Terjemahan: Arya Widihatmaka*
PIRAMIDA.ID- Tak ada spesies lain di planet ini yang menggunakan bahasa atau tulisan—sebuah misteri yang belum terpecahkan bahkan setelah ribuan tahun penelitian. Kini para ilmuwan syaraf sedang memanfaatkan cara baru nan ampuh untuk mengintip ke dalam otak demi menghadirkan wawasan luar biasa perihal kemampuan unik manusia ini.
Apa Anda terbata-bata, atau bersusah-payah mendengarkan teman makan malam di restoran berisik, atau kesulitan menangkap logat asing di TV? Boleh jadi bantuan sedang datang. Dengan alat riset baru nan ampuh, para ilmuwan mulai mengungkap misteri tua: bagaimana otak manusia memproses dan memahami pembicaraan.
Sedikit-banyak, bahasa merupakan salah satu topik tertua dalam sejarah manusia, memikat setiap orang mulai dari filsuf kuno hingga pemrogram komputer modern.
Ini karena bahasa membantu menjadikan kita manusia. Kendati binatang lain saling berkomunikasi, kita satu-satunya spesies yang memakai omongan kompleks dan merekam pesan kita lewat tulisan. Bidang yang baru digiatkan ini, dikenal sebagai neurobiologi bahasa, membantu ilmuwan:
- Menambah wawasan penting mengenai area-area otak yang bertanggungjawab atas pemahaman bahasa.
- Mengetahui mekanisme dasar otak yang mungkin menyebabkan kelainan bicara dan bahasa.
- Memahami “efek pesta koktail”, kemampuan untuk fokus pada suara tertentu di tengah kegaduhan latar
Dalam 200 tahun terakhir para peneliti mulai mengidentifikasi area-area otak terkait bahasa dengan mempelajari orang-orang yang mengalami masalah bicara setelah menderita cedera otak.
Studi-studi ini membuahkan penemuan bahwa dua bagian otak—dikenal sebagai area Broca dan area Wernicke—sangat vital dalam memahami pembicaraan dan menulis. Tapi kemajuan berjalan lamban, karena mempelajari kemampuan bicara manusia sehat tidaklah mudah dan tak ada model binatang andal yang dapat memberi petunjuk berguna. Keadaan ini berubah dalam 20 tahun terakhir.
Perkembangan metode pemindaian telah memungkinkan peneliti memeriksa otak manusia sehat dan terjaga. Pencitraan resonansi magnetik fungsional memperlihatkan area-area otak mana saja yang aktif pada waktu tertentu, sementara pencitraan tensor difusi memperkenankan para ilmuwan untuk melacak bagaimana area-area otak saling terhubung.
Studi-studi pencitraan mutakhir mengungkap bahwa memahami pembicaraan butuh banyak area otak. Pemahaman omongan menjangkau jejaring besar dan rumit yang melibatkan sekurangnya lima area otak dan banyak serat yang saling terhubung.
Riset mengindikasikan proses ini lebih ruwet dan menuntut lebih banyak daya otak daripada yang kita duga sebelumnya. Teknik-teknik baru telah sangat penting dalam memperoleh wawasan lebih luas mengenai kelainan bicara, contohnya [penyakit] gagap. Gagap menjangkiti sekitar satu dari 20 anak, walaupun 80% akhirnya tumbuh lepas dari itu.
Pernah dianggap sebagai respon stres, kondisi ini sekarang dikaitkan dengan ketidaknormalan pada sambungan-sambungan otak. Gagap juga bisa diwariskan, dan ilmuwan sudah mengidentifikasi sekurangnya tiga gen yang mungkin berkontribusi pada kondisi ini.
Belakangan, peneliti mendapati para penderita gagap memperlihatkan aktivitas otak tak lazim ketika mendengarkan kalimat, membaca hening, dan membaca hening selagi orang lain membaca nyaring. Temuan-temuan ini mungkin menandakan gagap bukan disebabkan oleh masalah proses fisik berbicara tapi sesuatu yang lain, misalnya perencanaan akan apa yang hendak diucapkan.
Dalam studi lain, ilmuwan menemukan bahwa orang-orang dewasa penderita gagap mempunyai sambungan otak abnormal, termasuk kurangnya tautan antara area-area untuk perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Selain itu, wanita yang gagap memperlihatkan pola-pola sambungan otak berbeda daripada pria.
Perbedaan ini barangkali menjelaskan kenapa pria lebih banyak menderita gagap kronis, walaupun jumlah anak lelaki dan perempuan yang pada awalnya mengalami gagap kurang-lebih sama. Tapi studi-studi pencitraan otak hanya mampu sampai di situ. Mereka kekurangan solusi untuk menyelidiki sel-sel individual otak.
Itu sebabnya para peneliti bahasa berpaling kepada satu binatang berguna untuk menirukan omongan manusia: burung. Burung penyanyi (songbird) belajar bernyanyi seperti halnya manusia belajar bicara.
Mereka punya satu kemiripan lain, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang bangun fajar: jika ditempatkan di ruang kecil, mereka akan berisik karena berusaha lebih terdengar daripada satu sama lain. Keriuhan tumpang-tindih jenis ini membingungkan komputer dan alat bantu dengar, tapi manusia sehat dan burung-burung menampakkan kemampuan luar biasa untuk fokus pada suara yang ingin mereka dengar.
Baru-baru ini peneliti menemukan, burung penyanyi memiliki sel-sel otak yang “menyala” sebagai tanggapan terhadap nada-nada nyanyian tertentu tapi bukan bunyi sembarang—entah nada itu disertai derau ataupun tidak.
Kemampuan menangani efek pesta koktail rupanya menjadi bagian penting dari cara otak memproses suara masuk. Masih banyak pertanyaan tentang bagaimana pemrosesan bahasa bekerja di otak. Otak manusia membentuk ulang dirinya seiring waktu, jadi belum jelas apakah perubahan terjadi di usia dini atau berkembang setelah bertahun-tahun, khususnya pada penderita gagap.
Pada level lebih besar, ilmuwan kebingungan mengapa bahasa menjadi bagian sebegitu penting dalam hidup kita, tapi tidak dalam hidup spesies terdekat, contohnya simpanse. Minat terhadap neurobiologi bahasa terus tumbuh pesat.
Para ilmuwan otak mengakui potensi penting temuan mereka. Jika berhasil, mungkin mereka dapat membantu menjawab pertanyaan tertua: apa yang menjadikan kita manusia?
Sumber : BrainFacts.org
Arya Widihatmaka merupakan seorang science enthusiast & trekker. Ulasan tulisannya dapat dibaca di suarasains.wixsite.com