PIRAMIDA.ID- Di wilayah dengan ketimpangan ekonomi, anak miskin harus berjuang sangat keras untuk meniti anak tangga keluar dari kemiskinan.
Alan Krueger, penasihat ekonomi presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton dan Barack Obama, menjelaskan adanya hubungan negatif antara ketimpangan ekonomi dengan mobilitas sosial.
Mobilitas sosial adalah pergerakan naik (atau turun) seseorang dalam kelas sosial ekonomi, misalnya antara kelas miskin, menengah bawah, menengah atas, dan kelas kaya.
Krueger menunjukkan bahwa di wilayah yang memiliki perbedaan ekonomi yang menonjol antara kaya dan miskin, anak-anak yang terlahir miskin cenderung lebih sulit “naik kelas” ke status ekonomi yang lebih tinggi.
Lebih sulit, bukan berarti sama sekali tidak mungkin. Analisis dengan menggunakan data rumah tangga periode 1993-2007 oleh Indera Ratna Irawati Pattinasarany, sosiolog dari Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa kelompok miskin di Pulau Jawa ada yang mengalami mobilitas sosial.
Meski demikian, angkanya lebih kecil dibandingkan dengan yang dialami oleh kelompok menengah yaitu 27% berbanding 45%. Angka ini bisa jadi lebih kecil di Indonesia bagian timur.
Narasi mengenai proses perbaikan status sosial tidak sedikit yang fokus pada semangat, etika kerja, dan hal-hal positif yang dimiliki anak-anak tersebut.
Cerita-cerita seperti ini penting untuk memotivasi, sekaligus melawan stigma pada kelompok miskin.
Namun, narasi seperti itu cenderung mengabaikan beban yang dihadapi kelompok miskin dalam proses memperbaiki status ekonominya.
Apa saja harga yang harus mereka bayar?
Pertama, proses mobilitas sosial sering memaksa anak, khususnya dari kelompok marginal, untuk keluar dari komunitasnya.
Jika anak tinggal di wilayah yang menawarkan kesempatan yang tidak hanya terbatas, tapi juga timpang, maka dia harus pergi dari situ untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik.
Tinggal jauh dari komunitas berpotensi mengurangi modal sosial yang bisa anak gunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, terutama jika anak masih harus beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Keterbatasan teknologi dapat menjadi penghalang utama bagi anak dari kelompok marginal untuk tetap terhubung dengan komunitasnya.
Perginya anak dari komunitas, juga bisa berdampak besar bagi keberlanjutan komunitas.
Dalam salah satu film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru, sekelompok anak petani kopra di Halmahera, Maluku Utara, yang sedang mengenyam pendidikan tinggi ragu apakah mereka bisa melanjutkan pekerjaan orang tua setelah mereka lulus.
Tanpa dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda, bertani kopra sebagai salah satu mata pencaharian di Halmahera tersebut bisa saja menghilang.
Dalam kasus ekstrem, anak bisa sama sekali tidak kembali ke komunitas karena melanjutkan hidup di kelas barunya.
Kedua, proses mobilitas sosial kerap memunculkan konflik budaya yang terjadi akibat perubahan cara pandang dan gaya hidup anak.
Meskipun nilai dan budaya kerap bersifat netral, institusi pendidikan sebagai gerbang mobilitas cenderung mendiskriminasi kelompok marginal.
Studi kualitatif di AS tahun 2018 menunjukkan bahwa institusi pendidikan tidaklah netral secara kelas ekonomi.
Selain menyortir siswa berdasarkan kemampuan akademis —- yang sangat berkaitan dengan kelas ekonomi, institusi pendidikan juga cenderung memberikan keistimewaan pada pelajar dari kelas menengah-atas.
Diskriminasi terhadap kelompok kelas bawah terus berlanjut ketika anak lulus dari pendidikan tinggi.
Misalnya sebuah studi di AS yang melihat proses rekrutmen untuk menjadi pekerja di profesi elite (di sektor finansial, manajemen, dan hukum) menunjukkan bahwa proses ini sangat menantang bagi anak dari keluarga miskin. Mereka sering kali dianggap tidak “cocok secara budaya”.
Bahkan, lulus dari kampus ternama belum tentu menjamin anak-anak miskin mendapatkan pekerjaan yang layak dengan insentif yang setara dengan yang didapatkan anak-anak dari kelas menengah dan atas.
