Mohammad Iqbal Hanaf*
PIRAMIDA.ID- Minggu lalu, kepolisian Jakarta menetapkan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar protokol kesehatan COVID-19 karena mengadakan acara dengan kerumunan orang di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, bulan lalu.
Rizieq dijerat dengan pidana penghasutan dan menghalang-halangi aparat.
Belum lama tiba di Indonesia setelah dua tahun lebih berada di Arab Saudi, Rizieq langsung menghadirkan kontroversi ketika menyampaikan berbagai ceramah kepada massa pendukungnya, salah satunya berisi ancaman penggal kepala bagi siapa pun yang menghina nabi, ulama atau Islam.
Pertanyaan tentang sejauh mana sistem perundang-undangan di Indonesia menyediakan ancaman yang berarti bagi para pelaku ujaran kebencian kembali muncul.
Ceramah-ceramah penuh kebencian dan hasutan kekerasan terus berulang karena nyaris tidak ada penegakan hukum yang menimbulkan efek jera terhadap para pelaku. Kenapa demikian?
Problematika hukum ujaran kebencian
Dalam beberapa definisi, ujaran kebencian atau hate speech adalah ungkapan kebencian atau permusuhan secara ekstrem kepada pihak lain yang dikaitkan dengan identitas atau golongan seperti agama, ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual.
Konvensi hukum internasional, International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), menyatakan ujaran kebencian harus dikenai hukuman pidana.
Dalam definisi CERD ini, ujaran kebencian berbeda dengan dengan kritik terhadap sebuah tindakan atau sebuah kelompok.
Kritik terhadap kezaliman penguasa atau kekejaman anggota sebuah golongan berbeda dengan ujaran yang melekatkan karakter jahat atau negatif terhadap ras atau agama tertentu.
Ujaran kebencian yang menyematkan karakter jahat secara menyeluruh kepada suatu kelompok itu berbahaya karena dapat mendorong tindakan diskriminasi atau menyingkirkan kelompok agama atau ras yang menjadi sasaran.
Meski demikian, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian dalam pengertian di atas umumnya menimbulkan dilema dan kesulitan terutama dalam menentukan batas antara wacana yang sah dan yang melanggar hukum.
Pembatasan yang terlalu ketat terhadap wacana publik dikhawatirkan dapat memberangus kebebasan berekspresi.
Selain itu, di era digital, ujaran-ujaran yang bernuansa kebencian terlalu banyak sehingga sulit bagi penegak hukum untuk menindak dengan kemampuan yang terbatas.
Karena itu, sejumlah kalangan membedakan bentuk-bentuk ujaran kebencian berdasarkan derajat ancaman.
Wujud ujaran kebencian yang paling berbahaya adalah ujaran yang secara terang menghasut masyarakat untuk melakukan aksi kekerasan atau diskriminasi terhadap orang lain berdasarkan identitas.
Respons terhadap ujaran kebencian sebaiknya tidak selalu menempuh jalur hukum karena dalam isu ujaran kebencian terdapat dilema kebebasan berekspresi serta keterbatasan aparat penegakan hukum dalam menangani banyaknya ujaran bernuansa kebencian.
Ujaran kebencian yang baru sebatas wacana negatif dan permusuhan terhadap kelompok identitas tertentu dapat menjadi arena pertarungan politik yang sah di masyarakat.
Diatur undang-undang
Di Indonesia, ujaran kebencian diatur di sejumlah undang-undang (UU).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pidana bagi ujaran kebencian baik yang bersifat wacana maupun yang sudah secara terang menghasut untuk melakukan kekerasan.
Pada praktiknya, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian – bahkan termasuk yang sudah mengandung ancaman kekerasan – sangat jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, pelaku biasanya menerima hukuman yang sangat ringan.
Misalnya, pada 2012 saat sentimen anti-Syiah di Sampang, Madura, makin memanas, Noer Tjahja seorang politikus yang akan mencalonkan diri menjadi bupati menyampaikan ancaman kekerasan di depan publik dengan mengatakan “jika saya terpilih, saya pastikan warga Syiah keluar dari Sampang dalam 3 bulan.”
Noer Tjahja bebas melenggang pasca ceramah ini, tanpa pernah diadili atau bahkan diperiksa aparat penegak hukum.
Contoh lain terjadi pada 2011 ketika sejumlah orang diadili dengan tuduhan menghasut massa melakukan aksi kekerasan terhadap gereja di Temanggung, Jawa Tengah.
Mereka akhirnya dihukum penjara 1 tahun tetapi tidak dengan delik ujaran kebencian tetapi hasutan biasa.
