Bapthista Mario Yosryandi Sara*
PIRAMIDA.ID- Di tengah situasi krisis saat dunia dilanda pandemi COVID-19, tak luput media massa dan media sosial juga turut dibanjiri informasi yang menggerus sisi kemanusiaan. Hal itu terkait kematian George Floyd, pria kulit hitam kewarganegaraan Amerika Serikat yang tewas mengenaskan di tangan aparat kepolisian di Minneapolis pada 25 Mei 2020.
Tragedi yang menimpa Floyd, sontak membangkitkan amarah masyarakat di berbagai negara yang menaruh simpati atas musibah yang tak ber-prikemanusiaan tersebut. Tindakan maupun karakter yang ditunjukan oleh oknum kepolisian itu, tentu saja menunjukan sikap kriminal dan rasis.
Oleh sebab itu, tak hanya di USA, informasi isu rasialisme ini menjamur dan memantik jutaan masyarakat dunia yang berakhir dalam aksi protes secara besar-besaran sehingga jalan diblokade dan terjadi kericuhan di mana-mana.
Sebagaimana yang dilansir Tirto.id, menukil video The New York Times yang menunjukan para petugas mengambil serangkaian tindakan yang melanggar kebijakan Departemen Kepolisian Minneapolis dan berakibat fatal, sehingga membuat Floyd tak bisa bernapas.
Diwartakan The Guardian, bahwa kematian Floyd kemudian memicu demonstrasi di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Australia. Mereka menuntut keadilan terhadap pria kulit hitam tak bersenjata yang meninggal dalam penahanan (Tirto.id; 02 Juni 2020).
Kasus beraroma rasis yang menyelimuti kematian Floyd tak hanya berhembus mengitari langit Amerika. Layaknya Flash dalam film Marvell, dalam hitungan detik isu rasisme tersebut dengan cepat menyusup ke Indonesia, seperti api yang sedang padam kembali berkobar di tengah pagebluk.
Sehingga hal itu dengan masif langsung ditanggapi oleh para Aktivis HAM dan ribuan simpatisan masyarakat nusantara terkhusus bagi mereka yang sedang memperjuangkan tindakan rasis maupun dehumanisasi terhadap rakyat Papua.
Tentu ini sangat relevan dengan “kebusukan” yang sudah sekian lama bersemayam dalam negeri.
Sebab, terbukti hingga sekarang negara yang saat ini dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi, belum menjamin keberlangsungan hidup rakyat Papua secara harmonis, terbebas dari segala bentuk intimidasi yang sensitif terhadap harkat dan martabat hidup manusia terutama sebagai warga negara Indonesia sebagaimana yang terkandung dalam UUD NRI 1945 dan ideologi Pancasila (landasan konstitusi dan pedoman hidup bernegara).
Jika hari ini banyak khalayak merasa geram lantas melakukan aksi protes terhadap pemerintah, mereka menuntut keadilan, itu adalah manusiawi, dan itu hak setiap warga negara. Bagaimana mungkin bila ketidakadilan menyayat kehidupan seseorang atau bangsanya, ia terpasung kaku tanpa sepata kata.
Apalagi, tatkala ia merasa bagaikan tamu di rumah sendiri. Tak masuk akal jika matanya melotot sedangkan batin dan pikiran mati suri. Hanya benda mati yang tak berakal budi dan tak bernurani!
Papua dalam Dekapan Dehumanisasi
Selepas kematian Floyd, Papua kembali bergejolak kala Indonesia sedang dihantam musibah, masyarakat pun dalam situasi tertekan dan serba dibatasi atas berbagai aturan dari pemerintah untuk mengantisipasi penularan virus corona.
Namun rupanya, hal itu tak dapat menyurutkan semangat yang sedang membara. Walaupun demonstrasi gagal dilakukan, tapi media sosial dijadikan sebagai alternatif meneruskan aspirasi atau kampanye dengan mengirim petisi yang berisikan narasi protes terhadap tindakan rasis dengan tagar #BlackLivesMatter dan #PapuaLivesMatter.
