Hanter Oriko Siregar*
PIRAMIDA.ID- Judul di atas tak selayaknya dicantumkan sebagai kalimat paling depan dalam tulisan ini. Serasa terbawa dan tergiring oleh egois dan sentimen pribadi dari penulis, tapi nyatanya, tidak!
Sebagai rakyat biasa, penulis menilai bahwa seorang pemimpin harus mampu berkata-kata secara konsisten, bijak, dan bertanggungjawab; tidak sekedar memberikan harapan apalagi hanya sebatas penghiburan.
Dalam pidato kenegaraan di DPR RI, Jumat (14/8/2020) pagi, Presiden Joko Widodo menegaskan, “Semua kebijakan harus mengedepankan ramah lingkungan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia).”
Itu artinya, persoalan HAM dan lingkungan harus menjadi prioritas.
Namun beberapa bulan lalu, dalam wawancara BBC di bandara internasional Yongyakarta, Presiden Joko Widodo mengatakan, “Prioritas yang saya ambil memang di bidang ekonomi terlebih dahulu. Tapi memang bukan saya tidak senang dengan urusan HAM, atau tidak senang dengan lingkungan, tidak, kita juga kerjakan itu.”
Dari pernyataan bapak Presiden tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan bukanlah prioritas.
Tampak dari kedua pernyataan Presiden tersebut ada kontradiksi dan tidak konsisten tentang apa yang telah diucapkan. Seolah-olah sedang berada dalam dunia permainan. Melirik dari kebijakan dan kinerjanya, benar, presiden kurang perhatian terhadap persoalan HAM dan lingkungan—kita bisa melihat berita-berita yang beredar terkait persoalan lingkungan.
Pidato kenegaraan tersebut, Presiden semata-mata hanya menunjukkan sikap (sekedar) peduli. Bukan pada pelaksanaan dan tindakannya.
Menyikapi segala persoalan lingkungan di seluruh negeri dalam masa kepemimpinannya saat ini, sekilas Indonesia tidak kalah malu dari negara lain.
Sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam, para penguasa justru lihai memainkan peran masing-masing agar nampak ikut serta memperjuangan keberadaban manusia dari segi lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Jika seandainya bangsa lain pun bertanya kepada para penguasa saat ini, “Apa yang sudah Anda lakukan dalam menjaga dan melindungi keseimbangan lingkungan hidup?”, jawabannya telah disediakan para pendiri bangsa ini bagi mereka.
Dengan jawaban yang tidak memalukan, “Bangsa kami telah membuat kebijakan, mengeluarkan dan mengesahkan suatu UU sebagai pedoman bagi seluruh masyarakat Indonesia dan sanksi bagi pelaku pengerusakan lingkungan hidup.”
Indonesia telah membuatnya untuk turut serta berpartisipasi dengan negara di seluruh belahan dunia, dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
Akan tetapi apakah UU Tersebut sudah memberikan implikasi yang baik bagi lingkungan? Tentu jawabannya: belum!
Indonesia benar telah membuat regulasi hukum agar lingkungan hidup tetap terjaga dan seimbang. Membuat asas-asas yang menjadi pedoman dan mentor bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Menilai hal itu, pemerintah sudah tepat dan benar telah membuat kebijakan yang melindungi lingkungan. Terhadap masalah-masalah lingkungan, seperti banjir, tanah lonsor, kekeringan, punahnya berbagai spesies hewan, lahan menjadi tandus, emisi gas karbon, pemanasan global dan lain sebagainya.
Semuanya telah diantisipasi dalam sebuah kebijakan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Namun yang terjadi, aturan dan kebijakan tersebut hanya prasyarat untuk mendapatkan pengakuan semata saja. Dalam hal penerapan UU tersebut, para penguasa lebih memilih menjadi buta.
Pengaplikasian dan sanksi tegas kepada setiap pelaku kerusakan lingkungan, rasanya mimpi. Pemerintah dalam hal penegakan hukum tidak konsisten, terkhusus menyangkut persoalan lingkungan.
Sementara jika kembali pada apa yang sudah diletakkan dalam Dasar Negara, persoalan lingkungan tidak kala pentingnya dalam mendukung pri-kemanusiaan yang beradad dan berkeadilan.
Bapak pelopor bangsa Indonesia, Soekarno, dalam catatan sejarah betapa gigih dan kerasnya menentang dan menolak investasi-investasi dari Luar negeri.
Tujuannya, untuk menjaga dan melindungi tanah ibu pertiwi ini dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Guna mewujudkannya, dalam menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan yang baik dan sehat, Soekarno menggali nilai-nilai lingkungan hidup yang harus dijaga.
Nilai-nilai itu kemudian dituangkan dalam Dasar Negara sebagai kebijakan yang mulia dan untuk menghargai alam itu sendiri. Ia terabstrasikan dalam UUD NRI 1945, guna mendukung kelestarian, kemanfaatan, keserasian dan keseimbangan lingkungan hidup.
Pembangunan di seluruh negeri ini, terutama dalam hal yang berkaitan dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam yang berkaitan erat dengan bisnis. Maka nilai-nilai dan ketentuan UUD harus menjadi pedoman sekaligus payung hukum bagi Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan.
Pembangunan wajib diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan yang berwawasan ramah lingkungan. Dalam mewujudkannya, maka perlu memerhatikan setiap asas-asas lingkungan hidup.
Asas tersebut dapat kita telusuri dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni di Pasal 2.
Di sini, negara wajib menerapkan nilai-nilai yang tercantum dalam Dasar Negara, yang dipertegas lagi dalam Asas-asas lingkungan hidup. Diperkuat lagi dengan adanya ‘asas tanggung jawab’ negara yang artinya negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam. Tanah, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara.
Negara wajib memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.
Negara juga menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanah dalam UUD Tahun 1945.
Selain itu, negara juga mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Negara harus menjadi tongkat yang menjaga dan melindungi lingkungan hidup, guna ‘asas kelestarian dan keberlanjutan’ dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Tapi nyatanya negara atau pemerintah justru lebih berpihak kepada para pengusaha, dan para investasi dari luar negeri.
Berbagai macam polemik yang menyangkut Omnibus Law, pemerintah terlihat cuek dan tidak perduli. Omnibus Law berencana akan disahkan di tahun ini, meski konsekuensi kehadiran ini dapat mengancam kelestarian lingkungan.
Bagaimana tidak, Omnibus Law justru mempermudah dan manjadi pintu masuk bagi para investor asing. Pemerintah juga mencoba menyederhanakan berbagai macam prasyarat yang dapat memperlambat para pengusaha.
Ini artinya, perseoalan lingkungan akan semakin terancam. Sebab pintu telah dibuka lebar-lebar.
Terakhir, penulis berpikir, “Biarlah lingkungan itu hancur dengan sendirinya.”
Toh, sebagus apapun ide dan gagasan untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan, semuanya hanya indah dalam tulisan belaka — dan nasib lingkungan, ya, bergantung sepenuhnya pada penguasa.
Penulis merupakan penggiat lingkungan hidup dan praktisi hukum.
Editor: Red/Hen