Frans Sipayung
PIRAMIDA.ID- Konsep dan model kepemimpinan di dunia saat ini telah mengalami perubahan. Jika dahulu, pemimpin bertindak sebagai penguasa dengan karakter keras, dan memerintah dengan tangan besi atau otoriter.
Sekarang tidak lagi demikian.
Sebagian besar para pemimpin sudah mulai menerapkan model kepemimpinan bersifat terbuka serta kolaboratif dalam bekerja.
Presiden Joko Widodo — salah satu pemimpin dunia — yang menerapkan pola kepemimpinan yang melayani (servant leadership).
Hal itu dapat dirasakan, di setiap kunjungan kerjanya ke sejumlah wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), rakyat senantiasa mengelu-elukan. Dan, selalu saja ada momen-momen kedekatan yang terbangun apa adanya. Baik itu dibangun Presiden, begitu juga sebaliknya datang dari rakyat.
Robert Greenleaf mengatakan, servant leadership adalah seseorang yang menjadi pelayan lebih dahulu. Dimulai dari perasaan alami bahwa seseorang yang ingin melayani, harus terlebih dulu jadi pelayan.
Para pemimpin-pelayan (servant leader) mempunyai kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas dirinya. Orientasinya adalah untuk melayani, cara pandangnya holistik dan beroperasi dengan standar moral spiritual.
Presiden Joko Widodo menjalankan amanah melayani dengan kedekatan yang alami. Sikap itu disadari atau tidak, mengalir pada kepemimpinan para menteri yang membantu, demikian terhadap para kepala daerah, apakah itu gubernur, wali kota mau pun bupati.
Menurut Spears, ada 10 karakter pemimpin yang melayani, yakni: Mendengarkan (listening) dengan penuh perhatian kepada orang lain, mengidentifikasi dan membantu memperjelas keinginan kelompok, juga mendengarkan suara hati dirinya sendiri; Empati (empathy), berusaha memahami orang lain; Penyembuhan (healing) emosional dan hubungan dirinya, atau hubungan dengan orang lain, karena hubungan merupakan kekuatan untuk transformasi dan integrasi; Kesadaran (awareness) untuk memahami isu-isu yang melibatkan etika, kekuasaan, dan nilai-nilai. Melihat situasi dari posisi yang seimbang yang lebih terintegrasi; Persuasi (persuasion) berusaha meyakinkan orang lain daripada memaksa kepatuhan. Ini adalah satu hal yang paling membedakan antara model otoriter tradisional dengan servant leadership.
Kemudian, konseptualisasi (conceptualization), merupakan kemampuan melihat masalah dari perspektif konseptualisasi berarti berfikir secara jangka panjang atau visioner dalam basis yang lebih luas; Kejelian (foresight) atau teliti dalam memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini, dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan; Keterbukaan (stewardship) dan persuasi untuk membangun kepercayaan dari orang lain; Komitmen untuk Pertumbuhan (commitment to the growth of people), merupakan tanggung jawab untuk melakukan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan profesional karyawan dan organisasi; dan Membangun Komunitas (building community), yaitu mengidentifikasi cara untuk membangun komunitas.
Dengan demikian, karakteristik utama yang membedakan antara kepemimpinan pelayan dengan model kepemimpinan lainnya adalah keinginan untuk melayani hadir sebelum adanya keinginan untuk memimpin.
Menjadi seorang pemimpin harus memiliki spirit yang melayani dan tidak terjebak untuk melakukan keinginan dan kepentingan diri sendiri apalagi menyalahgunakan kekuasaan.
Jadi, sesungguhnya demikian besar harapan rakyat bahwa seorang pemimpin itu harus jadi contoh terlebih dahulu, supaya ke depan dapat memberikan dampak yang besar bagi rakyatnya secara keseluruhan.
Masyarakat senantiasa menunggu lahirnya para pemimpin yang melayani, yang benar-benar memiliki hati nurani keberpihakan dengan tujuan untuk kemajuan, kebaikan dan kesejahteraan.(*)
Penulis merupakan Pendiri Kelompok Studi Pendidikan Merdeka (KSPM) dan seorang pendidik.