Kasus pelanggaran HAM yang kini mendekam di tanah Papua, bukanlah kali pertama hadir dalam ruang diskusi. Namun tak elok bila perdebatan yang sering ditampilkan dalam media sosial dan layar televisi, selalu berakhir dengan argumentasi-argumentasi hampa, tak berisikan pesan moral yang bisa dijadikan sebagai rujukan penyelesaian konflik tersebut.
Hingga sekarang, “kemerdekaan” masih melantang deras dari bumi Cenderawasih. Deruh keringat, air mata, bahkan harga diri sekalipun, rela dikorbankan demi memperjuangkan hak hidup masyarakat pribumi, hingga negara benar-benar mengirim “Garuda” membentangkan sayap untuk menjaga martabat hidup rakyat Papua untuk hari ini dan yang akan datang.
Muda-mudi Papua tiada hari tak luput dari serangan vandalistis, rasis, dan diskriminasi. Tindakan amoral yang sering dilihat secara kasat mata atau mengetahuinya dari media massa, ibarat makanan pokok yang tak luput dari kebutuhan hidup mereka.
Namun yang membuat saya menaruh hormat bahkan menetaskan air mata adalah api semangat perjuangan mereka yang tak lekang diterpa “badai” apapun, tak peduli hidup atau mati, asalkan dia dan suku bangsanya mendapat hak hidup yang layak, yang terbebas dari segala bentuk penindasan, tak ingin sistem hukum berlaku pincang di tanah kelahirannya, tak ingin SDA mereka digarap seenaknya oleh negara dan investor asing tanpa memikirkan masa depan generasi dikemudian hari.
Singkatnya sebagai seorang manusia terutama sebagai WNI mereka mengharapkan adanya keharmonisan, keadilan terutama roh Pancasila hadir menyelimuti sendi kehidupan mereka. Maka tak heran, jika kata “merdeka” kian nyaring disuarakan!
Pendekataan keamanan dan pemerataan pembangunan infrastruktur yang kerap dipergunakan oleh negara, nyatanya belum mampu mereduksi berbagai konflik yang ada. Percuma jika infrastruktur digalakan tapi keharmonisan atau kenyamanan kehidupan sosial belum mampu dipenuhi pemerintah pusat.
Apalah daya, jika ada infrastruktur megah namun tiada hari tanpa pertikaian dengan masyarakat yang sama dan daerah yang sama pula, jadi apa fungsinya jika negara dan ideologinya itu hadir di tengah kehidupan masyarakat jika bukan untuk menjawab berbagai problem yang membuat mereka tersekap dan menjadi stagnan.
Begitu pun dengan isu separatis yang kerap tampil di kanal media, alhasil terdapat masyarakat yang tak menahu-menahu turut dipenjarakan karena diduga kelompok separatis. Siapa saja yang mengatakan “Papua Merdeka!” maka berhati-hatilah, awas kehidupan berakhir di balik jeruji besi.
Meski kemerdekaan yang dimaksud adalah sebagai manusia yang ingin terbebas dari ketakutan, ketidakadilan dan penindasan, negara tak tahu soal itu. Doktrin kemerdekaan versi negara terhadap konflik Papua, bahwa itu merupakan dukungan terhadap Papua yang ingin pisah dari NKRI.
Seperti halnya yang dialami oleh 6 tahanan politik (Tapol) di Jakarta –walaupun sudah dibebaskan— dan 7 tapol di Balikpapan. Apakah terbukti bila mereka adalah kelompok separatis? Padahal faktanya, mereka sekedar melakukan aksi protes atas maraknya tindakan rasis. Tapi sungguh ironi jika sampai dipenjarakan!
Masyarakat Papua Harus “Dimerdekakan”
“Keadilan”, seuntai kata yang acap kali kita temui di laman media massa, layar televisi, bahkan dalam lingkungan kehidupan kita sendiri, keadilan selalu menjadi sebuah tuntutan yang selalu diperjuangkan.
Hal ini telah membudaya secara universal. Dalam tatanan kehidupan bernegara, seorang warga negara berhak menuntut kepada negara menjamin kebutuhan hidupnya, dan ini telah diatur dalam konstusi atau UU.
