Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Otak saya seperti mengalami kebanjiran. Hujan belum datang sebagaimana lebatnya kemaren. Kemaren hujan datang menjelang sore hari. Sebelum lebat tiba-tiba saya harus berlari, keluar dari rumah, dan mengambil lima potong baju dari jemuran. “Ah, itu masih ada jaket,” yang sengaja saya jemurkan sebelum hujan. Jaket itu kadang saya pakai kalau naik sepeda motor untuk mengurangi serangan angin.
Meskipun tidak hujan jaket bekas itu saya pakai. Apalagi saya dapat di luar negeri pada tahun 2013 lalu. Ada bungkusan plastik di tepi sungai Rhein dan jaket itu salah satu di dalamnya. Karena lupa bawa charger dari Indonesia saya juga ambil alat itu dari dalam, di tambah satu headset. Sisanya saya tinggalkan; manatahu ada orang lain yang memerlukan. Hitung-hitung saya makin terlihat ganteng waktu itu karena jaket yang satu itu.
Musim semi sudah menyelimuti Eropa waktu kami tiba. Sungguh, saya bawa jaket juga dari Indonesia untuk menghadapi musim semi dengan lapisan baju lainnya yang dianjurkan. Sepatu kulit juga tidak lupa. Semua seperti kaus kaki, sarung tangan, penutup kepala pelembab bibir, untuk muka, untuk penjaga hidung, dan minyak penghangat badan. Selama musim semi kita tetap sehat meskipun bisa per dua hari mandikan seluruh badan.
Eh, ada lagi yang hampir lupa. Yaitu sekedar syal untuk leher. Namun uang tidak perlu dibuang untuk membeli model seperti yang digunakan seorang desainer. Jadi alternatifnya hanya memilih salah satu kain tenun tradisional yang disebut ulos. Itu pasti lebih bergengsi digunakan kalau pergi ke luar negeri. Saya punya beberapa kain tenun itu. Harganya bisa membantu petenun tradisional. Coba merias wajah seperti badut, lalu lengkapi kostum dengan ulos. Layaknya seperti seseorang yang bisa merasa terhina karena dituduh masih berevolusi.
Memasuki Eropa otak saya mulai banjir informasi. Setidaknya karena kata-kata yang belum saya mengerti. Banyak orang transit di Dubai atau Turki sebelum masuk ke Eropa. Entah apa saja yang mereka ucapkan namun menarik mendengar bunyinya. Hanya obrolan orang Jahudi yang belum tertangkap saya karena saya lebih memperhatikan semacam kuncir dari topi atau telinganya.
Di dalam pesawat jumbo suasana cenderung nyaman dan tenang. Kita cuma duduk dan sampai tiga kali bisa diantarkan makanan dan minuman. Ada juga lembaran menu yang bisa dibaca beberapa saat sebelum ditanya. Bahkan sebelum sarapan tisu basah dan hangat dibagikan untuk diusap ke muka dan tangan. Hanya menyikat gigi dan buang air bikin kita bergerak ke toilet. Mengundang kantuk bisa stel dan pilih menu pada display masing-masing di belakang sandaran yang menghadap ke nomor tempat duduk kita.
Guncangan kecil sesekali terasa. Itu mungkin yang disebut turbulensi. Lobang-lobang di bumi bisa bikin guncang mobil yang sedang menelusuri jalur jalan ke arah tujuan. Sementara turbulensi yang terasa di pesawat menggantikan perasaan di dalam mobil yang bisa terbang ke jurang kalau supir salah bawa.
Banjir kata-kata bisa juga terus terjadi. Ini ada kaitannya di luar informasi. Kami bukan dua atau tiga. Namun lebih dari delapan orang dan cuma satu yang sudah pernah ke sana. Di setiap bandara kita tidak boleh terlalu santai, kagum atau heran, doyan bergaya untuk foto-foto, namun harus was-was karena pimpinan rombongan bisa salah lalu stres dan marah. Perintah-perintah bisa seperti banjir kata-kata. Yang merasa tidak bersalah dapat kena tuding. Yang ingin merokok menjadi nanar tatapannya, selain bau nafasnya.
Emosi juga mengundang banjir kata-kata. Seperti katak meminta hujan. Konon suatu kota selalu dilanda banjir. Sementara saluran pembuangan air sudah lengkap dibuat hingga ke sungai. Semoga sungai terus mengalir ke laut. Terserah ke laut Jawa atau Lautan Hindia dan Samudera Pasifik. Semoga semua mahluk di sana juga berbahagia. Ikan-ikan tiada salah namun selalu ditangkapi. Sedang yang bersalah seperti korupsi diberi tempat sembunyi. Namun katak dipercayai bisa meminta hujan diturunkan sampai kota banjir!
Itulah memang beda ikan-ikan di laut tinimbang yang korupsi. Perkara kebersihan ikan di laut nomor satu. Begitu lirik suatu lagu. Sedangkan perkara kesucian yang korupsi itulah lebih jago. Padahal yang dikerjakan paling demi anak dan istri, demi pelir dan selir, demi para bidadari yang sedang menanti-nanti. (Maaf bagi yang tidak punya pelir dan selir kalau tidak disinggung). Yang suka korupsi berada di kubangan administrasi, bahkan sangat dekat pada sistem birokrasi. Semoga yang tidak melakukan.korupsi terhindar dari banjir dan tsunami.
