PIRAMIDA.ID- Di tengah makin cepat melonjaknya kasus COVID-19 dalam dua bulan terakhir di Indonesia, obat-obat untuk pasien terinfeksi virus corona makin langka dan mahal.
Bukan hanya pasien yang menghadapi masalah tersebut tapi juga dokter. Saya sebagai dokter keluarga yang menjalankan praktik sehari-hari di layanan primer di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga kesulitan mendapatkan obat untuk pasien-pasien COVID yang saya tangani.
Masalah obat langka ini bukan hanya mengancam keselamatan pasien, tapi juga akan makin memperpanjang masa pandemi. Sebab orang-orang yang terinfeksi tidak segera sembuh sehingga berisiko memperparah atau menularkan pada orang lain.
Obat yang biasa untuk pasien COVID
Selama setahun terakhir klinik saya melayani juga pasien-pasien COVID 19, memeriksa status sakit mereka baik melalui skrining antibodi, antigen maupun pengambilan sample PCR.
Informasi akurat dan kredibel bagaikan oksigen yang menyehatkan kita.
Kepada pasien yang positif dan bergejala ringan, kami membantu memantau mereka menjalani isolasi mandiri di rumah, baik secara video call maupun kunjungan rumah.
Dalam pemantauan sehari-hari, klinik juga memberikan pengobatan rutin sesuai pedoman yang diberikan oleh kementerian kesehatan. Misalnya, oseltamivir untuk antivirus, yang jelas merupakan obat utama dalam mengatasi infeksi oleh virus.
Pedoman tersebut juga menganjurkan pemberian azitromisin. Obat ini sebenarnya tergolong antibiotik yang berguna untuk melawan bakteri. Namun azitromisin direkomendasikan kepada pasien COVID 19 yang sebenarnya disebabkan virus, dengan pemikiran untuk mencegah terjadinya perburukan oleh infeksi sekunder bakteri.
Sejak akhir Juni klinik kami mulai kesulitan meresepkan obat-obatan tersebut karena obat tidak ada. Pasien-pasien mengirim pesan melalui WhatsApp atau menelepon minta supaya saya membantu mencarikan. Bahkan saya menyarankan mereka mencari di aplikasi online. Harga melonjak tajam, dari yang sekitar Rp 200 ribu per strip, naik mendekati Rp 500 ribu-an. Itu pun barangnya tidak ada.
Apa yang terjadi? Selain berlaku hukum pasar, tampaknya tidak ada pengawasan dari otoritas pengawas obat (BPOM) untuk harga obat ini. Padahal di setiap kemasan obat ada tertulis HET (harga eceran tertinggi). Harga obat ini ditetapkan dari beberapa komponen, yaitu bahan baku, biaya pengolahan, biaya kemasan, biaya distribusi, biaya pemasaran serta biaya administrasi.
Naik dalam sepekan jelas tidak wajar
Indonesia mengimpor bahan-bahan aktif dari luar negeri untuk diolah menjadi obat-obat sediaan jadi di pabrik obat. Biaya bahan baku menyumbang sekitar 25%-30% dari beban produksi keseluruhan.
Kenaikan harga suatu obat seperti azitromisin dua kali lipat dalam satu minggu tidak wajar. Hanya selisih satu minggu kemungkinan besar obat yang beredar adalah obat yang tanggal produksi yang sama. Seharusnya tidak ada perbedaan biaya produksi dan komponen-komponen biaya lainnya.
Kalau pun ada perbedaan tanggal produksi, hampir mustahil ada perbedaan biaya pengolahan. Tidak ada kenaikan harga listrik dan bahan bakar minyak yang mempengaruhi kenaikan biaya produksi dan distribusi.
Saya masih ingat, harga-harga obat biasanya naik kalau ada kenaikan harga dari sumber-sumber energi, bahkan termasuk impor barang.
Dampak pada pasien
Kelangkaan obat membuat masyarakat panik karena kesulitan mengakses obat yang mereka butuhkan saat sakit. Padahal, panik dan kecemasan membuat hormon adrenalin dan kortison seseorang meningkat yang justru memperburuk kerusakan jaringan, meningkatkan gula darah, menurunkan imunitas.
Di tengah rasa panik ini, banyak informasi yang tidak akurat tentang resep obat COVID 19 di media sosial termasuk berita-berita yang menyarankan berbagai resep obat COVID-19 yang belum terbukti secara klinis.
Mungkin tanpa membawa resep dari dokter, sebagian masyarakat “menyerbu” pasar untuk membeli obat. Ini fenomena sama seperti tahun lalu ada awal pandemi ketika masker dan sarung tangan, bahkan hand sanitizer menjadi barang langka dan mahal.
Banyak obat yang direkomendasikan untuk mengobati COVID 19 namun pembuktian khasiatnya masih memerlukan penelitian klinis (clinical trial). Dalam kondisi belum adanya hasil riset, obat-obat sudah kadung beredar dengan berbagai berita efektivitas maupun efek samping yang dikeluhkan masyarakat dalam media sosial. Hal ini akan menimbulkan keragu-raguan bagi banyak orang yang membutuhkan terapi.
Masyarakat sebaiknya berkonsultasi dengan dokter keluarganya atau dokter di Puskesmas sebelum mengambil tindakan sendiri. Sungguh berbahaya bila masyarakat membeli obat-obatan, seperti oseltamivir untuk penyakit COVID, tanpa resep dokter.
Peran pemerintah dalam kendalikan harga obat
Harga obat tidak bisa diserahkan kepada pasar. Pemerintah harus turun tangan mengendalikan harga yang tidak terkendali.
Langkanya obat adalah bukti dari keterlambatan pemerintah dalam mengantisipasi dampak dari ledakan kasus COVID-19 dalam dua bulan terakhir. Kepanikan masyarakat adalah gambaran ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, khususnya dalam hal pengendalian pandemi ini.
Pemerintah terlambat belajar dari pengalaman tahun lalu ketika masker dan sarung tangan menjadi barang mahal.
Kita berharap peraturan terbaru mengenai harga eceran tertinggi obat-obatan COVID-19, dapat menurunkan harga obat dan akses obat-obatan lebih mudah bagi mereka yang membutuhkan.(*)
The Conversation