Oleh: Delsy Arya Putri*
PIRAMIDA.ID- Berbicara tentang perempuan di masa sekarang ini ternyata masih banyak kekerasan-kekerasan yang terjadi pada perempuan di berbagai macam daerah secara seksual maupun emosional. Apalagi ada yang beranggapan bahwa ‘perempuan itu lemah’.
Sebagai salah satu contohnya, yaitu perempuan dijadikan tulang punggung dalam mencari nafkah yang sebagaimana mestinya bahwa yang mencari nafkah laki-laki. Dari penyebab perekonomian itulah timbulnya kekerasan sehingga laki-laki bisa saja memukuli perempuan karena emosi di dirinya. Fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan isu penting yang marak pada dewasa ini, selain mengandung aspek sosiologis, juga sarat dengan aspek ideologis. Fenomena kekerasan dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi pada sektor domestik atau urusan rumah tangga, juga terjadi di sektor publik atrau lingkungan kerja, mulai dari kekerasan secara fisik sampai pada sangsi sosial atau psikologis.
Timbulnya kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan ideologi kultural atau tata nilai yang berlaku, jenis struktur masyarakat dan pola relasional antara laki dan perempuan.
Kejadiannya muncul di berbagai komunitas mulai dari desa sesederhana apapun sampai pada masyarakat kompleks kota yang modern.
Secara sosiologis perempuan memiliki beberapa peran strategis dalam rumah tangga.
Meskipum demikian tidak dapat dipengkiri bahwa berbagai upaya sistimatis melalui berbagai program pemberdayaan perempuan pada drajat tertentu telah berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para penentu kebijaksanaan, pelaksana kebijakan serta masyarakat umumnya tentang kesadaran dan keadilan gender.
Tindak kekerasan diartikan sebagai suatu perbuatan yang membuat seseorang teraniayaya baik secara fisik, psikologis, seksual, ekonomi dan sosial (perempuan kemerdekaan).
Kekerasan terhadap wanita saat ini tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional, tetapi sudah merupakan masalah global bahkan transnasional. Hal ini karena dalam kekerasan terhadap wanita terkait masalah hak asasi manusia yang merupakan hak yang melekat secara alamiah sejak manusia dilahirkan dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar.
Hak asasi tersebut meliputi hakhak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak untuk berkembang.
Kekerasan terhadap wanita merupakan rintangan atau hambatan terhadap pembangunan, karena dengan demikian akan mengurangi kepercayaan diri dari wanita, menghambat kemampuan wanita untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatan wanita, mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan fisik.
Hal ini menyebabkan kemampuan wanita untuk memanfaatkan kehidupannya baik fisik, ekonomi, politik dan kultural menjadi terganggu.
Kekerasan terhadap wanita (yang dalam Deklarasi PBB disebut sebagai kekerasan terhadap perempuan) dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan 1993 sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Di Indonesia kekerasan terhadap wanita misalnya tindak pidana kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan, dll. Di samping itu ada kekerasan terhadap isteri yang diatur dalam Pasal 351 jo Pasal 356 (1) KUHP.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila penganiayaan dilakukan terhadap keluarga dekat atau orang yang seharusnya dilindungi, maka hukumannya ditambah sepertiga dari jumlah hukuman apabila penganiayaan dilakukan terhadap orang lain.
Selain itu, dalam hal isteri (wanita) di bawah umur (16 tahun), maka apabila laki-laki (suaminya) menyebabkan luka-luka dalam proses hubungan seksual, maka si suami dapat didakwa melanggar Pasal 288 KUHP.
Bagaimana sih cara mengatasi kekerasan terhadap perempuan ini?
Pencegahan, penanganan korban dan pelaku adalah tanggung jawab semua pihak: laki-laki, perempuan, lingkungan tetangga, tokoh agama/masyarakat, lembaga pendidikan/ agama, dunia usaha maupun pemerintah.
Kerja sama antara pusat penanganan krisis bagi perempuan korban (women’s crisis center) dengan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah merupakan suatu kemutlakan.
Upaya pencegahan dan penanganan korban maupun pelaku yang ada masih jauh dari memadai. Bagi para perempuan penyandang cacat, kondisi ini lebih berat dirasakan.
Khusus tentang dukungan bagi korban untuk dapat melanjutkan hidupnya secara mandiri, sehat dan bermartabat, dibutuhkan beragam dukungan yang bentuknya fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan korban, dan bersifat memberdayakan.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Prodi Sosiologi Semester III.