Dalam bidang apapun keadilan haruslah diaplikasikan, namun bila tidak diterapkan sesuai amanat ideologi negara atau UU, maka dampaknya akan berujung polemik, kerusahan, bahkan pertumpahan darah sekalipun.
Hal ini senada dengan yang dikatakan Benny K Harman, bahwa ketika ketidakadilan tumbuh subur, kesenjangan sosial kian melebar, dan rakyat semakin melarat, maka di situ Pancasila tinggal nama, tak lebih dari itu.
Bila ketidakadilan semakin merajalela di suatu negara maka akan terjadi degradasi dalam kehidupan sosial masyarakat, terjadi kemiskinan dan kemelaratan di mana-mana, dan hingga kapan pun negara itu akan tetap pada posisi stagnan di tengah arus globalisasi yang kian pesat melaju.
Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu tokoh revolusi Kuba, Ernesto Che Guevara kepada sahabat karibnya Alberto Granado, sewaktu ia diantar ke bandara di Venezuela pada 1952 untuk kembali ke Argentina selepas mereka berdua baru saja mengakhiri kisah yang sangat mengesankan, menjelajah Amerika Latin.
Di situ Ernesto mengatakan, bahwa sumber dari kemiskinan adalah ketidakadilan. Maka itu, kesan dari perjalanannya bersama Granado inilah yang mendorong dia menjadi seorang revolusioner (Marxis).
Sangat rasional bilamana rakyat Papua menuntut keadilan kepada pemerintah pusat. Biarkan mereka dimerdekakan dari belenggu penindasan di tanah sendiri. Yang tampak pada rakyat Papua hari ini adalah, negara memposisikan Papua secara diametral terhadap Pancasila.
Oleh karena itu, rakyat masih menjerit tiada waktu sebab sudah tentu dan siapapun pasti tak mau didiskriminasi di tanah kelahirannya sendiri. Sebab itulah aksi protes yang kerap kali bermunculan di berbagai kota tak lain adalah bentuk kekesalan atas lambannya negara menyembuhkan kesakitan yang terpendam sekian lama.
Padahal, hakikatnya niat luhur para pendiri bangsa memebentuk negara ini adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat yang utama. Indonesia yang bermula dengan mewujudkan keadilan di dalamnya. Tekad mulia itu secara harfiah, sadar, dan sengaja ditorehkan, baik dalam Mukadimah UUD NRI 1949, UUD Sementara 1950, di Preambule UU Dasar 1945, di dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa tertera pada sila kedua dan sila kelima (Rochmad W, Dede S ; No Justice No Piece , 2017).
Oleh karena itu, di tengah kepempinan rezim Presiden Jokowi, keadilan harus diaplikasi secara realitas dan mengedepankan unsur kemanusiaan di Papua, keadilan harus dijadikan fondasi kedamaian dan kesejahteraan demi tercapainya kemanusiaan yang adil dan beradab. Percuma jika revolusi mental digaungkan tapi nyatanya, di saat rakyat menjerit di depan mata selama berpuluh-puluh tahun lamanya, kita terdiam seakan buta dan tuli.
Jika hari ini Papua menuntut pisah dari NKRI, sudah pasti mayoritas rakyatnya tak mendukung hal itu. Dan saya sendiri pun akan merasa kehilangan jika terpisah dengan saudara-saudara saya.
Namun bila hari ini negara masih berpura-pura buta dan tuli terhadap perjuangan mereka, maka jangan bertindak frontal atau melakukan genjatan senjata bilamana kelompok-kelompok separatis membabi-buta situasi dan berujung kericuhan sebagaimana yang terjadi pada 2019 lalu.
Maka dari itu, negara haruslah bertindak bijak sejak dini. Negara mestilah menaruh sensisibilitas atas perjuangan rakyat Papua. Mereka harus dimerdekakan dari rasis, diskriminasi, vandalistis dan berbagai bentuk penindasan yang berupaya mempora-porandakan harkat dan martabat mayarakat Papua.
Sebab dalam hukum Indonesia, kewajiban dan tanggung-jawab HAM diatur dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal ini juga terderivasi pada Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Patria o Muerte!
Penulis merupakan alumni sekolah HAM untuk mahasiswa (SeHAMA)-IX). Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana.