Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- Sudah terlalu banyak informasi, opini bahkan spekulasi membanjiri ruang publik kita yang mengaitkan pelaksanaan Pilkada dengan situasi pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung saat ini.
Tarik menarik kepentingan antar seluruh pemangku kepentingan dalam memandang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dalam situasi pandemi dan eskalasinya yang semakin meninggi dan cenderung semakin sulit dikontrol.
Pun begitu, rapat dan konsultasi beberapa waktu lalu antara pemerintah dengan DPR dan penyelenggara tetap memutuskan bahwa Pilkada Serentak 2020 tetap akan digelar Desember ini dengan protokol kesehatan yang semakin diketatkan.
Kali ini saya tidak ingin terlalu serius dan lebih rileks mengulas persoalan dan tidak ingin terlibat terlalu dalam membahas polemik itu. Saya lebih tertarik mencermati satu aspek yang cenderung agak kurang serius kita sikapi dan terabaikan dalam aneka perbincangan.
Perdebatan pelaksanaan Pilkada dan polemik yang menyertainya sejauh ini cenderung hanya terjebak pada pemenuhan aspek teknis prosedur formal dan kalender demokrasi namun abai pada realitas sosial yang ada. Pertanyaan sunyi yang cukup penting dan genting untuk dipertanyakan adalah:
‘Sesungguhnya jenis kepemimpinan apa yang sejatinya (paling) kita butuhkan dalam situasi pandemi dan ancaman resesi ekonomi sekarang ini?’
Kondisi normal baru tentu menghadirkan konstelasi dan dinamika politik baru yang sudah tentu berbeda dengan situasi sebelumnya. Tetapi mari kita lihat realitas belakangan ini jelang pelaksanaan pilkada sebentar lagi.
Maaf saja, terkesan semua masih berlangsung dalam pola, tradisi, dan dinamika politik lama. Sejak awal tahapan dimulai kita seolah-olah tuna kreasi, antisipasi, dan visi dalam menyikapi situasi pandemi baik dari sisi penyelenggara, pemerintah, elit partai, para kandidat dan sebagian besar masyarakat masih saja terjebak dalam euforia dan sindrome ‘pesta kerumunan’ politik seperti yang lalu.
Tidak terlihat perubahan sikap dan kebijakan yang signifikan yang mampu mengartikulasikan kondisi dan situasi yang bisa jadi sudah sangat berbeda dengan sebelumnya. Ingatlah, ini PANDEMIKADA!
Pada titik ini menjadi relevan kita kembali pada pertanyaan utama tadi, yakni tentang jenis kepemimpinan apa yang paling kita butuhkan sekarang?
Hemat saya kita butuh jenis kepemimpinan baru yang mampu memberi teladan dan memahami aspirasi warga serta memimpin warga dalam menghadapi situasi yang semakin terasa sulit ini.
Kepemimpinan yang berbeda dari jenis kepemimpinan lama, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok pendukungnya saja. Kepemimpinan konvensional yang ada saat ini terbukti semakin tidak nyambung dan mampu memahami perubahan nan cepat dan radikal serta susah ditebak.
Zaman baru membutuhkan jenis pemimpin baru. Sebab semesta persoalan dan tantangan problem masing-masing peradaban tentulah berbeda. Ini abad tsunami teknologi sekaligus pandemi yang membutuhkan respon dan antisipasi cepat dan kreatif pula.
Dalam kosakata modern, jenis ini disebut transforming leadership, yaitu kepemimpinan yang mampu melahirkan transformasi dan perubahan mendasar dalam masyarakat. Bukan kepemimpinan ‘Jadul’ yang hanya mengandalkan pertarungan pragmatis transaksional lewat kuasa modal dan simbol-simbol politik identitas yang semakin tidak relevan lagi dengan situasi terkini.
Perbedaan pokok dari kepemimpinan transformatif dan konvensional itu terletak pada sifat hubungan antara pemimpin dan warganya. Kepemimpinan baru itu mampu memberi teladan sekaligus memahami dan melayani kepentingan warganya. Bukan seperti kepemimpinan konvensional yang ada saat ini yang justru bersikap sebaliknya.
Kecenderungan saat ini sebagian besar pemimpin yang ada tidak berusaha memahami keinginan dan aspirasi warga, malah sebaliknya wargalah yang harus memahami dan mengikuti keinginan para pemimpinnya. Bukan pemimpin yang ‘ngemong’ rakyat, tetapi rakyatlah yang diminta ‘ngemong’ pemimpinnya. Bah!
