Henri Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Pengukuhan Indonesia menjadi negara hukum berdasar Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 berimplikasi secara yuridis terhadap perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
Konsekuensi yuridis atas eksistensi HAM di Indonesia adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan beberapa Konvesi Internasional di bidang HAM yang diratifikasi menjadi hukum nasional.
Beberapa regulasi tersebut, di samping memuat hak-hak dasar manusia, juga memuat pengakuan atas partisipasi masyarakat sipil dan secara implisit pengakuan tersebut meliputi peran-peran Pembela Hak Asasi Manusia (Pembela HAM).
Peran Pembela HAM menjadi sangat penting mengingat relitas penegakan hukum HAM di Indonesia masih menunjukkan disorientasi serta degradasi kualitas.
Hasil penyelidikan beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini yang dirampungkan oleh Komnas HAM faktanya tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung (penyidik) dengan alasan bahwa bukti tidak lengkap.
Padahal, apabila merujuk ke Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk menemukan ‘bukti’ dari suatu peristiwa pidana itu adalah tugas dari penyidik dalam hal ini adalah Jaksa Agung.
Di samping itu, penulis menilai bahwa politik hukum pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM juga masih buram, tidak jelas kapan kasus HAM ini akan diselesaikan dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya, sehingga tidak ada kepastian bagi korban dan keluarga pelanggaran HAM.
Akibat dari fenomena hukum inilah Pembela HAM kemudian tampil sebagai motor penggerak dalam melakukan edukasi, kampaye, aksi-aksi advokasi baik dengan mekanisme litigasi maupun non litigasi guna mendorong pemerintah menunaikan tugas konstitusinya, bahwa: perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah (Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).
Secara defenitif berdasarkan “Panduan Pembela HAM Uni Eropa (European Union)” Pembela HAM dijelaskan sebagai individu-individu, kelompok, dan bagian masyarakat yang melakukan promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui secara universal termasuk promosi untuk melindungi komunitas masyarakat adat (indigenous people).
Legitimasi bagi Pembela HAM juga terdapat pada Pasal 1 Declaration on Human Rights Defenders yang secara tegas memberikan hak kepada setiap individu ataupun kelompok untuk memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan HAM serta kebebasan dasar di tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai suatu entitas yang berani dan dikenal kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, juga dikenal mampu membongkar ‘hubungan gelap’ penguasa dan pengusaha, maka acap kali Pembela HAM dianggap sebagai individu atau kelompok pengganggu sehingga tidak jarang kepada Pembela HAM dialamatkan praktik-praktik terror, kriminalisasi, penculikan, sampai pembunuhan.
Berdasakan data yang pernah dirilis oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terdapat 256 kasus penyerangan terhadap Pembela HAM dari Januari sampai Juli 2020. Pada 18 Agustus 2020 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) merilis catatan akhir tahun dimana terdapat 273 kasus pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik.
Di samping itu, pada tahun 2019 silam berdasarkan “Laporan Catatan Akhir Tahun: Reformasi Dikorupsi, Demokrasi Direpresi” yang juga dirilis oleh LBH Jakarta menjelaskan secara detail praktik-praktik teror yang ditujukan kepada Pembela HAM, seperti aktivis Papua Surya Anta, jurnalis Dandhy Laksono, aktivis Robertus Robert, musisi Ananda Badudu, pengacara Aliansi Mahasiswa Papua Veronica Coman, dan beberapa Pembela HAM lainnya, seperti Golfrid Siregar dari Walhi Sumut.
Nama besar seperti Munir Sahid Thalib, Marsinah, Wiji Thukul, Udin dan masih banyak lagi adalah contoh betapa besarnya resiko yang harus dihadapi oleh Pembela HAM yang tidak mau idealismenya terpasung ditengah arus kebohongan yang selalu diucapkan oleh pengusa.
Disorientasi Penegakan Hukum HAM
Pasca kurang lebih 21 tahun pemberlakuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, secara faktual penegakan hukum HAM di Indonesia masih mengalami ‘disorientasi penegakan hukum’ yang berimplikasi pada tidak terselenggaranya kepastian dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia.
