Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Tahun 1914, tujuh tahun setelah Si Singamangaraja XII ditembak Belanda, Padang Sidimpuan menjelma sebagai kota kecil yang mengkhawatir Belanda. Pasalnya, penduduk di kota yang merupakan pusat administrasi yang mengatur tata niaga perdagangan komoditas ekspor, semakin tak bisa dikendalikan.
Mereka, terutama yang terdidik di lembaga-lembaga pendidikan formal Belanda hasil program politik etis, berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Secara terang-terangan, lewat surat kabar yang mereka dirikan, mereka mengkritik kebijakan-kebijakan soal pembangunan infrstruktur, harga komoditas ekspor, hukum, dan tata pemerintahan. Bahasa mereka vulgar, keras, dan tajam. Tapi, Belanda tidak berani menjalankan kekuasaannya untuk mengekang pers.
Padang Sidimpuan, semula merupakan Ibu Kota Keresidenan Tapanuli kurun 1883-1905. Tahun 1905, Ibu Kota Keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga. Pemindahan itu dilakukan setelah wabah malaria yang terjadi di Sibolga — kota pelabuhan yang dibangun di atas kawasan rawa hutan bakau — bisa diatasi dan pelabuhan Sibolga mulai berkembang sebagai pelabuhan ekspor setelah Air Bangis dan Tiku tidak lagi beroperasi.
Proses pemindahan Ibu Kota Keresidenan Tapanuli dari Padang Sidimpuan ke Sibolga sempat menimbulkan reaksi keras dari tokoh-tokoh masyarakat di wilayah Afdeling Padang Sidimpuan mengingat mereka yang bekerja di kantor Keresidenan Tapanuli merupakan anggota keluarga para Raja Panusunan Bulung yang selalu punya suara bulat dalam menentang kebijakan Belanda.
Para keluarga Raja Panusunan Bulung yang juga Kepala Pemerintahan Kuriahooft, merupakan masyarakat Angkola yang satu sama lain diikat oleh Dalihan Na Tolu, dan mereka tidak mau ikut pindah ke Sibolga. Selain itu, para pengusaha Eropa yang datang ke Padang Sidimpuan untuk berbisnis komoditas ekspor, dilarang ikut memindahkan kantor mereka ke Sibolga jika masih menginginkan komoditas-komoditas ekspor seperti kopi dan cengkih.
Kuatnya daya tawar tokoh-tokoh Padang Sidimpuan di hadapan Belanda, memaksa Pemerintah Hindia Belanda memberi kelonggaran bagi yang tak mau ikut pindah ke Sibolga agar tetap bekerja di Padang Sidimpuan. Sebagian lainnya yang meminta dipindahkan ke jawatan lain di lingkungan Pemerintah Hindia Belanda, dipenuhi keinginannya. Banyak guru dari Padang Sidimpuan kemudian dipindahkan ke Tarutung, Balige, Pematangsiantar, dan kota-kota kecil lainnya untuk mengembangkan pendidikan formal.
Tokoh-tokoh di Padang Sidimpuan memiliki daya tawar yang kuat sejak Keresidenan Tapanuli dibentuk sebagai wilayah administrasi baru yang lepas dari wilayah Provinsi Sumatrans Westkuts (Provinsi Pantai Barat Sumatra). Awalnya, Belanda menetapkan nama Keresidenan Batakland (Tanah Batak), tapi keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia itu ditentang mengingat Padang Sidimpuan yang dipersiapkan sebagai Ibu Kota Keresidenan bukan Tanah Batak melainkan Tanah Angkola. Protes ini disampaikan tokoh-tokoh sambil membeberkan sejarah pembentukan kekuriaan yang meliputi seluruh wilayah Tanah Angkola.
Diriwayatkan dalam manuskrip Kerajaan Baringin Tumbur Jati, ketika AP Godon ditunjuk oleh Gubernur Jenderal di Batavia menjadi controleur Afdheling Ancola en Mandhailing, tanggung jawab yang diembannya adalah membuat peta wilayah Afdheling Ancola en Mandhailing dengan cara berdiskusi dengan para tokoh adat. Godon kemudian berkeliling, keluar masuk daerah, dan akhirnya sampai di Sipirok yang saat itu belum masuk dalam wilayah Afdheling Ankola en Mandhailing.
Bertemu Raja Panusunan Bulung di Baringin Tumbur Jati, ditemani Raja Rante Omas dan Raja Sipirok Godang, Godon menyampaikan keinginan Belanda untuk membawa pencerahan kepada masyarakat. Tapi, Godon kemudian menjadi lebih paham, bahwa wilayah yang dimasuki Belanda merupakan Tanah Angkola yang berpusat di daerah Padang Lawas. Godon juga menjadi paham, bahwa raja-raja di Sipirok, Padang Sidimpuan, Padang Lawas, dan daerah-daerah lain merupakan satu kesatuan yang diikat oleh Dalihan Na Tolu dan tidak seorang pun yang bisa mengambil keputusan.
