Oleh: Nurul Aulia Syabella*
PIRAMIDA.ID- Pernikahan adalah suatu ibadah yang sifatnya sunnah yang dijalankan oleh umat Nabi guna memenuhi ibadahnya kepada Allah. Pernikahan terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan yang sekiranya usianya mampu untuk menjalankan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai sepasang suami istri.
Umumnya pernikahan dilakukan oleh seorang yang berusia minimal 16-18 tahun bagi perempuan dan bagi laki-laki setidaknya ia sudah menginjak usia 19 tahun. Menurut hukum di Indonesia sendiri, yaitu Undang Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) sendiri dituliskan bahwa, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.”
Artinya pemerintah sendiri telah mengatur sistem perkawinan untuk mencegah pernikahan dini. Batas tersebut merupakan batas yang wajar dengan mempertimbangkan usia anak-anak yang seharusnya berkembang pada masa remajanya.
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh anak berusia di bawah 16 tahun. Anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun yang seharusnya menghabiskan masa remaja dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Kini sebaliknya, yaitu marak terjadinya pernikahan usia dini.
Dalam pandangan sosiologi, dalam pendekatan interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pada interaksi-interaksi yang terjadi di dalam masyarakat dan mengetahui makna dari pada simbol yang dibuat oleh individu.
Interaksi sosial adalah kunci dari pada kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Adanya interaksi antara pelaku dengan keluarga, saudara, masyarakat merupakan pemicu terjadinya perkawinan usia muda dan semuanya saling berkaitan dan saling berhubungan terhadap terjadinya perkawinan usia muda, bagi pelaku sendiri memang menginginkan menikah, orang tua pun mendukung untuk melakukan perkawinan dan yang sudah menjadi tradisi bahwa sebagian besar masyarakatnya memang melakukan perkawinan di usia yang muda.
Fenomena pernikahan dini memiliki relasi kompleks terhadap kehidupan sosial. Relasi tersebut di antaranya mampu membangun keluarga harmoni, sebagai media untuk mendapatkan kekuasaan, dan sebagai simbol kemuliaan sosial.
Fenomena perceraian juga memiliki relasi yang kompleks dalam kehidupan sosial. Relasi tersebut diantaranya beragamnya realitas sosial yang melahirkan perceraian, perceraian untuk meraih kekuasaan, terdapat redefinisi bahwa perceraian itu pilihan rasional.
Fenomena pernikahan ulang telah memiliki relasi dalam kehidupan sosial. Relasi tersebut diantaranya pernikahan ulang menumbuhkan kebahagiaan ulang, serta sekaligus sebagai sumber malapetaka pada keluarga hasil pernikahan ulang.
Keempat, perpektif sosiologi yang sering digunakan dalam analisis masalah sosial adalah perspektif fungsional dan perspektif konflik, walaupun demikian, ketidaksempurnaan penggunaan unsur-unsur dalam perspektif tersebut relatif terjumpai.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Prodi Sosiologi Angkatan 2020.