Pranoto*
PIRAMIDA.ID- Wali Kota Pematangsiantar, Hefriansyah Noor, tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan insan pers.
Pria yang telah menjabat selama 4 tahun itu, “dianggap” melecehkan profesi jurnalis.
Polemik ini bermula pada Selasa, 11 Agustus 2020, saat dirinya dikonfirmasi sejumlah awak media massa usai mengikuti rapat paripurna bersama DPRD Kota Pematangsiantar.
Pertanyaan yang diajukan wartawan terkait kunjungannya ke Sekretariat Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang menurut informasinya pada Kamis, (6/8/2020) lalu, tampaknya membuat orang nomor satu di Kota “Sapangambei Manoktok Hitei” itu berang.
Kalimat “makanya kau cari pakai otak” yang terlontar dari Wali Kota Hefriansyah, sontak saja memantik reaksi keras dari beberapa kalangan, utamanya pegiat pers, organisasi mahasiswa, dan juga praktisi hukum.
Bahkan hari-hari ini, ucapan Wali Kota itu menjadi headline sejumlah media massa cetak maupun elekronik.
Pertanyaan maupun pernyataan atas polemik ini kian deras mengalir.
Apakah patut seorang Kepala Daerah mengucapkan kalimat demikian saat tengah dikonfirmasi terkait kinerjanya?
Pancasila sebagai dasar ideologi dan penyelenggaraan negara telah jelas mengamanahkan dalam sila ke-IV, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Wali Kota sebagai orang yang dipilih secara demokratis melalui pemilu dan berada dalam sumpah jabatan, menjadi mutlak dalam mengemban dan mengamalkan isi Pancasila.
Kebijaksanaan Hefriansyah Noor tentu sangat berpengaruh tehadap pembangunan mental maupun spiritual rakyatnya. Teori kedaulatan rakyat yang juga telah lama berpengaruh di dalam iklim demokrasi kita, tentu memberikan pemahaman bahwa sejatinya lembaga negara maupun pemerintahan ialah mereka yang diamanahkan untuk melayani, mengayomi, mencerdaskan, bahkan melindungi segenap tumpah darah Indonesia sesuai isi Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
Etika jabatan juga akan senantiasa melekat, kendati pun orang dalam jabatan itu tidak tengah bertugas.
Maka, apa yang disampaikan Wali Kota Pematangsiantar terlihat kontradiktif dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.
Padahal, selain itu, UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme, telah menegaskan bahwa, “Setiap penyelenggara negara diberikan hak menyampaikan pendapat di muka umum maupun kritik masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab.”
Begitu pun dengan azas kepatutan yang mendasari tata kelola pemerintahan yang baik (good government), tentu apa yang terjadi adalah sebuah pelanggaran norma etika oleh Wali Kota selaku penyelenggara negara berdasarkan undang-undang.
Maka, apabila informasi dan pertanyaan yang disampaikan jurnalis tidak benar atau pun keliru, menurut azas kepatutan tersebut, tidaklah patut Wali Kota Hefriansyah menjawab dengan kalimat yang berpotensi menimbulkan “kegaduhan publik”.
Karenanya, seperti mengutip pernyataan Budayawan Emha Ainun Nadjib, bahwa partai politik adalah alat untuk menuju kekuasaan, namun setelahnya, pemimpin yang terpilih tidak lagi menjadi bagian dari partai.
Pemimpin itu harus mengabdikan diri dan jiwanya untuk rakyat dan Indonesia, maka di setiap jiwa pemimpin ada rakyatnya.
Dia akan takut menyakiti hati rakyatnya, karena dia tahu Tuhannya akan marah, dan dia akan takut menyakiti Tuhannya, karena dia tahu rakyatnya akan sengsara.*
Penulis merupakan seorang praktisi hukum serta pernah berkiprah di bidang jurnalistik.