Misi kerja sama AP Godon ke wilayah Sipirok menjadi gagal. Dia harus melakukan perjalanan ke Padang Lawas, namun usahanya sia-sia karena masih buta dengan situasi di Padang Lawas.
Namun, sebelum masa jabatannya berakhir, Godon menerima kedatangan Junghum, seorang ahli botani, yang melakukan ekspedisi ke pelosok-pelosok Tanah Angkola hingga ke Padang Lawas. Hasil perjalanan Junghum ini kemudian diolah Godon menjadi Peta Provinsi Sumatrans Westkut, dan peta itu kemudian disahkan Gubernur Jenderal Batavia menjadi peta militer.
Berdasarkan peta itu, Belanda akhirnya bisa memasuki Padang Lawas. Dengan alasan mengejar para pejuang Padri dan menyerang Tuanku Tambusai yang berkuasa di wilayah Padang Lawas hingga Rokan, Belanda berhasil mengelabui sejumlah tokoh lokal untuk ikut memerangi Tuanku Tambusai.
Sejak itu, kekuasaan Belanda semakin luas, meskipun kebjakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tidak leluasa. Pasalnya, tokoh-tokoh masyarakat di seluruh Tanah Angkola menolak menjalankan hukum Belanda karena masyarakat memiliki hukum adat sendiri. Kalaupun hukum Belanda dinilai modern dan harus diterapkan untuk menata masyarakat, para hakim harus berasal dari masyarakat sendiri. Dengan keputusan itu, Belanda kemudian mendidik masyarakat dengan mendirikan sekolah-sekolah formal.
Alumni sekolah formal, Kweekschool Tano Bato, kemudian disebarkan ke berbagai wilayah untuk menjadi guru di sejumlah HIS yang didirikan Belanda. Mereka yang lulus melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi yang ada di Sibolga, Pematangsiantar, Ford de Kock, dan keluar daerah. Setelah lulus, mereka direkrut jadi pejabat di lingkungan Pemerintah Hindia Belanda.
**
Kembali ke tahun 1914, Padang Sidimpuan menjadi kota besar yang dikuasai oleh masyarakatnya, baik mereka yang menjadi pejabat di lingkungan Afdheling Padang Sidimpuan, tokoh-tokoh adat, maupun para pengusaha. Saat itu, dunia usaha tumbuh pesat di Padang Sidimpuan, terutama di bidang penerbitan dan percetakan.
Susan Rodriges, antropolog yang pernah tinggal di Sipirok untuk meneliti masyarakat Angkola, menulis: “Starting in the 1910s and continuing on through the mid 1930s, five predominantly southern-Batak-language newspapers appeared in these towns. These weeklies and bi-weeklies included Sipirok Pardomoean from that town, Tapian Naoeli and Poestaha from Sibolga, and an earlier version of Poestaha from Padangsidimpuan. Partoengkoan a Batak-language paper mostly about adat custom, appeared in Pematangsiantar. These papers dealt with a mélange of ‘news’, as locally defined: clan celebrations, buffalo sacrifice feasts, school items, plantation crop prices, crime stories, tiger sightings, family life features, fillers on the Dutch monarchy, and countless essays on language matters. The latter were typically discussed in terms of ‘being modern’ in the Indies.”
Tulisan berjudul “Narrating ‘The Modern’ Colonial-era Southern Batak Journalism and Novelistic Fiction as Overlapping Literary Forms” yang disiarkan di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 163-4 (2007): 476-506. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV Press) tahun 2007, itu menunjukkan bahwa Padang Sidimpuan pernah menjadi sentra perkembangan industri pers yang berorientasi pada pencerdasan masyarakat lokal.
Pers yang sebagian besar berbahasa Angkola itu berkontribusi untuk melahirkan masyarakat yang melek ilmu pengetahuan, menyadari hak-haknya sebagai pemilik daerah yang berperan besar dalam meningkatkan kualitas pebangunan daerahnya.
Bukan hal aneh apabila dari Padang Sidimpuan ini kemudian banyak lahir para sastrawan dan wartawan andal, atau mereka yang melakoni hidup sebagai penulis. Bahkan, beberapa nama dari Padang Sidimpuan, memiliki andil besar untuk mengembangkan dinamika pers nasional. Sebut saja Parada Harahap, orang yang memulai karier jurnalistiknya di Padang Sidimpuan, lalu mengembangkan kerajaan bisnisnya ke Batavia.
Keberangkatannya ke Batavia, membawa aset yang banyak. Bukan hanya modal untuk membangun penerbitan baru, tetapi juga generasi-generasi muda pers yang kemudian berkembang di Batavia dan hari ini kita kenal sebagai tokoh pers nasional. Nama-nama seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Adam Malik, Zulkifli Lubis, A.M. Hoeta Soehot, dan banyak nama lagi menjadi tokoh pers yang terinspirasi dari Parada Harahap.
Dunia pers di Padang Sidimpuan memiliki sejarah panjang namun diabaikan. Tidak ada yang mencatat, sehingga berkembang kemudian di Padang Sidimpuan bukanlah pers sebagaimana sejarah awalnya.(*)
Penulis lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis esai di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).