Kebanjiran otak ada kalanya dengan hormon tertentu, meskipun sekarang perlu ditanya jenis banjir yang sedang melanda otak itu. Boleh saja karena oksigen dan nutrisi yang masuk ke otak cukup dan berjalan lancar lewat arteri, kinerja metabolisme juga memicu banjir di dalam sel. Banjir itu adalah hormon-hormon yang bisa mendorong munculnya energi sebelum digunakan untuk memperbaiki dan merusak komponen di dalam tubuh.
Kelihatannya saya semakin berlagak menyerupai ahli. Padahal banjir di otak saya belum tentu dipahami bukti-buktinya. Siapa pun tak perlu perduli kalau saya bilang otak saya sedang banjir. Jujur saja, tulisan ini hanya salah satu bukti yang tak bisa tertahankan dan mestinya lebih baik pekerjaan yang lain segera saya kejar sebelum tenggatnya terlewati. Namun di balik banjir otak saya, tulisan ini menjadi suatu saluran sosial di tengah banjir, tsunami, berita, perselisihan, dan.lain-lain.
Berita mengandung dan mengundang informasi. Tanya saja kepada dewan redaksi. Partai-partai juga butuh informasi melalui berita-berita resmi. Kalau tidak gerak politiknya hanya sebatas opini dan pintar memancing melalui berbagai kampanye. Orang-orang partai sendiri bisa banjir penuh janji. Namun, mohon maaf, janji itu akan dipenuhi sesuai kondisi. Itupun kalau dipenuhi. Lebih baik tidak dipenuhi agar sempurnalah dia sebagai politisi. Ada juga politisi yang tidak jelek-jelek amat karena selalu takut bikin janji.
Saya belum meneruskan dongeng suatu kota yang selalu dilanda banjir itu. Itu dipastikan karena permintaan katak. Bukan karena parit dan goring-gorong sumbat. Sampai begitu permintaan katak layak juga dicurigai. Atau itu sekedar mitos?
Yah, siapa yang tidak punya mitos? Teman saya bilang di antara mereka yang tidak punya dan tidak percaya mitos adalah orang-orang yang punya etos kerja. Seorang pemimpin lebih diharapkan memilih etos kerja daripada mitos. Suharto waktu menjadi presiden dianggap sebagai bapak pembangynan. Ada mitos pembangunan yang dikobarkan kepada seluruh masyarakat Indonesia meskipun kelihatan tidak memiliki etos kerja. Pembangunan digerakkan mitos hingga ABRI masuk desa. Jadi tidak lagi masuk rimba seperti zaman perang.
Mitos katak dan kota yang selalu dilanda banjir tidak relevan dengan etos kerja, kerja, dan kerja. Jadiungkin Presiden Jokowi bisa dianggap tidak percaya mitos. Banjir adalah sesuatu yang nyata; di otak atau luar kepala.
Suatu kaldera dipenuhi air setelah gempa tektonik dan vulkanik. Hujan turun tanpa dimintai oleh katak. Namun dimintai oleh suara. Lalu segala lembah dan benda mulai tertutup air. Ada banyak mahluk hidup ditelan banjir dan mungkin hanya tumbuhan dan hewan yang kembali perlahan berevolusi. Manusia mati karena terlbat berlari menghindari banjir. Bagaimana larinya pula kalau gempa sudah lebih awal meruntuhkan tempat berpijak? Manusia yang berkembang tetap ada karena pelir dan selir.
Suatu kota yang selalu dilanda banjir tak perlu meniru satu kaldera yang dipenuhi oleh air. Status suatu kota menjadi taman bumi tidak harus melalui bencana gempa dan banjir. Ada taman bumi yang perlu terbentuk tanpa harus mengundang banjir. Namun ada juga yang memang harus terbentuk karena gempa dan banjir.
Danau Toba adalah satu taman bumi yang terbentuk karena gempa dahsyat dan banjir. Bumi berguncang. Mata air dari langit dan tanah mengisi semua rongga. Gelap sekian lama tak terbayang. Dalam hal ini janganlah cerita soal listrik tiba-tiba. Terang di otak pun belum bisa saya olah dari banjir saja. Banjir adalah air. Air salah satu sumber listrik yang diolah dari dari hulu sungai Asahan.
Mungkin saya tercemar hingga ikut terlibat membuat pencemaran di taman bumi. Saya berapa kali kencing sembarangan ke danau. Berapa kali juga buang kulit kacang yang dijual ibu-ibu di kapal penyeberangan. Beberapa lbah buangan lain mungkin kecil-kecil terbuang juga. Apalagi yang dibuang bedar-besar secara terang-terangan tiap hari. Pencemaran suatu keniscayaan dan perlu dipulihkan agar air masih mungkin dijual ke Singapura dan turis-turis mancanegara.
Pencemaran itu seperti takkan teratasi karena yang diharap memulihkannya lebih terpancing berselisih. Selisihnya entah dalam digit, desimal, atau angka anggaran tahunan. Mereka saling tuding ada proyek bancakan dan belum menyelesaikan hutang sendiri kemana-mana. Berhutang lagi mau atasi pencemaran?
Taman bumi tercemar oleh orang-orang kota. Mereka tinggal di suatu kota yang selalu dilanda banjir itu. Padahal katak sudah berlindung ke bawah tempurung.
Pencemaran di taman kota itu belum terbukti menjadi urusan dunia. Urusan hutang saja tidak ada hubungan dengan dunia akhirat.(*)
Penulis adalah Penerima Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud RI pada September 2016 dan terlibat dalam Tim Kreatif Presiden untuk Acara Karnaval Kemerdekaan Danau Toba pada Agustus 2016.