Jen Maro*
PIRAMIDA.ID- Saat ini terpapar fakta tak terbantahkan bahwa sudah lama bangsa ini diurus tidak berasas Pancasila. Fakta apa? Bansos, BLT, PKH dan lain lain menunjukkan banyaknya orang miskin, tatanan ekonomi timpang dan memiskinkan yang melahirkan segelintir orang kaya raya bin super kaya. Data-data seolah tersembunyi di bawah meja, “si COVID” lah yang membuat data itu bicara, mahasiswa sudah sibuk Webinar.
Ada orang berlindung dengan topeng demokrasi dan hak asasi manusia, seolah semua punya hak melakukan apapun. Seorang Profesor di sebuah kota di Sumatera Utara punya bisnis sampingan usaha kos-kosan. Padahal negara sudah menyekolahkan sampai doktor, punya honor sebagai (jabatan) profesor dan tunjangan struktural lainnya.
Boleh saja kita berkata itu haknya. Nah, coba kalau penderita COVID-19 keluyuran dan penderita teriak itu haknya. Apa hubungannya? Si Profesor yang sudah digaji negara (masyarakat) menutup kesempatan pada orang lain untuk bisnis kos kosan, itu sama dengan keluyurannya si penderita COVID-19, dia merampas kesehatan orang lain.
Begitu hebatnya HAM dan demokrasi yang kita anut sampai praktik pemilihan Bupati pun berongkos tinggi. Masyarakat dibiarkan terjebak dalam praktik politik uang, dan saat ini terbukti.
Banyak Bupati yang hari-hari bagi Bansos, tersenyum pula. Seharusnya dia menangis, karena banyak warganya masih miskin dan melarat. Dengan bangganya si Bupati kasih ayam dan vitamin, padahal sudah menjabat 5 tahun. Inilah dampak politik dari politik uang, oligarki, dan pembodohan masyarakat.
Apakah harus dibiarkan?
Selama kita masih bersepakat dengan Pancasila yang kelahirannya 01 Juni adalah Dasar Negara, sebuah kontrak tersepakati, maka tidak ada pilihan, Pancasila perlu direfresh dan diaplikasi secara konkrit, bukan dengan diksi-diksi sinetron.
Pengelolaan demokrasi berbasis kebhinnekaan dan gotong royong bukan demokrasi berbasis kapitalis. Ngeri kan kalau tersadar setelah corona yang virus itu mengoreksi kita.
Apa yang kami lakukan?
Pada 1 Juni 2018, kami merumuskan dan mendirikan sebuah kelembagaan di Yogyakarta, namanya BARAK 106: Barisan Rakyat Satu Juni, menunjuk pada hari lahirnya Pancasila.
Tujuan utama adalah menerapkan Pancasila dalam berdemokrasi khususnya di bidang ekonomi. Saat ini agenda ekonomi masyarakat lebih difokus untuk menguatkan kapasitas warga bangsa untuk berdemokrasi.
Salah satu agenda adalah penanaman pohon aren di berbagai daerah di Indonesia, karena selain memperbaiki lingkungan juga berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Agenda itu berbasis masyarakat, tidak didesain jadi agenda pemerintah, karena mereka sibuk bangun jalan dan pelabuhan, tentu suatu saat bermanfaat untuk pra-sarana ekspor gula aren.
Saat ini, agenda konkrit saat pandemi ini di pinggir Danau Toba, rawa-rawa di pinggir Danau Toba kami upayakan dengan gotong royong untuk jadi lahan pertanian, tambak ikan, dan jalan nelayan.
Kami tidak mampu beli perahu, ya bikin rakitlah, tidak mampu bangun jalan beton, pengerasan tanahlah. Eceng gondok dan tumbuhan lain di rawa dirubah jadi kompos, bermanfaat utk pertanian masyarakat.
Sasarannya jelas, ketahanan pangan masyarakat dan produktivitas. Nelayan akan lebih mudah beraktivitas, lahan pertanian bertambah, pupuk kompos diproduksi. Beberapa orang terdampak COVID-19 bergotong royong di sana yang kadang “ngebon” di warung supaya bisa bikin kopi teh di lapangan sembari terkekeh-kekeh.
Itu tidak didesain menjadi program padat karya Pemda, karena Bupatinya sibuk bagi-bagi bansos dan ayam.
Kenapa? Berharap pada pejabat produk demokrasi kapitalis sama saja bikin stres. Lebih menarik mengumpulkan semangat warga, sebagian tentunya, bekerja dalam terik panas dan hujan, melakukan kegiatan produktif dan membangun harapan hidup. Itulah makna Pancasila yang kami pahami.
Imajo tusi. Selamat Hari Lahir Pancasila. Tetap semangat dan berupaya, karena Tuhan itu ada.
Salam dari Teluk Toba, Sumatera Utara.
Penulis adalah seorang pegiat tanaman aren.