Agi Julianto Martuah Purba*
PIRAMIDA.ID- Pembelajaran daring masih berlangsung di sebagian besar Provinsi Sumatera Utara, salah satunya adalah SMP Swasta Methodist, Tanjung Morawa. Kira-kira sudah berjalan 5 minggu kegiatan belajar mengajar dilakukan melalui Google Classroom.
Saya sebagai guru Bahasa Inggris di kelas 8 dan 9 masih merasa bahwa pembelajaran masih terasa kaku, dan membuat siswa menjadi mumet karena keterbatasan praktik dan penyampaian materi pembelajaran yang harus dilakukan via chat.
Untungnya, SMP Swasta Methodist Tanjung Morawa gercep (gerak cepat) mengatasi hal ini, dengan menawarkan kegiatan yang lebih santai tetapi berbasis proyek, yakni kegiatan ekstrakurikuler Klub Bahasa Dan Seni Methodist (KBSM).
Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah “mengasah kemampuan berbahasa yang standar dan kreatif”.
Adapun proyek yang ingin dicapai melalui kegiatan ini adalah setiap siswa mampu menuliskan surat dari dirinya di tahun 2030 kepada dirinya sendiri pada saat ini, atau kami menyebutnya proyek “One student, One Letter.”
Fokus utama dari rangkaian kegiatan ini adalah agar siswa dapat mengisi irisan waktu kosongnya dengan belajar secara bebas dan santai, namun terarah pada orientasi proyek yang ingin dihasilkan.
Sebagai pengasuh utama dalam kegiatan ekstrakurikuler ini, saya meminta siswa untuk belajar menulis surat dengan melibatkan sikap reflektif dari dalam dirinya, agar mereka lebih sadar dalam mengenal dirinya sendiri.
Banyak orang yang mengaku salah jurusan semasa kuliah. Permasalahan utama pada kasus ini adalah bahwa mereka belum mengenal dirinya secara tuntas. Oleh karena itu, saat diperhadapkan dengan keadaan di mana dia diuntut membuat keputusan untuk memilih jurusan apa saat ingin berkuliah, nicaya mereka akan kebingungan.
Sebuah riset yang dilakukan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang fokus meneliti lebih dari 400.000 profil siswa dan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan fakta yang mencengangkan, yakni 92% siswa SMA/SMK sederajat bingung dan tidak tahu akan menjadi apa di masa depan — dan terdapat sekitar 45% mahasiswa merasa salah mengambil jurusan.
Oleh sebab itulah, kami mencoba untuk menanggulangi krisis pengenalan akan diri sendiri ini sejak dini, yakni saat siswa masih duduk di kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya sekitar 12% siswa pada jenjang SMA/SMK yang telah paham akan menjadi apa dia kedepannya.
Artinya, mereka sudah tahu akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, bahkan sudah memiliki gambaran akan mengambil jurusan apa nantinya.
Bahkan dalam penelitian ini, mahasiswa juga tidak luput dari krisis pengenalan diri dalam memilih jurusan apa yang ingin digelutinya. Angka 45% juga masih terlalu besar untuk pribadi-pribadi yang akan berusia 20 tahun dan menyandang status sosial sebagai mahasiswa dan memiliki peran sebagai agen perubahan, namun masih gagal dalam memahami dirinya sendiri, bakat serta minatnya. Miris.
Projek “One Student, One Letter” yang diagendakan oleh SMP Swasta Methodist Tanjung Morawa adalah salah satu upaya keikutsertaan institusi ini dalam mencegah krisis pengenalan diri pada siswa-siswanya melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan ini bukan hanya semata-mata untuk menulis surat reflektif dalam Bahasa Inggris lalu selesai begitu saja. Jauh daripada itu, kegiatan ini memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Tujuan jangka pendek proyek ini adalah untuk memberikan sikap adaptasi terhadap Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan (Kemendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).
