PIRAMIDA.ID- Masa transisi kelaziman baru atau ‘new normal’ diterapkan akhir Mei 2020 sebagai langkah pelonggaran aktivitas warga, setelah tiga bulan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan untuk menekan penularan COVID-19 di Indonesia.
Keputusan menerapkan ‘new normal’ diambil pemerintah untuk memutar kembali roda ekonomi meski pandemi belum berakhir.
Sebelum diberlakukan, Presiden Joko Widodo mengatakan masyarakat perlu berdamai dan hidup berdampingan dengan COVID-19.
“Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan,” kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (07/05).
Padahal, saat itu Indonesia belum memenuhi syarat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam menghadapi ancaman virus corona.
Salah satunya adalah melakukan tes ‘polymerase chain reaction’, atau PCR, sebanyak satu orang per 1.000 penduduk setiap pekannya, serta jumlah temuan kasus dari tes corona tidak melebihi lima persen.
Beberapa bulan setelah memasuki masa kelaziman baru, muncul pula klaster penularan baru.
Di Jawa Tengah, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, mengatakan klaster industri atau perusahaan menjadi “klaster besar” dengan menyumbang 33 persen, dari sekitar 500-600 menjadi 800 kasus.
Menurut pakar kesehatan publik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, istilah ‘new normal’ yang digaungkan pemerintah disalahpahami oleh masyarakat.
“Ada persepsi yang salah tentang kondisi di Indonesia akibat istilah itu. Mungkin maksudnya untuk membuat masyarakat tenang, tapi masyarakat harusnya dibuat waspada,” kata Pandu Riono.
Menurut Pandu, sebaiknya pesan yang disampaikan adalah jika ancaman virus corona perlu diperhatikan dengan serius, bukannya membuat anggapan bahwa semuanya baik-baik saja.
Hasil survey Lapor COVID-19 soal persepsi risiko juga menunjukkan 70 persen responden di DKI Jakarta merasa COVID-19 bukan ancaman.
“Anggap saja angka itu kontribusi kesalahpahaman masyarakat,” kata Pandu kepada Hellena Souisa dari ABC.
“Akhirnya, mispersepsi itu berpengaruh terhadap perilaku, maka tidak heran kalau angka kasus kita naik,” tambahnya.
Pada 9 Juli lalu, kasus harian di Indonesia melonjak ke angka 2.657 kasus, sebanyak 1.262 di antaranya disumbangkan klaster Pusat Pendidikan Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat di Bandung, Jawa Barat.
Presiden Jokowi menyatakan angka tersebut adalah sinyal merah bagi pemerintah daerah yang akan menerapkan ‘new normal’ atau kelaziman baru bertujuan mengakselarasi ekonomi di tengah pandemi.
Pemerintah kemudian mengganti istilah ‘new normal’ dengan ‘adaptasi kebiasaan baru’ setelah mengakui istilah tersebut salah sehingga masyarakat tidak memahami prakondisi yang harus dijalankan.
Namun, Pandu mengatakan mispersepsi yang sudah telanjur terjadi tidak bisa diubah dalam waktu singkat, apalagi istilah yang menggantikannya juga tidak lebih jelas.
Dugaan tes corona jadi ladang bisnis
Kesalahpahaman pengertian ‘new normal’ tidak hanya membuat kasus COVID-19 melonjak, tapi juga membuahkan masalah ‘rapid test’ di Indonesia.
Dengan berlakunya ‘new normal’ warga diperbolehkan melakukan perjalanan jarak jauh, namun harus melakukan pemeriksaan COVID-19 dan menunjukkan hasil negatif.
Mahalnya harga tes PCR mandiri, sekitar Rp2.000.000, membuat Menteri Perhubungan memasukkan syarat alternatif yakni ‘rapid test’ agar pendapatan ekonomi dari sektor transportasi maksimal.
Biaya pemeriksaan COVID-19 lewat ‘rapid test’ lebih murah, dengan rata-rata harganya sekitar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu sekali pemeriksaan.
