Thompson Hs
PIRAMIDA.ID- Bicara tentang pariwisata Danau Toba sangatlah menarik. Daya tarik Danau Toba itu sendiri yang bikin menarik, selain daya tolak yang ditimbulkannya.
Apa sajakah daya tarik Danau Toba itu? Daya tarik pertama adalah keindahan alamnya.
Keindahan alam itu selalu diterjemahkan dalam berbagai program pariwisata, selain promosi kekayaan budaya yang masih dapat dikemas untuk konsumsi dan tontonan pariwisata.
Daya tarik kedua Danau Toba adalah sejarah geologisnya. Sehingga sejak 2012 mulai diperjuangkan untuk menjadi bagian dari trend geopark global yang disertifikasi UNESCO pada Juli 2020 lalu.
Nah, kurang apa lagi daya tarik Danau Toba selain kedua fakta itu? Dari tahun ke tahun perhatian dan kunjungan mungkin dapat dilihat melalui statistik dan entri di google.
Parapat merupakan pintu gerbang pertama dalam sejarah pariwisata Danau Toba, terutama di masa kolonial Belanda dan Jepang. Sedangkan pariwisata Danau Toba di tangan pemerintah Indonesia baru mencuat pada tahun 1970-an. Bayangkan, Parapat di masa kolonial dengan saat ini!
Di masa kolonial tentu saja belum ada usaha keramba, kecuali penangkapan dan penjualan ikan secara tradisional. Sedangkan saat ini kemiskinan dengan cara tradisional menjadi salah satu daya tolak dari sekitar Danau Toba.
Percuma bicara keindahan alam dan supervulcano yang tersiar dan mempengaruhi dunia. Begitukah?
Di zaman kolonial juga tidak ada perambahan hutan di sekitar Danau Toba. Padahal bangunan tradisional membutuhkan bahan alami dan kayu-kayu pilihan bermutu.
Rumah-rumah adat, Sopo, dan Bale pada saat ini malahan sudah bisa dibuat dari bahan-bahan modern dan semen. Tinggal arsiteknya saja yang perlu dipilih untuk memastikan warna lokal yang dibutuhkan untuk tujuan pariwisata.
Hotel-hotel dan penginapan dengan warna lokal di Parapat betul-betul sudah mengalami modifikasi kalau tidak elok dianggap mengalami modernisasi. Orang bilang mau ke Parapat sampai tahun 1980-an maksudnya adalah berwisata ke Danau Toba.
Mengatakan langsung ke Danau Toba belum bergengsi dibandingkan ke Parapat. Di mana-mana orang Parapat bisa dianggap lebih memungkinkan dibandingkan orang Siantar yang terstigma karena premannya.
Perambah dan Keramba
Setiap ada perwakilan pemerintah pusat datang ke Danau Toba dan terkait dengan pariwisata pasti selalu muncul harapan agar pemulihan Danau Toba jangan cuma di ujung lidah.
Perambahan hutan sudah pasti merusak keindahan alam atau habitasi di kawasan Danau Toba sejak 30 tahun terakhir. Perambahan hutan yang 30 tahun sudah kalah dengan titik berangkat pemerintah tahun 1970-an untuk membangun pariwisata Danau Toba.
Ini di mana salahnya? Bahkan pada masa PRRI saja bukit-bukit dan hutan ditanami dengan pinus. Malah saat pariwisata Danau Toba masih berkembang sampai ke Tuktuk Samosir perambah hutan diikuti oleh usaha keramba dengan dalih investasi.
Mungkin perambahan hutan belum dipromosikan sebagai bagian dari investasi sejak 30 tahun lalu.
Sedangkan usaha keramba yang menjadi tontonan khusus dalam pariwisata Danau Toba belum termasuk dalam kerangka investasi, kecuali hanya modal atau sumber uang untuk kepentingan lokal di Sumatera Utara.
Masyarakat di kawasan Danau Toba selalu mencoba optimis setiap ada kunjungan perwakilan pemerintah dari Jakarta. Itu kelihatan kembali mulai terbingkai dengan kedatangan Presiden Jokowi sampai berapa kali ke kawasan Danau Toba.
Jadi semakin berkali-kali pejabat dan tamu pemerintah pusat datang ke kawasan Danau Toba, masyarakat akan melihat kebijakan dan kebajikan yang dianggap akan melepaskan mereka dari bayang-bayang kemiskinan secara material.
Selain lepas dari kemiskinan material itu, mereka tidak ingin terjebak dalam kemiskinan gaya yang dituntut dalam dunia pariwisata. Bagaimana itu bisa dibuktikan?(*)
Penulis merupakan sastrawan Sumatera Utara. Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).