Mentalitas kepemimpinan seperti ini tidak akan mampu menghadirkan perubahan mendasar dalam masyarakat. Sekali lagi ini abad baru yang parameter dan logika kepemimpinan politiknya juga berubah dan tidak sama dengan yang sudah-sudah.
Pemimpin baik level nasional maupun lokal hari ini tidak saja dituntut untuk mampu membangun daerahnya (ekonomi) tetapi sekaligus juga bisa memimpin warganya untuk melewati ancaman pandemi dan jebakan resesi ekonomi di setiap level dan tingkatan kehidupan warganya.
Di sini dibutuhkan kompetensi dan kapasitas pemimpin yang menguasai tehnologi dan pengetahuan. Kepemimpinan meritokrasi teknokratis. Tidak sekedar pemimpin formal dan simbolik seperti paradigma lama. Ini abad di mana politik mesti berkolaborasi dengan ilmu pengetahuan dan sains. Kompetensi setiap pemimpin sudah harus mampu melepaskan diri dari dominasi politik simbolik dan sekat-sekat tradisi sempit yang eksklusif dan parsial.
Era keterbukaan nan transparan yang tuna batas dan garis pemisah (word is flat). Abad jaringan di mana sangat tipis perbedaan antara yang nyata dengan virtual, antara benar dengan salah (post truth), dan aneka dirupsi dan lompatan zaman lainnya. Itu semua berdampak langsung dengan perkembangan politik dan demokrasi. Keduanya saling berkelindaan dan saling membentuk satu sama lain dengan segala derivasinya kemudian.
Lantas, apakah semesta lompatan perubahan itu telah diantisipasi dan diartikulasikan dalam perhelatan Pilkada Serentak ini? Yups, di sinilah persoalan baru mulai terlihat dan teridentifikasi. Mari kita lihat tahapan Pilkada yang sedang berjalan saat ini masih berlangsung dalam alam pikiran dan mindset lama.
Kerumunan politik, euforia dukungan, dan intensitas kepadatan komunikasi massa tetap berlangsung dan cenderung menghasilkan kluster-kluster baru pandemi. Di sisi lain pemerintah pusat dan daerah terlihat kehabisan akal dan terobosan kebijakan dalam menanggulangi dan menegakkan kedisiplinan dan standar tegas protokol kesehatan. Para elit partai seperti berjarak dengan realitas situasi di lapangan dan asyik melakukan kalkulasi politik dalam menara gading kekuasaannya.
Maka tak perlu heran semakin hari semakin sulit dan kompleks pula persoalan yang kita hadapi. Tidak sedikit para warga maupun kandidat, bahkan penyelenggara yang ikut tertular dan positif COVID-19. Belum lagi ancaman jurang resesi ekonomi yang sudah di depan mata.
Semesta persoalan ini semestinya yang menjadi titik fokus dan perhatian para calon pemimpin yang akan bertarung di Pilkada nanti. Tidak cukup lagi menampilkan pola politik lama yang sarat pencitraan dan program-program karitatif yang kering dan hampa makna.
Sudahlah, tantangan dan problematika sosial politik sudah berubah. Kapasitas dan kompetensi calon suka atau tidak akan dinilai sejauh mana gagasan dan programnya memiliki korelasi dan solusi atas situasi dan kondisi terkini. Silakan Anda yang menilai sendiri sejauh ini para calon mana yang terlihat punya kemampuan dan kapasitas memahami realitas persoalan di daerahnya masing-masing.
Bagi saya parameter penilaiannya sederhana saja; saya akan mendukung calon pemimpin yang memiliki gagasan kuat yang mampu menghadirkan keseimbangan baru antara sektor pembangunan (ekonomi) daerah dan sektor kesehatan (penanggulangan pandemi).
Itu yang menjadi leading sektor (politik anggaran dan politik kesehatan) untuk saat ini. Tentu tidak juga bermaksud mengabaikan sektor lainnya. Ini lebih kepada keberanian menentukan skala prioritas kebijakan sesuai problematika dan semangat zamannya. Itu saja, tidak lebih.
Ini era kepemimpinan baru, bukan pemimpin ‘Jadul’. Saya menyebutnya “PANDEMIKADA”!
So, Anda sendiri bagaimana?
Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.