Oleh: Nadila*
PIRAMIDA.ID- Membicarakan perihal kekerasan seksual terhadap perempuan dan perlindungannya tidak akan pernah ada hentinya sepanjang sejarah kehidupan. Di Indonesia kekerasan seksual pada perempuan masih menjadi kasus yang marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Data Komnas Perempuan menunjukkan angka tingkat Kekerasan Seksual yang menimpa kaum hawa masih sangat tinggi.
Pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus, pada tahun 2015 tercatat 6.499 kasus, dan pada tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus kekerasan seksual pada wanita di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Selain itu data dari Badan Pusat Statistik memberikan gambaran bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangannya selama hidupnya, dari sekitar 1 dari 10 perempuan usia 1-64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan/ 1 tahun terakhir.
Kekerasan fisik dan seksual cenderung lebih tinggi dialami oleh perempuan yang tinggal di daerah perkotaan 36.3% dibandingkan perempuan yang tinggal di daerah perdesaan 29,8%. Kekerasan fisik dan seksual lebih banyak dialami perempuan usia 15-64 tahun dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas 39,4%, dan status tidak bekerja 32,1%.
Hal ini menjadi sebuah ironi yang cukup miris, dikarenakan indonesia sendiri merupakan negara yang dikenal sebagai negara yang memiliki budaya sopan santun namun justru banyak mencatat sejarah kelam kasus kekerasan seksual pada kaum wanita. Ini sangatlah berbanding terbalik dengan budaya yang disematkan oleh bangsa indonesia.
Salah satu kasus yang pernah hangat di beberapa tahun terakhir yakni kasus seorang wanita yang bernama Baiq Nuril yang mengalami kekerasan seksual, ali-alih mendapatkan perlindungan dari yang menjadi payung untuk penanganan kekerasan seksual poada wanita, ia justru mendapat hukuman dengan dijerat UU ITE hingga divonis bersalah pada putusan kasasi No574 K/PID.SUS2018 tertanggal 26 September 2018 yang membatalkan putusan pengadilan negeri mataram nomor 265/PID.Sus/2017/PN.MTR 26 juli 2017.
Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi, banyak sekali kasus kekerasan seksual yang terjadi namun malah korban yang mendapat hukuman sedangkan pelaku hanya diberi sanksi yang tak setimpal dengan perbuatannya.
Hal ini menunjukkan bahwa saat ini ketentuan hukum normatif dan kesan profesionalisme putusan hakim mengalami degradasi, seharusnya yang berwewenang dalam hal ini hakim dalam membuat keputusan hendaklah menggali informasi dan menyandingkan dengan normalitas masyarakat.
Kekerasan seksual yang terjadi dimasyarakat sesungguhnya merupakan efek domino dan lemahnya proses penegakan hukum, produk legalisasi yang diposisikan sebagai salah satu objek paling representatif dari hukum adalah sebuah karya normatif pada galibnya, semua yang normatif membuka diri pada hukum. Kekerasan seksual yang terjadi dimasyarakat sesungguhnya merupakan efek domino dari lemahnya proses penegakan hukum, produk legislasi yang diposisikan sebagai salah satu objek paling representatif dari hukum, adalah sebuah karya normatif yang pada galibnya, semua yang normatif membuka diri untuk terjadinya penyimpangan seperti kasus yang terjadi diatas.
Potensi-potensi penyimpangan dalam berhukum melahirkan apa yang disebut jurang hukum (legal gap). Hal ini terjadi terutama karena hukum positif sebagai suatu produk hukum, selalu dipersepsikan memotret masyarakat dalam konteks penggalan waktu tertentu (sinkronis).Di sisi lain, disadari atau tidak disadari, masyarakat mengalami pergolakan tanpa mengenal titik perhentian. Masyarakat senantiasa berproses sedangkan hukum positif cenderung mengkristal sebagai produk.
Berkaitan dengan hal ini sesungguhnya sosiologi hukum adalah pandangan yang tepat dalam menjawab persoalan ini, sosiologi hukum tidak hanya memandang hukum dari segi positivisme sebagaimana yang diterapkan oleh Putusan MA terhadap baiq nuril melainkan juga memandang hukum dari segi sosial, memandang hukum bukan semata-mata sebagai Undang-Undang produk kekuasaan, tetapi produk sosial, memandang hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi dalam realitas kehidupan nyata, jika hukum normatif cenderung mengkristal sebagai produk (Quid Juris, Sollen), sosiologi hukum cenderung pada kenyataan empiris yang dialami masyarakat (Quid Facti/Sein).(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Semester III.