Evan Augustin*
PIRAMIDA.ID- Praktik prostitusi adalah sebuah kegiatan yang patut dihentikan atau dilarang karena dianggap bertentangan dengan nilai agama dan kesusilaan. Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan serta bersifat ilegal dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Kasus terjadi di Madiun. Seorang mucikari berinisial ISM (34), seorang ibu rumah tangga, warga Desa Sumberejo, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun tertangkap atas tindak pidana prostitusi online yang melibatkan anak dibawah umur.
Dari praktik prostitusi daring itu, polisi berhasil menangkap seorang mucikari dan dua saksi korban yang salah satunya masih di bawah umur. Dari penyelidikan, diketahui ISM menawarkan dua saksi korban, yakni SW (20) asal Magetan, dan AN (15) warga Kota Madiun untuk kegiatan prostitusi. Tersangka ISM ini menawarkan SW dan AN yang berprofesi sebagai pemandu lagu untuk mendapatkan pelanggan melalui aplikasi ‘WhatsApp’ dan ‘MiChat’.
Dari transaksi itu, total uang yang disita polisi mencapai sebesar Rp.1,4 juta, dengan pembagian masing-masing saksi korban mendapat Rp.600 ribu dan ISM mendapatkan Rp.200 ribu. Dalam kasus tersebut, polisi mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya sejumlah ponsel yang digunakan tersangka untuk mengatur transaksi dan 12 kondom merek Sutera berwarna merah.
Menurut contoh kasus di atas, dasar hukum yang dapat dikenakan oleh tersangka adalah: a. Pasal 88 jo 76 i UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; b. Pasal 45 ayat (1) UURI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang ITE; c. Pasal 296 KUHP; d. Pasal 506 KUHP.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan dan pelacuran. Di samping itu, prostitusi juga dapat diartikan melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau suaminya, yang dilakukan di tempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat rekreasi dan lain-lain), yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan.
Faktor yang paling sering dan umum ditemukan adalah karena faktor ekonomi. Tetapi, seiring berjalannya waktu, ternyata prostitusi ini tidak hanya dilakukan oleh orang yang kurang secara status ekonomi saja, tetapi juga oleh orang yang mempunyai status ekonomi menengah ke atas dan bahkan juga memasang tarif yang fantastis.
Dalam KUHP hanya ada pasal yang menjerat mucikarinya saja, yakni Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP. Peraturan lainnya, yakni Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat pelaku jika prostitusi tersebut dilakukan secara online.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan guna mengurangi dan memberantas tindak pidana prostitusi dikalangan pelajar ini, antara lain adalah: 1. Sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang bahaya seks bebas dan prostitusi; 2. Perlu adanya pengawasan dari orang tua terhadap anaknya khusunya terhadap pergaulan dan lingkungan bermain anaknya; 3. Melakukan pemulihan ekonomi; 4. Mendorong anak ke hal-hal yang positif serta mendukung minat dan bakat dari anak tersebut; 5. Korban dari prostitusi dipulihkan psikologisnya dan melakukan rehabilitasi agar anak dapat kembali ke pergaulan dan lingkungan yang lebih baik.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Prodi Sosiologi Angkatan 2020.