung hidup masyarakat, ia adalah hati pembentuk, pengembang, pematang serta pemelihara manusia-manusia di dalamnya.
Kebudayaan merupakan struktur dasariah manusia, jaringan atau tenunan batinnya, kerangka spritualnya yang mampu menyatuhkan warga-warganya, yang menciri-khasi kumpulan anggota-anggotanya sebagai sesuatu yang khas, unik dan lain daripada yang lain. (Suara Pembaharuan, 22 April 1987)
Inilah pembeda antara makhluk yang bernama manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia tidak sekadar homo sapiens atau menurut Aristoteles manusia sebagai makhluk berakal budi. Namun, lebih daripada itu manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Bahwa dengan kebudayaan manusia menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik, yang mau dijadikannya semacam kerajaannya.
Tujuan pokok kebudayaan dengan ini tidak lain adalah menjadi tempat nyaman bagi kelangsungan hidup manusia. Sehingga kebudayaan itu tidak dapat diganggu-gugat oleh apa pun dan siapa pun. Ia harus tetap berdiri sebagai suatu nilai yang kokoh bersamaan dengan simbol dan lambang yang menghiasinya.
Kapitalisasi Budaya
Neoliberalisme pada satu sisi memberi dampak positif bagi keberlangsungan hidup manusia. Tapi disisi lain, ia juga sekaligus membawa dampak negatif dalam artian bahwa neoliberalisme mengahalalkan segala cara untuk mendatangkan keuntungan.
Misalnya, budaya yang saat ini ramai dipertontonkan atau dimodifikasi sedemikian rupa untuk dperjual-belikan. Jika ditelaah lebih jauh praktik semacam ini bukanlah upaya untuk merawat budaya namun perdagangan budaya yang berorientasi pada kepentingan modal.
Sebab, dalam gagasan neoliberalisme lebih mengutamakan kepentingan individual, memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi individu untuk bereksplorasi dalam dunia perekonomian. Maka hal ini menjadi peluang bagi semua orang untuk memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dengan cara yang sekreatif mungkin memanfaatkan apa yang ada seperti budaya.
Budaya menjadi target untuk dapat didesain atau ditata sesuai kebutuhan dan selera masyarakat modern. Hal itu tentu menjadi persoalan karena budaya tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang “sakral”, yang ada muatan nilainya dan melekat dengan kehidupan manusia itu sendiri. Namun, dilihat sebagai komoditas yang dapat menghasilkan keuntungan.
Sehingga apabila hal ini dianggap sebagai upaya mempertahankan eksistensi budaya, maka ada kekeliruan cara pandang dalam merawat dan menjaga budaya. Dengan mendesain atau memodifikasi budaya dan menjualnya itu merupakan bagian dari merubah tatanan budaya itu sendiri. Sebab, budaya dan perangkatnya itu merupakan satu-kesatuan yang saling menopang, yang melengkapi sehingga disebut sebagai suatu yang estetis dan sarat akan nilai.
Jika sesuatu dari budaya itu dikurangi atau ditambahkan maka keestetisan dan nilai yang ada pada budaya itu berkurang bahkan dapat dikatakan hilang.
Oleh sebab itu, masuknya paham neoliberalisme tidak serta-merta harus diterima sebagai sesuatu yang wajar. Tapi perlu dikoreksi atau dicari tahu kelebihan dan kekurangannya. Sebab, suatu paham atau ideologi tentu punya sisi positif dan negatifnya tersendiri.
Apalagi misi neoliberalisme lebih mengutamakan kepentingan pasar yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. sehingga orientasi pergerakannya hanya seputar aspek perekonomian yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Barangkali pada posisi semacam ini perlu diperhatikan sebaik mungkin apakah menguntungkan secara menyeluruh pada semua aspek atau justru perlahan menggeser esensi aspek-aspek lain dari kehidupan terlebih khusus mengenai kebudayaan.(*)
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar dan Anggota Biasa PMKRI Cabang Denpasar Sanctus Paulus.