Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Melalui bukunya Gagasan Islam Liberal, Greg Barton [1999] menulis bahwa Cak Nur adalah hanif yang berpaham kebangsaan. Dengan paham ini, Cak Nur adalah muslim yang telah mensintesakan keislaman-kemodernan dan keindonesiaan. Sintesa itulah yang menyebabkan Cak Nur mendapat julukan “guru bangsa.”
Tulisan ini akan melengkapi apa yang belum diulas oleh Greg Barton sebagai prolog bagi upacara khaul [memperingati setahun kematian Cak Nur]. Sebab, di luar sebagai guru bangsa, Cak Nur adalah peletak dasar kajian Islam perkotaan.
Suatu kajian agama yang berbeda dari kajian-kajian sebelumnya. Suatu kajian yang bermula dari kalimat, “iman bukan hanya kepercayaan, tapi soal tindakan.” Rasanya, di tengah iklanisasi dan truth claim [menyesatkan ajaran lainnya] dan ilahisasi media, hipotesa ini mendapatkan pembenarannya.
Para pembaharu agama telah merumuskan gagasan bahwa agama bukanlah soal menerima nasib baik maupun buruk. Agama bukan iklan kepasrahan seperti yang difatwakan dai kondang yang pro kenaikan BBM. Agama juga bukan hanya menghancurkan manusia lain lewat bom seperti bom di Bali dan Irak.
Agama adalah estetika moral, sebuah alkemi etika, kata Karen Armstrong [2004]. Alkemi kimia yang menghidupkan manusia untuk bukan hanya menerima kebaikan tetapi juga mentradisikannya. Bukan hanya menghindari kejahatan tetapi juga mengutuk dan mengharamkannya.
Dari gagasan ini kita kemudian mengetahui bahwa para pendiri agama adalah orang aneh dan “tersesat” pada awalnya dari tradisi besar umatnya. Ia sendirian dan dalam lubuk hatinya yang terdalam mengalami kesepian sambil limbo antara mengikuti tradisi umat yang sudah sesat atau terus berjalan dalam rute yang belum jelas dan tak berpeta; tanpa navigator dan bensin yang cukup.
Tetapi lewat perjuangan dan kekuatan psikologisnya, para nabi kemudian berhasil meletakkan dasar-dasar agama yang intinya adalah memanusiakan manusia. Selanjutnya, agama didesain dalam tiga hal penting; kata-kata verbal yang berupa kesiapan untuk berkomitmen, aktualitas empirik dalam kehidupan, pentradisian kebaikan di masa lalu dan penciptaan kebaikan di masa depan.
Komitmen, perealisasian dan pentradisian kebaikan adalah tiga kata kunci orang beragama. Tanpa komitmen, cacatlah sebuah agama. Tanpa perealisasian, agama hanya menjadi sebatas iklan. Tanpa pentradisian, hambarlah sebuah agama.
Agar tidak cacat, tidak sekedar iklan dan tidak hambar, agama kemudian, secara psikologis menghadirkan dua hal sekaligus; sumber primitif yang meliputi kebutuhan rasa aman, respon kekurangan diri, perlunya pengakuan, dan adanya keinginan mendapat pengalaman baru. Sumber kedua adalah sumber modern yang meliputi identifikasi, alat/ideologi pertahanan dan perlawanan. Dua sumber inilah “tempat awal dan tempat kembali” kehadiran keagamaan dalam masyarakat. Dua sumber inilah kurikulum dasar agama.
Karenanya, agama kemudian bertugas melakukan kampanye aktif tentang penyadaran menyeluruh (conscientization) terhadap proses pelestarian menjadi diri manusia sejati [insan kamil]. Agama menyadarkan bahwa proses menjadi manusia sejati bukan hanya mengatasi ketergantungan ekonomi, sosial, dan politik.
Tetapi juga usaha menuntun manusia untuk mengartikulasikan pembebasan tanpa syarat bagi semua entitas, ras, suku, bahkan jender. Tegasnya, agama adalah perlawanan. Ia melihat manusia dalam pencariannya akan masyarakat yang berbeda secara kwalitatif, sehingga mampu mengukir sejarah nasibnya sendiri. Ia mendorong penyelesaian-penyelesaian atas nama kemanusiaan universal.
Ia berprinsip bahkan bertitik tolak untuk bertitik akhir pada semangat memerdekakan manusia, memanusiakan manusia. Sebab kebebasan manusia; berasal, dari, oleh dan untuk manusia itu sendiri. Hak yang paling asasi itu berasal dari dirinya dan untuk dirinya. Bukan dari luar dirinya, bukan pula diperuntukkan bagi lainnya.
