Lasria Sari Gultom
PIRAMIDA.ID – Sudah 2 bulan lebih sistem pembelajaran jarak jauh diberlakukan terhadap sekolah di seluruh negeri yang kita cintai ini. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19. Alih-alih mengurangi masalah, kebijakan ini justru menambah persoalan baru yang menimbulkan kehebohan di jagat maya.
Apa yang pemerintah kerjakan selama ini?
Sebenarnya ada. Seperti kampanye menjaga kebersihan yang langsung dipandu oleh Mendikbud Nadiem Makariem, program belajar dari TVRI. Walau tak sedikit pula yang mengkritiknya, karena TVRI tidak mampu menjangkau seluruh pelosok negeri. Hal ini ditengarai dari arus listrik yang belum ada, bahkan siarannya juga tidak ditemukan di beberapa jaringan digital televisi.
Mendikbud sendiri mengakui hal itu beberapa waktu yang lalu. Namun sayangnya, keluhan masyarakat ini berhenti di tataran wacana; tidak ada tindak lanjut yang lain yang dimunculkan. Betapa oh betapa… (lanjut sendiri saja)
Masalah selanjutnya datang dari orangtua dan siswa yang menjadi sasaran utama kebijakan belajar dari rumah.
Mulai dari keluhan terlalu banyak tugas yang diberikan guru, tidak memiliki media pendukung belajar dari rumah baik gadget, keterbatasan jaringan internet, sampai kepada mengeluhkan kapasitas guru dan mempertanyakan kuantitas materi yang dikeluarkan terkhusus bagi sekolah swasta, orangtua kewalahan menjalani peran menjadi guru selama belajar dari rumah. Belum lagi tuntutan orangtua untuk pengurangan uang sekolah dan sampai permintaan untuk menghentikan pembelajaran jarak jauh.
Ironisnya, keluhan hanya datang dari orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta dan datang dari latar belakang ekonomi yang cukup. Mereka dengan mudahnya melayangkan semua keluhan itu tanpa memikirkan bagaimana nasib guru yang selama ini juga sangat kewalahan dalam menjalani peran sebagai guru di tengah pandemi ini.
Bagaimana dengan guru, apakah guru tidak kesulitan?
Pertanyaan ini mungkin tidak terlintas di dalam pikiran pihak yang disebutkan di atas. Pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak guru yang menjadi tonggak dari keberlanjutan pendidikan di negara ini. Dan menjawab ini, tentu saja guru kesulitan. Saat semua rencana pembelajaran yang telah disusun sebelumnya untuk satu semester dengan kondisi di tengah pandemi guru harus memutar otak untuk memikirkan pembelajaran yang terintegrasi dan tidak memberatkan orangtua dan bagaimana caranya agar anak tetap mendapatkan haknya, yaitu pendidikan yang memerdekakan.
Keadaan ini mengharuskan untuk menggunakan teknologi sebagai sarana komunikasi membuat guru sangat kesulitan. Tidak seperti belajar di kelas, di mana guru dapat menjalankan proses belajar-mengajar tanpa harus mengalami tantangan yang lebih besar seperti mendapatkan balik atau refleksi dari anak.
Lalu, apakah kita akan berhenti dan meratapi segala persoalan di atas? Tentu tidak.
Sebagai solusi, yang ingin ditawarkan melalui tulisan ini adalah mencoba melihat dari sisi guru itu sendiri.
Sebagai guru yang baik lakukanlah peranmu tanpa memusingkan apa yang pemerintah dapat lakukan atau berharap orangtua akan memaklumi dan balik mendukungmu.
Saatnya menunjukkan kompetensi dan bulatkan tekad dan semangatmu. Yakinlah, usaha tidak pernah mengkhianati hasil.
Pertama, unjuk kompetensi mendesain program pembelajaran yang menarik dan bermanfaat. Orang lain mungkin tidak menyadari sulitnya bagian ini, yang notabene bagian ini merupakan yang paling penting. Rencanakan, aplikasikan, setelah itu evaluasi dan coba lagi.
Kedua, manajemen ruang kelas daring dengan pola komunikasi yang hangat dan selalu memotivasi. Upayakan setiap siswa mendapatkan informasi dan perlakukan yang sama dari guru. Jika perlu lakukan home visit, atau mengunjungi siswa yang tidak aktif ke rumahnya dan cari tahu kendalanya, lalu tawarkan solusi dan berikan dorongan.
Ketiga, minta umpan balik dari siswa dan orangtua melalui penugasan dan asesmen yang kasat mata. Manfaatkan media yang dapat mudah digunakan dan murah.
Menjadi guru tidak perlu berharap banyak, ketika anak didik menunjukkan perkembangan dan menunjukkan perubahan dalam prosesnya cukuplah itu membuatmu bangga dan lega. Jika nanti orangtua menunjukkan rasa syukurnya dan berterima kasih, biarlah itu menjadi bonus dari jerih payahmu.
Jika kamu bermimpi mengubah dunia maka mulailah dengan mengubah dirimu sendiri.
Terus menerus belajar, mengembangkan kapasitas diri dan selalu adaptif dengan perubahan di depan mata. Selamat berbenah!
Editor: Red/Hen