Di Indonesia, analisis serupa masih terbatas. Namun, mereka yang bekerja di profesi menengah-atas bisa melihat seberapa banyak rekan kerja yang berasal dari kelas bawah dan kelompok marginal.
Untuk bisa beradaptasi di dunia pendidikan dan pekerjaan yang cenderung berpihak pada kelas menengah, anak-anak dari kelompok marginal harus terampil melakukan codeswitch, yaitu penyesuaian perilaku tergantung konteks.
Keterampilan ini membantu mereka untuk bermanuver dalam kehidupan baru di lingkungan dengan budaya dan nilainya berbeda dengan lingkungan sebelumnya.
Tanpa kesadaran penuh melakukan penyesuaian, individu seperti ini rentan mengalami krisis identitas.
Mengadopsi nilai-nilai kelas menengah bisa juga membuat mereka ikut memandang negatif latar belakang mereka sendiri, yang lagi-lagi berpotensi menjauhkan mereka dari akarnya.
Riset menunjukkan bahwa kelompok menengah dan berpendidikan cenderung memiliki pandangan negatif pada mereka yang tidak berpendidikan tinggi.
Ini berkaitan dengan beban ketiga, yaitu kesehatan mental.
Studi di Inggris, yang dipublikasikan tahun 2020 mengungkapkan bahwa orang yang berhasil memperbaiki status sosial cenderung tidak lagi terhubung dengan akarnya, namun tidak juga terhubung dengan kelas barunya.
Kondisi ini rentan menyebabkan kesepian pada mereka.
Lebih lanjut, studi yang dilakukan pada orang dewasa muda sukses yang berasal dari kelas dan ras minoritas di kota besar di negara maju menunjukkan bahwa tidak sedikit dari mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Selain depresi dan kecemasan, mereka juga rentan mengalami kelelahan mental (burnout).
Di Indonesia, hasil riset kesehatan dasar menunjukkan bahwa prevalensi gangguan emosional pada kelompok usia di atas 15 tahun meningkat dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018.
Masalah kesehatan mental umum dialami oleh orang-orang dari berbagai kelas ekonomi. Namun, kemiskinan adalah salah satu faktor risiko pendorong.
Banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh kelompok miskin, di tengah keterbatasan sumber daya, berpotensi memunculkan berbagai masalah kesehatan mental.
Apa yang harus dilakukan?
Di Indonesia, kita cenderung percaya bahwa kesuksesan adalah buah usaha dan kerja keras. Kepercayaan ini penting untuk mendorong bahwa semua orang harus berusaha.
Namun, keyakinan ini cenderung menjustifikasi ketimpangan. Dalam pandangan ini, mobilitas sosial sekadar urusan individu.
Nyatanya, membuat mobilitas sosial menjadi lebih mudah membutuhkan usaha bersama.
Sebagai gerbang awal, institusi pendidikan harus lebih sensitif dengan keadaan dan kebutuhan semua pelajar.
Alih-alih berasumsi bahwa semua pelajar tahu apa yang harus mereka lakukan, institusi pendidikan dan orang-orang di dalamnya perlu memastikan bahwa semua pelajar mengetahui semua pengetahuan dan informasi tentang cara kerja dan kehidupan sekolah dan pendidikan tinggi.
Penyediaan mentor bisa juga membantu kelompok miskin menghadapi kehidupan barunya di pendidikan tinggi dan pekerjaan; khususnya bagi mereka yang menjadi generasi pertama di keluarganya yang mengenyam pendidikan tinggi
Layanan kesehatan mental yang mudah dijangkau juga dapat menjadi salah satu dukungan sosial untuk mereka. Tentu orang-orang yang bekerja di dalamnya harus sensitif dengan kondisi anak, dan tidak justru menyepelekan masalah anak menjadi urusan individu.
Terakhir, yang paling penting, kita perlu mengubah sikap terhadap mobilitas sosial.
Mobilitas sosial bukan solusi atas ketimpangan yang terjadi. Sebaliknya, negara perlu melakukan upaya sistematis untuk menghapus ketimpangan sehingga mobilitas sosial yang penuh derita ini bisa teratasi.
Negara, misalnya, dapat menerapkan kebijakan ekonomi yang progresif dan berpihak kepada kelompok marginal serta pemerataan layanan dasar dan kualitas pendidikan.
Di dunia yang lebih adil dan setara, anak-anak kurang beruntung tidak perlu berjuang luar biasa keras untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Mereka, terlepas mengalami mobilitas atau tidak, berhak mendapatkan penghormatan dan penghidupan yang baik.(*)
The Conversation