Delik ujaran kebencian yang tersedia di KUHP pada praktiknya sulit diterapkan, karena muatannya luas dan aparat cenderung menghindari isu sensitif terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada akhirnya, negara mengeluarkan UU baru untuk menjerat ujaran kebencian terutama yang tersebar di media sosial melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sejak UU ini disahkan pada tahun 2008, terjadi banjir kasus ITE – jumlah kasus pemidanaan mencapai 285 kasus sejak 2008 hingga 2019
UU ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik, membungkam kritik, atau upaya mengkriminalisasi korban.
Pasal karet dalam UU ITE tidak hanya delik ujaran kebencian, tapi juga pasal-pasal lain seperti delik tentang konten yang melanggar kesusilaan, pencemaran nama baik, dan ancaman kekerasan.
Dasar hukum untuk menjerat ujaran kebencian memang ada, tetapi pada praktiknya penegakan hukum seringkali bersifat ambigu dan rawan bias kepentingan politik.
Negara harus apa?
Dalam kasus Rizieq, ada banyak pasal hukum yang dapat menjerat ceramah-ceramah kerasnya. Dan sesungguhnya dia sudah pernah menjadi terpidana karena perkara yang berkaitan dengan delik ujaran kebencian.
Pada tahun 2003, Rizieq mendapat hukuman 7 bulan penjara karena penyataan “Gubernurnya budek, DPRD-nya congek, polisinya mandul.” Ia dihukum karena menghasut massa melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban umum, dan menghina pemerintah.
Pada tahun 2016, Rizieq kembali diadukan ke pengadilan atas tuduhan kebencian terhadap agama Kristen karena berujar “kalau Tuhan beranak, bidannya siapa”.
Hingga hari ini tidak ada kelanjutan dari kasus ini, dan juga kasus-kasus lain yang menjerat Rizieq.
Kedua kasus di atas menunjukkan salah kaprah pemahaman dan tumpang tindih pemaknaan tentang ujaran kebencian, perbuatan tidak menyenangkan, dan penodaan agama.
Kata-kata Rizieq dalam ketiga kasus di atas lebih tepat disebut perbuatan tidak menyenangkan atau penodaan agama ketimbang ujaran kebencian.
Penegakan hukum terhadap ujaran seperti ini menimbulkan perdebatan dan justru menimbulkan simpati kepada terdakwa, sehingga bisa menjadi preseden untuk melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas.
Untuk mengurangi dampak berbahaya dari ceramah-ceramah provokatif sebaiknya negara fokus pada dua hal.
Pertama, melakukan penegakan hukum pada ujaran-ujaran kebencian yang paling keras, yakni ujaran-ujaran yang secara terang mengajak atau menghasut massa untuk melakukan aksi kekerasan.
Meskipun penegakan hukum terhadap tokoh publik seperti Rizieq tidak akan sepi dari kontroversi, tetapi paling tidak penggunaan delik yang lebih terang bisa mengurangi potensi tuduhan peradilan yang tidak adil.
Bukan berarti ujaran kebencian dalam taraf yang lebih ringan tidak berbahaya, tetapi lebih baik negara menyerahkan hal itu menjadi arena pertarungan di ranah masyarakat.
Dengan energi penegak hukum yang terbatas, konsistensi dalam penindakan terhadap hasutan untuk melakukan kekerasan bisa cukup berarti dalam menghambat dan mencegah provokasi kebencian yang menjadi senjata tokoh-tokoh populis.
Kedua, menghentikan pembiaran atau bahkan dukungan dari para aktor politik dan aparat keamanan terhadap mobilisasi gerakan-gerakan intoleran.
Kelompok-kelompok vigilante seperti FPI mampu membangun eksistensi dan peran mereka di masyarakat karena “kesepakatan” yang mereka lakukan dengan pemerintah terutama di tingkat lokal, misalnya dalam hal penyediaan jasa keamanan non-formal untuk publik dan sektor bisnis.
Lewat kesepakatan ini, anggota FPI mendapatkan peran dalam publik, dan memelihara simpati dan partisipasi di kalangan masyarakat miskin.
Walau narasi negara di tingkat nasional belakangan berlawanan dengan kelompok Rizieq, tetapi di tingkat lokal,
aktor-aktor negara masih banyak yang menjadi “penyokong”.
Mereka misalnya memberi kelompok ini keuntungan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan konsesi di bidang jasa keamanan dan layanan sosial, dan melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan yang mereka lakukan.
Konsistensi dalam dua hal di atas akan lebih signifikan dalam mencegah kekerasan sektarian dan mengurangi sokongan pada radikalisasi ketimbang melakukan penegakan hukum agresif yang menggunakan pasal-pasal karet.(*)
Source: The Conversation