Oleh: Fachrina Bella Syahputri*
PIRAMIDA.ID- Pemerkosaan anak di bawah umur memang banyak terjadi di luar daerah maupun di lingkungan sekitar kita salah satunya di Kota Tanjungpinang ini, beberapa hari yang lalu ada kasus pemerkosaan terhadap anak umur 7 tahun.
Terlihat di CCTV di mana anak ini sedang bermain di sekitaran mesjid yang kebetulan berada dipinggir jalan raya dan tidak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba dari belakang anak tersebut ada seorang bapak-bapak mengendarai motor Vario berwarna merah dan memakai topeng, langsung memukul si anak setengah sadar dan membawa anak tersebut ke suatu tempat untuk melakukan aksi bejatnya.
Setelah melakukan hal bejatnya, anak itu ditelantarkan di daerah dompak dan orang tua si anak pun melaporkan polisi jika anaknya telah dibawa kabur sama seseorang, sehingga polisi menemukan si anak di daerah tersebut dalam keadaan masih hidup.
Kemudian si anak dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut agar mudah polisi menanyakan ke anak itu untuk mendapatkan ciri-ciri pelakunya.
Pemerkosaan tidak bisa dipandang sebagai kejahatan yang hanya menjadi urusan privat (individu korban), namun harus dijadikan sebagai problem publik karena kejahatan ini jelas-jelas merupakan bentuk perilaku yang tidak bermoral dan keji yang selain melanggar HAM, juga mengakibatkan derita fisik, sosial, maupun psikologis bagi kaum perempuan.
Pemerkosaan dan penanganannya selama ini menjadi salah satu indikasi dan bukti lemahnya perlindungan (pengayoman) hak asasi manusia, khususnya perempuan dari tindakan kekerasan seksual yang tergolong pada kekerasan terberat.
Perlindungan terhadap perempuan telah dinyatakan pula oleh Konvensi PBB yang telah menjangkau perlindungan perempuan sampai ke dalam urusan rumah tangga, tidak sebatas hak perempuan di luar rumah atau sektor publik. Hal itu dapat dijadikan tolak ukur mengenai peningkatan kepedulian terhadap HAM khususnya perempuan.
Pemerkosaan ditempatkan sebagai contoh perbuatan kriminalitas yang melanggar HAM perempuan karena lebih memposisikan keunggulan diskriminasi gender.
Pemerkosaan menjadi salah satu tolok ukur pelanggaran HAM yang cukup parah terhadap perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan bukti kesewenang-wenangan dan kekejian yang bertentangan dengan watak diri manusia yang seharusnya menghormati dan melindungi hak-hak sesamanya, apalagi terhadap perempuan.
Mengenai kejahatan kekerasan seksual (pemerkosaan) ini, tidak hanya merenggut kehormatan seorang perempuan, namun juga merenggut hak-hak asasinya.
Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak ditemukan defnisi secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi hanya disebutkan dalam Pasal 89: membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dari rumusan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat pingsan dan tidak berdaya.
Dengan berkembangnya zaman, pemahaman kekerasan dapat dilakukan dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata (fisik). Kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) jika dikaji berdasarkan pada perspektif kriminologi, menunjuk pada motif dan perilaku, dimana hal tersebut memiliki motif pemuasan nafsu seksual.
Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalam KUHP, yaitu: 1. Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh 2. Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul. Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan, baik itu sengaja atau alpa.
Dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Dapat dikatakannya tindakan pemerkosaan apabila telah terjadi persetubuhan antara pelaku dan korban.
Dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perkosaan tersebut, dirumuskan pula suatu sanksi pidana yang diberikan bagi pelaku kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP dinyatakan bahwa ancaman pidana maksimum yang diterima oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga memungkinkan pelaku dijerat dengan hukuman yang lebih ringan jauh dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban kejahatan kekerasan seksual (perkosaan).
Faktor-faktor penyebab kejahatan kekerasan seksual (pemerkosaan) kemajuan ilmu dan teknologi, perkembangan kependudukan dan struktur masyarakat serta perubahan nilai-nilai sosial dan budaya ikut mempengaruhi dan memberikan dampak yang tersendiri kepada motif, sifat, bentuk, frekuensi, intensitas, maupun modus operandi kejahatan kekerasan. Banyak faktor secara langsung atau tidak langsung ikut memberi warna dan dampak tersendiri terhadap timbulnya kejahatan kekerasan.
Menurut Abdulsyani, terdapat dua sumber penyebab terjadinyatindakan kriminal, yaitu sumber pertama adalah faktor intern seperti sakit jiwa, daya emosional, rendahnya mental, anomi, umur, sex, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah hiburan individu. Sedangkan faktor kedua adalah faktor ekstern, yaitu bersumber dari luar diri individu seperti faktor ekonomi, agama, bacaan dan film.
Terjadinya kasus pemerkosaan di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan, diharapkan agar pemerintah Indonesia memperbaharui produk perundangundangan mengenai kejahatan seksual khususnya perkosaan itu dengan memperhatikan dan mengoptimalkan sanksi pidana yang bersifat lebih memberatkan agar timbul efek jera. Disamping itu masyarakat diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan jaman dan teknologi.
Selain itu pendidikan moral dan agama tetap menjadi prioritas, dengan memegang teguh nilai Pancasila. Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan diharapkan partisipasi kepada orang tua, masyarakat dan konsistensi dari aparat penegak hukum.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Ali Haji Prodi Sosiologi Semester III.