Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Tak banyak keluarga di Indonesia yang mampu melahirkan banyak penulis. Di Padang Sidimpuan hanya keluarga Sutan Pangurabaan Pane yang seperti itu.
Jika di Pulau Jawa ada istilah “satu kampung tiga maestro”, di Padang Sidimpuan justru “satu keluarga empat maestro”. Adalah keluarga Sutan Pangurabaan Pane (ayah) dengan tiga anaknya: Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane.
Kampung asal mereka dari Desa Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan. Di desa ini, sekarang berdiri Perpustakaan Lafran Pane — sebuah gedung yang dibangun untuk memperingati sosok Lafran Pane, pahlawan nasional pendiri HMI. Cuma, di dalam perpustakaan itu, kau akan kesulitan menemukan buku-buku yang ditulis keluarga Pane tersebut.
Bahkan, pengunjung tak akan bisa menemukan buku yang ditulis Sutan Pangurabaan Pane meskipun buku yang ditulisnya sangat banyak. Dia mendirikan Prnerbit Partopaan di Sipirok, dan seluruhbuku yang diproduksipenerbit itu ditulis oleh Sutan Pangurabaan Pane.
Dia bukan orang yang haus pamor, gila sanjungan. Sutan Pangurabaan Pane sering menulis buku dengan banyak nama: Sutan Pane, S. Pangurabaan, Sutan Pangurabaan, S. Pane, dan lain sebagainya. Orang mengira itu nama banyak orang, tapi ternyata satu orang. Itu menandakan, Sutan Pangurabaan Pane tidak ingin dipuja-puji.
Satu-satunya catatan sejarah tentang dirinya, yaitu saat dia diminta menjadi ahli yang mengemali sosok (wajah) Si Singamangaraja. Pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno menganggap Sutan Pangurabaan Pane paling mengenal sosok Si Singamangaraja karena dia sering berhubungan dengan pahlawan dari Tanah Toba itu.
Hubungan itu terjadi karena Sutan Pangurabaan Pane menjadi juru bicara sekaligus kerani Residen Tapanuli yang berkantor di Padang Sidimpuan saat berdiskusi (berkirim surat) dengan Si Singamangaraja. Sutan Pangurabaan Pane yang menulis surat Residen, menerjemahkan ke dalam bahasa Batak dan aksara Batak, lalu Sutan Pangurabaan Pane bertemu Si Singamangaraja.
Itu terjadi selama perang Toba yang berakhir dengan terbunuhnya Si Singamangaraja pada 1907, dan sejak itu Sutan Pangurabaan Pane berhenti bekerja untuk Residen Tapanuli yang kemudian ibu kotanya dipindahkan ke Kota Sibolga.
Sutan Pangurabaan Pane yang lulus Kweekschool Padang Sidimpuan, memilih menjadi guru dan diberi tugas mengembangkan HIS Muara Sipongi setelah menikahi paribannya boru Siregar asal Sipirok Godang. Di Muara Dipongi ini kemudian.lahir Sanusi Pane dan Armijn Pane — keduanya sastrawan di negeri ini.
Tahun 1908, Sanusi Pane lahir. Saat itu, Sutan Pangurabaan Pane mulai menulis novel berbahasa Batak. Novel pertamanya, disiarkan tahun 1909 sebagai cerita bersambung di surat kabar berbahasa Batak milik Sutan Casayangan. Novel berjudul Toelbok Haleon itu kemudian dicetak menjadi buku sebanyak dua jilid pada 1911 oleh sebuah penerbit di Medan.
Novel itu mengawali tradisi novel moderen berbahasa Batak. Dia ditulis untuk masyarakat pembaca yang juga berbahasa Batak. Tapi, Balai Pustaka kemudian menugaskan Merari Siregar yang orang Sipirok menulis novel Azab dan Sengsara untuk meredam popularitas Toelbok Haleon.
Sayang, orang Batak tak membaca buku berbahasa Melayu itu. Popularitas novel Toelbok Haleon tak terbendung dan dicetak berulang-ulang.
Orang tak punya banyak referensi tentang Sutan Pangurabaan Pane. Orang juga tak punya banyak referensi tentang Sanusi Pane dan Armijn Pane. Orang baru bicara tentang Lafran Pane setelah para aktivis HMI menggali riwayat hidupnya.
Para maestro bermarga Pane ini memang bukan mengejar popularitas. “Saya bukan siapa-siapa,” kata Sanusi Pane saat menolak penghargaan dari Presiden Soekarno.(*)
Penulis lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis esai di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).