Agama juga menyadari bahwa tampilan di wilayah publik hanyalah sebatas nilai dan semangatnya. Bukan pada bentuk-bentuk formal. Sebab agama (teis) adalah bukan pada ucapan verbal yang kaku, tetapi lebih pada kelakuan subtansial yang dapat dilihat efektifitas dan karyanya di tengah masyarakat.
Dari sini menjadi kurang penting lagi, apakah ia bersyahadat atau tidak. Menjadi kurang penting apakah ia beribadat formalis atau tidak. Menjadi kurang penting nama suatu agama. Menjadi kurang penting verbalitas kata-kata.
Sebab itu, teis dan ateis ditentukan oleh banyak hal yang keluar dari prinsip-prinsip literalis, dogma-dogma, maupun ujaran-ujaran masa lalu. Lihatlah apa yang dikerjakan, jangan lihat siapa yang mengerjakan. Lihatlah apa yang dilakukan, bukan apa yang diucapkan.
Rumusan lebih jauhnya menjadi “hakekat agama adalah hakekat perubahan sejarah.” Ia bukan kumpulan dogma, ajaran kaku maupun etika tertutup, melainkan proses-proses historis yang selalu bergerak menuju yang lebih baik, lebih manusiawi dan lebih bisa diterima akal sehat.
Ia mewajibkan diri pada kebijakan tinjau ulang, uji ulang dari segenap anasir dan penghayatan sejarah manusia, sejarah bangsa, dan sejarah perorangan. Ia mereformasi dan merevolusi diri secara elaboratif dan berkelanjutan terhadap seluruh dogma lama agar lebih civilian, martabatif, sekaligus adil terhadap semua dan sesama. Ia meninggalkan perdebatan kata-kata untuk bergerak lebih dalam ke arah pelaksanaan dan pemenuhannya.
Para pembaharu kemudian menyingkat bahwa pesan dasar agama adalah pesan dasar Tuhan. Dengan bertuhan, manusia menuhan dan menjadikan dirinya sadar akan keterbatasan dan berusaha selalu untuk menjadi yang terbaik [kamil]. Dan, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Menghidupi satu manusia sama dengan menghidupi seluruh yang bernyawa, demikian pula sebaliknya.
Hari-hari ini kita merasa pesan-pesan dasar agama, pesan-pesan para pembaharu “kehilangan arah.” Agama hari ini bergerak lamban dan berwajah suram. Lamban berdiri kokoh di belakang umat ketika mereka sengsara akibat rezim neo-liberal. Suram karena lebih menampilkan sisi eskatologis [hantu, sorga, neraka, setan] tanpa menyajikan pesan besar lainnya. Agama kita hanya menghasilkan ledakan tanpa dentuman. Agama kita hanya meniscayakan kepasrahan tanpa perlawanan.
Cak Nur telah pergi, tetapi pesan bahwa agama(wan) harus menjadi palang pintu terakhir umat masih relevan dilaksanakan. Sebab, agama pada akhirnya tak lain adalah kejadian-kejadian yang ditulis ulang, diputar ulang dalam rangkaian melingkar yang berkelok tak berhingga dalam multi wajah, kompleks, beragam yang kadang retak dan tak selalu mulus.
Disusun ulang dari percakapan-percakapan dan pikiran-pikiran dari orang per orang dan diselundupkan ke sel-sel pikiran orang lain di sekitarnya. Ia membentuk ikatan dan batas, solidaritas dan kewajiban, ingatan dan cita-cita, kawan dan lawan, serta imaji dan harapan yang jelas.
Dengan beberapa alasan di atas, para pembaharu agama pasca Cak Nur punya pekerjaan berat yang sangat menantang; publik yang carut marut, negara yang “gagal,” pelacuran dai-dai agama, simplifikasi pesan-pesan subtansi Islam dan kehancuran sebuah bangsa.
Karena itu, mulai sekarang akan sangat baik bila para pembaharu kembali meneguhkan niat baiknya untuk mewartakan, mencontohkan dan mentradisikan pesan-pesan agama yang “gagah” agar publik kembali tertib-stabil, dai pro rakyat bukan pro neo-liberal, negara kembali bermartabat, Islam kembali pada relnya, dan agama mampu menunda kehancuran bangsa.
Dus, arah baru kajian agama [Islam] masih merupakan area yang sangat menantang. Sebab, tak ada diri tanpa umat. Tak ada umat tanpa agama. Tak ada agama tanpa Tuhan. Tak ada Tuhan tanpa diri. Hubungan-hubungan mutualisme dan komensalisme inilah geografis kajian agama yang takkan pernah habis. Kehabisan cara pandang dan teoritik akan menghasilkan masyarakat yang mengeras, hubungan yang disharmonis bahkan utopis seperti yang sedang kita rasakan.*
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).