Sejak 28 November 2023, masa kampanye Pemilu 2024 dimulai. Partisipasi politik generasi milenial dan generasi Z (Gen Z) memiliki pengaruh besar serta menyumbang 56 persen dari total jumlah pemilih. Hingga hari ini tersisa 20 hari lagi menuju pesta demokrasi di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut sudah terjadi banyak dinamika menuju pemilu 2024.
Dinamika politik yang sangat dinamis dengan tingkat perubahan yang sulit di prediksi membuat siapapun yang terjun ke dunia politik harus memiliki pengetahuan yang cukup serta analisa-analisa yang tepat dalam memprediksi keadaan fenomena politik yang sangat dinamis.
Jika diibaratkan seperti Global Potitioning System (GPS) maka setiap orang wajib memiliki GPS Politiknya masing-masing sehingga tidak tersesat pada saat melangkah ke dunia politik.
Melihat perkembangan politik saat ini diIndonesia, dapat dilihat beberapa tantangan generasi millenials ketika berpartisipasi di dunia politik seperti maraknya hoaks, ujaran kebencian, kurangnya edukasi yang baik, serta mencuatnya politik identitas yang sangat berbahaya bagi kebhinekaan bangsa Indonesia.
Tantangan yang muncul dalam proses ini harus disikapi dengan bijaksana dan santun sehingga pendidikan etika sangat penting ditanamkan pada generasi ini hingga generasi millenials ini sadar bahwa kebhinekaan yang ada adalah kekuatan yang sangat luar biasa yang dapat merubah dunia, ibarat pelangi paduan dari berbagai warna yang membuatnya tanpak indah dan tantangan generasi milenial ini untuk tetap menjaganya.
Jika mengutip pernyataan Ir. Soekarno “Perjuanganku lebih mudah karena melawan bangsa penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih susah karena akan melawan bangsa sendiri”, kalimat ini bisa menjadi sebuah dasar pijakan berpikir dan bersikap sehingga generasi milenial sadar memang tantangan yang terjadi saat ini adalah mengelola bangsa sendiri.
Ditengah berbagai kepentingan yang hadir dalam dinamika perpolitikan Indonesia baik dari kepentingan dalam negeri maupun luar negeri yang saling beradu memperebutkan posisi dan pengaruhnya dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Selain tantangan tersebut ada beberapa hambatan yang muncul ketika generasi milenial ini aktif terjun dalam dunia politik pada pemilu 2024.
Factor usia dan pengalaman serta senioritas sering menjadi hambatan bagi kaum milenial untuk dapat berkembang dan mendapatkan kesempatan yang strategis dalam hajatan politik tahun 2024 ini.
Adanya anggapan kemampuan serta pengalaman yang masih kurang dalam dunia politik membuat sering kali generasi milenial terihat seolah-olah hanya menjadi pelengkap dan jargon bagi kalangan elite partai semata.
Kampanye mengatasnamakan generasi milenial, memperjuangkan serta memberikam ruang untuk generasi ini tampil sebagai aktor perubahan bangsa lebih terlihat hanya sebatas untuk meraup suara dari generasi muda K. i Pemilihan Umum untuk Pemilu 2024.
Jumlahnya mencapai 204.807.222 pemilih. Melansir dari Republika, berdasarkan hasil rekapitulasi DPT, mayoritas pemilih Pemilu 2024 didominasi dari kelompok generasi Z dan milenial. “Sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial,” kata Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT di kantor KPU, Jakarta, Minggu (2/7/2023).
Generasi milenial adalah sebutan untuk orang yang lahir pada 1980 hingga 1994.
Sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari total DPT Pemilu 2024. Adapun sebutan generasi Z merujuk pada orang yang lahir mulai 1995 hingga 2000-an.
Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.
Fenomena inilah yang kemudian harus menajdi perhatian dan perlu disikapi oleh generasi milenial Indonesia saat ini sehingga bukan hanya sebagai pelengkap dalam sebuah proses dinamika politik yang terjadi tapi juga mampu menjadi “agent of solution”, pada dinamika politik yang terjadi dan memberi contoh politik yang baik untuk kemajuanbangsa Indonesia, terlebih lagi Indonesia memasuki era revolusi industry 5.0 dan akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2045.
Negara Indonesia tidak dapat berjalan terus dan hidup kekal bila dalam jiwa tiap warga negara tidak tinggal menyala-nyala perasaan dan keinsyafan kebangsaan Indonesia. Satu kali dan untuk selama-lamanya kita harus menetapkan dalam pikiran dan hati kita, dan hal ini harus terjalin dalam segenap pandangan dan tindakan-tindakan kita:
“Indonesia mempunyai pelbagai suku-suku bangsa, tapi semua suku-suku bangsa itu merupakan satu bangsa jua, dari Sabang sampai Merauke: “Bhinneka Tunggal Ika.” Meskipun suku-suku bangsa ini tidak mempunyai suatu tingkat kebudayaan yang sama, tapi tiap suku mempunyai talenta corak tersendiri.
Jika suku-suku bangsa ini diibaratkan bunga dan bunga-bunga itu dipersatukan, maka ia akan merupakan suatu karangan bunga yang indah permai.
Pada waktu sekarang ini ada tendensi-tendensi yang lebih menekankan kepada “Bhinneka”, dengan demikian timbullah gejala-gejala “daerah-isme” atau “propinsi-alisme” yang ekstrem. Perasaan daerah saja dan hasrat memajukan kehidupan daerah dengan sekuat tenaga adalah suatu perasaan dan hasrat yang sehat, asal saja jangan dilupakan kepentingan-kepentingan seluruh wilayah Indonesia.
Sebaliknya ada tendensi ”sentralisme”, yang menekankan kepada “ika”. Memang negara kita sebagai negara kepulauan memerlukan suatu “kekuasaan sentral” yang kuat, tapi kekuasaan itu harus memberikan kepada daerah-daerah suatu otonomi yang cukup dan yang dapat memuaskan daerah-daerah itu.
“Bhinneka Tunggal Ika” hanya bisa berlaku sempurna, jika “Bhinneka” itu diperkuat oleh “Ika”. Sebaliknya “Ika’ hanya dapat tetap “Ika”, kalau “Bhinneka” diperhatikan, diperkembangkan dan dipentingkan.
Pendeknya, haruslah ada imbangan yang sehat antara “Bhinneka” dan “ika.”
Penulis : Goklas Nababan, Sekretaris GMKI Cabang Tarutung.