Dokumen hasil ‘rapid test’ berlaku tiga hari, sementara PCR tujuh hari, namun belakangan pemerintah mengubah masa berlaku keduanya menjadi 14 hari.
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie mempertanyakan syarat tes untuk perjalanan domestik yang hanya ada di Indonesia.
“Tidak ada negara lain yang mensyaratkan rapid test atau swab test untuk perjalanan domestik.”
“Ini menjadi syarat antarnegara atau lintas negara, dan itu pun sampelnya diambil saat tiba di negara tersebut, jadi betul-betul fresh,” tutur Alvin.
Selain itu, berdasarkan sejumlah pengaduan yang masuk ke Ombudsman, sejumlah kepala daerah juga memberlakukan syarat ‘rapid test’ untuk melintas, misalnya antara Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekan yang bersebelahan di Sulawesi Selatan.
Menurut Alvin, hal tersebut adalah penyalahgunaan hasil tes karena hanya menjadi syarat administratif, bukan untuk pencegahan COVID-19.
“Kasus [penyalahgunaan] yang lain adalah syarat rapid test untuk ujian masuk perguruan tinggi di Surabaya atas inisiatif wali kota,” tutur Alvin Lie kepada Hellena Souisa dari ABC.
Alvin menduga berbagai persayaratan yang menyertakan ‘rapid test’ menjadi ladang uang bagi beberapa pihak tertentu.
“Aturan-aturan ini tentu saja telah membuat rapid test menjadi bisnis dan komersil. Yang kami khawatirkan ini adalah siapa importir besarnya, mungkin yang terjadi bukan monopoli, tapi oligopoli,” kata Alvin.
Pandu Riono juga sependapat soal komersialisasi ‘rapid test’ yang menjadi syarat perjalanan dan meminta tes ini dihentikan sebab yang diuji adalah antibodi, bukan virus.
“Ada unsur-unsur lain soal uang di sini. Saya menduga ada unsur ekonominya karena rapid test tidak bisa mendeteksi COVID-19. Enggak ada gunanya,” tutur Pandu.
Ia menambahkan, jika ‘rapid test’ tidak dihentikan, maka masyarakat sendiri yang rugi, karena banyak uang negara yang harusnya bisa dibelanjakan untuk menambah kapasitas tes PCR malah digunakan membeli rapid test.
Sebelum pemerintah menetapkan tarif tertinggi ‘rapid test’, Muhammad Sholeh, warga Surabaya, Jawa Timur, mengajukan uji materi atas Surat Edaran Gugus Tugas yang mewajibkan rapid test untuk bepergian ke Mahkamah Agung.
Ia menilai, biaya yang mahal membuat tes hanya bisa diakses orang mampu dan hanya akan menguntungkan rumah sakit.
Merasa pemberlakuan biaya maksimal tidak menyelesaikan masalah, baik Ombudsman RI dan Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi dan Kedokteran Laboratorium Indonesia meminta Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menghapus ‘swab’ atau ‘rapid test’ dalam syarat perjalanan.
“Kami akan sampaikan ke Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan. Yang pertama, untuk tidak menggunakan tes, baik rapid maupun PCR sebagai syarat perjalanan maupun berbagai pelayanan publik, kecuali untuk layanan medis,” ucap Alvin.
Menurutnya, menjalankan protokol kesehatan seperti cek suhu tubuh, memakai masker dan mengatur jarak, sudah cukup sebagai syarat melakukan perjalanan.
“Apa bedanya orang yang naik bus dan pesawat terbang? Bahkan lebih berisiko mereka yang naik bus karena pesawat menggunakan filter sehingga udaranya sebenarnya lebih baik,” tambah Alvin.
Penanganan COVID-19 harus dipimpin langsung presiden
Berangkat dari pengalaman penanganan COVID-19 selama empat bulan terakhir di Indonesia, baik Pandu dan Alvin sama-sama sepakat jika pandemi COVID-19 tidak bisa diselesaikan secara ‘ad hoc’ dan harus sistematik.
