PIRAMIDA.ID- Berapa bahasa yang Anda kuasai? Menurut riset yang dilakukan SwiftKey, Indonesia adalah negara trilingual nomor satu di dunia karena menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris. Peringkat ini mengalahkan Israel yang menguasai bahasa Ibrani, bahasa Inggris, dan bahasa Rusia.
Selain bahasa Jawa, tentu sudah umum diketahui Indonesia adalah negara yang multietnis, sehingga memungkinkan untuk menguasai bahasa persatuan itu sendiri ditambah bahasa daerah atau etnisnya.
Ethnologue pada 2016, menaruh Indonesia sebagai negara multibahasa peringkat kedua tertinggi di bawah Papua Nugini dan di atas Nigeria. Beberapa dari orang Indonesia bisa saja lebih dari satu bahasa daerah atau bahasa negara lain, sehingga bisa dikatakan sebagai poliglot.
Setiap bahasa itu unik, terutama dalam penyebutan bilangan. Misal, angka 25, 50, dan 60, bahasa Jawa menyebutnya sebagai selawe, seket, dan sewidak, bukan sebagai bilangan yang mengikuti urutan angkanya seperti siji, loro, dan telu yang mereka terapkan pada satuan.
Lebih unik lagi seperti bahasa Prancis. Mereka menyebut angka 70 sebagai soixante-dix atau secara literal disebut enam puluh-sepuluh dan berlaku hingga 79, serta 80 sebagai quatre-vingt yang berarti empat-dua puluh atau empat dikali 20 dan berlaku hingga 89.
Fakta lainnya bagi orang yang bisa berbicara lebih dari satu bahasa adalah kemampuan berpikir dan memahami dunia. Mereka bahkan bisa memutar otak dengan cepat ketika harus menggunakan suatu bahasa secara sadar maupun tidak sadar.
Sebuah penelitian tahun 2017 menemukan bahwa orang yang bisa berbicara dua bahasa dengan lancar, dapat memahami waktu secara berbeda tergantung konteks bahasa di mana mereka memperkirakan durasi suatu peristiwa.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Journal of Experimental Psychology: General, berjudul “The Whorfian Time Warp: Representing Duration Through the Language Hourglass” yang dipimpin oleh Emanuel Bylund dari Stellenbosch University, Afrika Selatan.
Studi ini menemukan bahwa lewat kemampuan bilingual tampaknya menggunakan kedua cara penandaan durasi yang dimiliki oleh dua bahasa yang dikuasainya.
“Dengan mempelajari bahasa baru, Anda tiba-tiba menjadi terbiasa dengan dimensi persepsi yang tidak Anda sadari sebelumnya,” kata Panos Athanasopoulos, rekan peneliti dari Lancaster University, Inggris, dikutip dari Science Daily.
Misal, dalam penelitian ini, penutur bahasa Inggris dan Swedia lebih suka menandai durasi peristiwa dengan mengacu pada jarak fisik, seperti istirahat sejenak (short break), dan pernikahan panjang (a long wedding). Sementara penutur bahasa Yunani dan Spanyol, cenderung menandai waktu dengan acuan kuantitas fisik karena waktu dianggap sebagai volume yang bertumbuh, seperti istirahat kecil (small break) dan pernikahan besar (big wedding).
Mereka berdua melakukan eksperimen pada bilingual Spanyol-Swedia untuk memperkirakan berapa banyak waktu yang telah berlalu saat melihat garis yang akan muncul di layar dan wadah yang sedang diisi. Para peserta diminta menggunakan kata duración (durasi dalam bahasa Spanyol) atau tid (durasi dalam bahasa Swedia).
Hasilnya, ketika wadah terisi penuh dan dorongan pengucapan cepat dalam bahasa Spanyol, para bilingual ini menganggap waktu sebagai volume. Mereka tidak terpengaruh oleh garis yang muncul di layar.
Kondisi terbalik terjadi ketika mereka harus secara cepat dalam bahasa Swedia dan mengubah perilakunya. Mereka dengan cepat langsung mempersepsikan waktu dipengaruhi oleh jarak yang telah ditempuh garis di layar, bukan seberapa banyak wadah yang sedang diisi.
“Fakta bahwa para bilingual menjadi cara-cara yang berbeda untuk memperkirakan waktu dengan mudah dan tidak sadar cocok dengan semakin banyak bukti yang menunjukkan kemudahan bahasa yang dapat menyusup ke dalam indra kita yang paling dasar, termasuk emosi kita, persepsi visual kita, dan sekarang ternyata keluar, rasa waktu kita,” Athanasopoulos berpendapat.
“Tetapi itu juga menunjukkan bahwa [orang yang bisa] bilingual adalah pemikir yang lebih fleksibel, dan ada bukti yang menujukkan bahwa yang saling terhubung secara mental antara bahasa yang berbeda setiap hari memberikan keuntungan pada kemampuan untuk belajar dan multitasking, dan bahkan manfaat jangka panjang untuk kesehatan mental.”(*)
National Geographic Indonesia