Apabila menelisik lebih jauh bagaimana realitas penegakan hukum saat ini kita akan mendapati bahwa tidak satupun kasus pelanggaran HAM berat yang dapat diselesaikan oleh negara dengan cara berkeadilan.
Situasi ini semakin buruk dengan maraknya praktek ‘impunitas’ yang masih menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum HAM dan demokrasi di Indonesia.
Impunitas yang sering dikenal sebagai kejahatan tanpa hukuman sesungguhnya dapat menimbulkan ancaman serius bukan hanya bagi korban dan pegiat HAM tetapi juga menjadi ancaman terhadap supremasi hukum di Indonesia.
Impunitas di negeri ini terjadi ketika pemerintah memberikan pembebasan dan pengecualian dari tuntutan atau hukuman kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Biasanya praktik kotor ini terjadi akibat kedekatan para pelaku dengan pejabat negara ataupun karena pelaku pelanggaran HAM itu adalah aparatur negara, sehingga negara yang seharusnya menjadi sentral power dalam menghukum dan memberikan perlindungan bagi korban malah berbalik memberikan perlindungan bagi pelaku pelanggar HAM.
Harus dipahami bahwa hukum Internasional hak asasi manusia memandang pemeliharaan imputnitas sebagai sebuah penghinaan terhadap prinsip-prinsip HAM yang diakui secara universal, mengingat setiap korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM berhak untuk mendapatkan reparasi atau pemulihan atas apa yang dideritanya.
Kenyataan bahwa tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar prinsip konstitusi terutama melanggar prinsip hak asasi manusia justru membawa Indonesia jauh dari semangat supremasi hukum yang dicita-citakan.
Pembela HAM yang tampil guna memutus mata rantai impunitas tidak hanya berhadapan dengan aktor pelanggar HAM saja melainkan berhadapan dengan oknum-oknum pejabat negara yang menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk memelihara dan melindungi terduga pelanggar HAM tersebut.
Dalam situasi seperti ini rinsip equality before the law tak berdaya ketika ia diperhadapkan dengan kekuasaan yang buta akan keadilan. Penulis menyadari bahwa mengungkap kasus pelanggaran HAM yang menumpuk dari masa ke masa bak membuka kotak ‘pandora’ yang dikenal dalam mitologi Yunani.
Akumulasi dari kejahatan HAM yang menumpuk tanpa penyelesaian bisa saja memunncak: dari disorientation law enforcement menuju distrust dan berakhir dengan adanya civil disobedience (pembangkangan sipil).
Tentu penulis meyakini ini bukanlah tujuan dari pembela HAM tapi realitas penegakan hukum di bidang HAM serta kurangnya perhatian negara membuat ancaman itu bisa saja menjadi nyata.
Di Indonesia para korban pelanggaran HAM dan pembela HAM berjuang dengan semangat kolektif yang progresif. Melalui gerakan yang transformatif kelompok-kelompok Pembela HAM saat ini melebarkan sayap pergerakannya melalui media sosial disamping terus membangun eskalasi gerakan real di lapangan dalam menolak praktik impunitas dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Menelisik jejak panjang perjalanan Pembela HAM di kancah nasional dan internasional dengan serangkaian resiko yang mengintai seharusnya mereka (pembela HAM) patut mendapatkan perlindungan dari negara melalui pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Memang wacana pembentukan undang-undang perlindungan terhadap Pembela HAM telah muncul sejak tahun 2010, tetapi hingga saat ini belum menjadi prioritas Dewan Perwakilan Rakyat untuk dilakukan pembahasan. Padahal realisasi legislasi perlindungan bagi Pembela HAM bukan hanya untuk kemajuan hak asasi manusia tetapi juga untuk kemajuan demokrasi di Indonesia.
Di samping itu semua, pembela HAM sudah selayaknya mendapatkan atensi bukan hanya dari negara tetapi juga dari masyarakat secara luas mengingat perjuangan tanpa henti yang mereka tunjukkan dalam memajukan hak asasi manusia di Indonesia.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borobudur Jakarta.