Menurut Pandu, selain peningkatan kapasitas tes dan contact tracing yang agresif, serta pesan yang kuat pada publik, pemerintah harus mawas diri memikirkan mengapa langkah yang diambil selama ini belum berhasil, termasuk mengevaluasi seberapa optimal peranan Gugus Tugas.
Pandu Riono berpendapat, pendekatan yang dilakukan oleh Gugus Tugas selama ini tidak tepat, sehingga sebaiknya penanganan COVID-19 dikembalikan ke sistem penyelenggara pemerintahan.
“Presiden yang memimpin langsung, kemudian semua Kementerian bergerak sesuai tupoksinya,” kata Pandu.
Pandu mencontohkan, dalam kasus rapid test, Gugus Tugas mungkin bisa membuat regulasi, tapi tidak bisa mengontrol kualitas rapid test di Indonesia.
“Yang punya sistem dan bisa mengontrol sesuai tupoksi semua alat kesehatan di Indonesia itu Kemenkes,” jelasnya.
Sementara Alvin Lie menilai, karena presiden sudah mencanangkan pandemi ini sebagai kondisi bencana dan kedaruratan nasional, presiden harus langsung menjadi penanggungjawabnya.
“Contohnya, kebijakan ekonomi saja, kan nggak mungkin ditangani Gugus Tugas,” tambah Alvin.
Ia menambahkan, meskipun ada unsur Kementerian Kesehatan dalam Gugus Tugas, tapi kewenangannya tidak seperti kalau mereka membuat kebijakan sendiri.
Kurva terus naik, tes PCR harus digenjot
Sampai Senin (13/07) jumlah kematian di Indonesia akibat COVID-19 jika dihitung dengan cara hitung WHO menurut catatan Kawal COVID-19 adalah sebanyak 12.419 orang.
Artinya, Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan angka kematian tertinggi di Asia setelah India (23.727) dan Iran (13.211).
Sementara jika dilihat dari jumlah kasus akumulatif, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia saat ini adalah 81.668 kasus, hampir mendekati China yang mencatat 83.611 kasus.
Sampai berita ini diturunkan, angka rata-rata pengetesan harian di Indonesia menurut data Kawal COVID-19 masih di angka 11.344 dengan ‘positive rate’ keseluruhan 12.24 persen, masih jauh di bawah syarat WHO, yakni 40.000 orang tes per hari.
Berdasarkan laporan terbaru WHO tanggal 8 Juli, hanya DKI Jakarta yang memenuhi syarat minimum pengetesan WHO, sementara jumlah tes PCR di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan DIY masih di bawah 0,5 per 1.000 penduduk per pekan.
Jumlah ‘positivity rate’ atau rasio antara temuan kasus dengan tes PCR di Jawa, tertinggi adalah Jawa Timur mencapai 30 persen, kemudian Jawa Tengah sekitar 20 persen.
Melihat angka tes PCR yang rendah, dikhawatirkan kondisi penularan di masyarakat sebenarnya tinggi tapi tidak terdata karena belum dites.
Salah satu cara untuk memaksimalisasi kapasitas tes harian menurut Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19 adalah dengan memprioritaskan tes untuk mereka yang berstatus OTG dan ODP.
Ini karena mereka yang PDP, apalagi yang menunjukkan gejala, umumnya sudah dirawat dan kecil kemungkinannya masih beraktivitas di luar rumah, sementara OTG dan ODP masih bisa.
“Kalau nggak dites, mereka nggak tahu mereka sakit dan berpotensi menularkan. Apalagi positivity rate antara PDP, ODP, dan OTG nggak berbeda jauh,” kata Elina.
Sementara menurut Pandu, jika PCR tidak memungkinkan, isolasi menjadi mutlak.
“Nggak ada maaf untuk mengatakan tes PCR kita kurang. Kalau memang nggak bisa PCR, ya sudah, isolasi.”
“Jangan kemudian dijadikan alasan lagi, karena PCR kita kurang, kemudian rapid test saja lagi,” pungkas Pandu.
Sumber: ABC Indonesia.