Salah satu pokok penting dalam surat edaran ini adalah keputusan pembatalan Ujian Nasional (UN) tahun 2020. Oleh karena itu, surat-surat reflektif yang dituliskan siswa pada tahun 2030 kepada dirinya yang sekarang ke depannya akan dijadikan satu kesatuan dalam buku antologi ber-ISBN dan terdaftar di Perpustakaan Nasional.
Kami ingin siswa lulus dengan menghasilkan karya. Dengan peniadaan Ujian Nasional (UN), alhasil siswa tidak memiliki standar kelulusan dari bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) selain nilai-nilai ujian sekolah.
Melalui projek “One Student, One Letter”, kami memberikan opsi standar kelulusan siswa dengan wajib menulis surat reflektif untuk dibukukan atas nama mereka pribadi dan angkatan mereka.
Adapun tujuan jangka panjang dari kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan sikap kritis dan reflektif siswa terhadap dirinya sendiri lewat pengenalan akan dirinya sendiri.
Setelah dinyatakan lulus dari jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), mereka tidak akan dilanda kegalauan atau dalam bahasa kekininiannya disebut “quarter life crisis” yang disebabkan oleh ketidakpahaman akan dirinya sendiri dalam memilih jurusan saat ingin berkuliah.
Melalui Kegiatan ekstrakurikuler berbasis projek “One Student, One Letter” ini, SMP Swasta Methodist hadir dan peduli pada masa depan para siswa.
Selepas tamat, mereka diharapkan mampu secara merdeka untuk menentukan ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Tidak ada lagi keraguan, kebingungan, dan kegalauan terhadap dirinya sendiri.
Mereka telah merdeka untuk melanjutkan pendidikan kemana saja yang mereka inginkan dan merdeka dalam belajar apapun yang inginkan. Bagi kami, saat siswa mampu memutuskan ini secara sadar dan bahagia, mereka telah menjadi generasi Indonesia yang merdeka.
Siswa harus dibiasakan untuk berkarya sejak dini sebagai bentuk mereka berpartisipasi dalam menghasilkan karya, tidak hanya lagi sebatas menyaksikan karya orang lain.
Oleh sebab itu, buku antologi surat-surat siswa yang kami targetkan terbit adalah sebuah motivasi bagi mereka untuk menciptakan karya di bidang apa saja yang mereka minati. Saya sebagai pengasuh kegiatan ekstrakurikuler ini merasa harus hadir dan memfasilitasi mereka dengan cara memberi wadah untuk berkarya.
Di tengah era yang canggih ini, kejelasan adalah sebuah kekuatan. Lewat proyek “One Student, One Letter” yang bertemakan surat dari dirinya di 2030 kepada dirinya di masa sekarang, kami ingin menumbuhkan kesadaran reflektif pada diri setiap siswa kelas 9 pada Sekolah Menengah Pertama.
Kesadaran reflektif inilah yang menuntunnya semakin jelas mengenali minat dan bakatnya untuk diarahkan secara benar dan berkaitan satu sama lain. Kami yakin mereka akan menjadi generasi yang kuat dan siap beradaptasi dengan situasi zaman yang rentan berubah.
Hari ini siswa-siswi sudah dipatok dan didikte. Diikutsertakan bimbingan-bimbingan intensif sana sini, dibebani dengan target harus masuk perguruan tinggi negeri yang ternama, dan didikte dalam memilih jurusan kuliah tertentu.
Ini tidak hanya perkara menjadikan anak menjadi sebagaimana yang diharapkan oleh lingkungannya saja, namun ini juga tentang kebahagiaan mereka dalam memilih dan menjalani apa yang mereka ingin pilih dan jalani. Itulah pendidikan yang memerdekakan.
Ekstrakurikuler berbasis proyek “One Student, One Letter” bertemakan surat dari diriku di 2030 kepada diriku saat ini adalah langkah untuk menumbuhkan sikap reflektif dan kritis siswa terhadap dirinya sendiri sejak dini.
Dengan harapan mereka menjadi generasi yang merdeka dan bahagia.
Penulis merupakan tenaga pendidik di SMP Swasta Methodist Tanjung Morawa.