PIRAMIDA.ID- Rabu lalu (3/2), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas resmi menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.
SKB tersebut salah satunya mengatur tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, yang terdiri dari enam keputusan utama.
Salah satu keputusannya adalah bagaimana “peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama [atau] seragam dan atribut dengan kekhususan agama”.
Poin lainnya menyatakan jika “Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama”.
Namun, kebijakan ini tidak berlaku di Aceh, “sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh”.
Menurut pernyataan Mendikbud Nadiem, keputusan ini berlaku untuk sekolah negeri di jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Ia juga menekankan pelanggar keputusan ini dapat dikenakan sanksi.
Apa yang memicu SKB 3 Menteri ini?
Penandatanganan SKB 3 dilakukan beberapa pekan setelah berita yang melaporkan SMK N 2 Padang memaksa siswi non-Muslimnya untuk mengenakan hijab, yang kemudian menyebar di media sosial.
Dalam akun Facebook-nya, orangtua siswi yang bernama Elianu Hia tersebut menceritakan bagaimana ia dipanggil oleh pihak sekolah karena menolak aturan seragam sekolah itu.
Anaknya, Jeni Cahyani Hia, merupakan salah satu dari 46 siswa non-Muslim di sekolah itu, menurut laporan Tirto.
Tidak ada kesepakatan yang tercapai di antara pihak sekolah dan siswi, Elianu diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang menyatakan kesediaannya untuk melanjutkan perkara sambil menunggu keputusan pihak berwenang.
Menurut laporan CNN Rabu lalu (3/2), Komnas HAM Sumatra Barat telah menawarkan mediasi untuk menyelesaikan kasus tersebut dan menunggu persetujuan dari kedua belah pihak.
Menteri Agama Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan kasus yang terjadi di Sumatra Barat hanyalah “puncak gunung es” dari masalah yang sudah ada di Indonesia.
Beka Ulung Hapsara, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyatakan menyambut baik penandatanganan SKB 3 Menteri, seperti yang dikutip dari Tempo, Kamis kemarin (4/2).
Dalam pernyataan terpisah, ia mengatakan keputusan ini menghormati pilihan warga untuk mengekspresikan kepercayaan mereka.
“Tempat pendidikan adalah ruang untuk mengembangkan jiwa yang mandiri untuk dibebaskan dari diskriminasi, di mana kehormatan dibina,” ujarnya.
Namun, menurutnya, banyak persoalan yang lebih besar yang harus menjadi perhatian, termasuk kurikulum yang mendorong peserta didik dan pendidik dalam menghormati keragaman dan kesetaraan sebagai prinsip dasar.
“Lingkungan pendidikan juga harus ‘dibenteng’ oleh kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif atau berdasar pada mayoritarianisme/favoritisme,” tuturnya pada Tempo.
Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch mengatakan sekolah-sekolah di 20 provinsi Indonesia masih mewajibkan penggunaan atribut kekhususan agama, sehingga melihat keputusan ini sebagai langkah positif.
“Banyak sekolah negeri mewajibkan anak dan guru perempuan untuk mengenakan hijab, yang seringkali mendorong ‘bullying’, intimidasi, tekanan sosial, dan dalam beberapa kasus, pengunduran diri yang terpaksa,” ungkapnya.(*)
Berbagai Sumber