Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Wilfred Cantwell Smith [21 Juli 1916–7 Februari 2000] adalah ahli agama yang dahsyat. Pengaruhnya luar biasa. Lahir di kota Toronto, salah satu provinsi di Canada, ia adalah seorang professor dalam perbandingan agama di Universitas Harvard, USA.
Setelah mendapat gelar Ph.D. di Universitas Princeton, Smith kemudian mendirikan Institute Studi Islam di Universitas McGill pada tahun 1949-1951. Pada tahun 1964 Smith menjadi direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions.
Makna Agama Menurut Smith
Salah satu bukunya yang sangat klasik adalah The Meaning and End of Religion. Sebuah buku yang kemudian diterbitkan Mizan dengan judul Memburu Makna Agama/Penerjemah, Landung Simatupang/Penyunting, Ahmad Baiquni/Bandung, Tahun 2004.
Berisi delapan bab; pendahuluan, religi: problem devinisi, budaya-budaya lain; religi-religi, kasus khusus Islam, apakah konsepnya memadai, tradisi kumulatif, iaman dan kesimpulan.
Buku ini terbit pertama kali tahun 1962 dan langsung menjadi buah bibir di kalangan ahli agama. Menurut Smith, agama adalah suatu istilah yang hendak merangkum seluruh hal-ihwal. Ia berbicara tentang Tuhan, manusia, alam.
Ia juga berkehendak mengenalkan mahluk lain; iblis dan malaikat. Ia juga mengkonsep dosa dan pahala. Ia juga mendesain gagasan tentang neraka dan surga. Ia juga mengandung pengetahuan futurologis tentang masa kini, masa lalu yang paling lampau, dan masa depan yang tak berujung [akherat]. Ia juga menyodorkan hal-hal yang terpikirkan dan yang tak terpikirkan.
Karena begitu luasnya, banyak orang bertanya dengan sederhana; bagaimana agama mesti didekati, dipahami dan dilaksanakan? Selanjutnya timbul pertanyaan, mungkinkan menciptakan suatu standar objektif untuk menilai kebenaran suatu agama sehingga orang mampu menilai yang ini benar dan yang itu tersesat? Dan, akhirnya bagaimana cara kita mempertimbangkan aspek-aspek tak teramati (non-observables) dalam agama secara obyektif?
Bagi para pengamat dan pengkaji, agama lebih merupakan konstruksi intelektual atas hal-hal yang terpikirkan dan teramati (the observables) dari para penganut agama. Tetapi, bagi orang yang beriman, agama bukan sekadar sekumpulan doktrin dan praktik ibadah.
Melalui dan di dalam agama, orang beriman melabuhkan impian terjauh tentang kesempurnaan dan kebahagiaan; ketakutan terdalam akan ketiadaan dan kesia-siaan, kerinduan mencekam akan cinta dan keabadian. Dan karena itu, agama dihayati bukan sebagai abstraksi kosong, melainkan sebagai sesuatu yang dihidupi dan menghidupi orang beriman, sebagai inti sari kehidupan itu sendiri.
***
Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun 1941-1945.Karena itu, ia banyak merasakan langsung hubungan antar-intra agama yang pasang surut. Kadang harmonis, kadang saling menhancurkan.
Dengan pengalaman tersebut, ia menggagas pluralisme agama sebagai tahapan baru bagi kaum beriman agar dapat memfungsikan agama secara bermanfaat dalam hubungan yang harmonis. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.
Salah satu hipotesanya yang sangat terkenal adalah; “membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi.”
Dengan hipotesa ini, Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam.
Sementara, pada taraf konseptual wahyu, Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama/kepercayaan lain.
Selanjutnya Smith menulis, “tampaknya tidak seorang pun [pemuka religius besar di dunia ini—kecuali Mani (216-277M) yang dikenal sebagai agama Manichaeanisme] yang secara sadar dan terencana mendirikan suatu religi [hal. 156].” Dengan argument ini, makin jelaslah bahwa ada faktor eksternal yang hadir dan “sama” sebagai subyek kelahirannya, dialah Tuhan.
Dus, manusia sesungguhnya adalah hewan yang ber-Tuhan [hal. 202].
Untuk menguatkan tesis tersebut, Smith mencontohkan kata Islam. Dengan pendekatan semiotika, didapati bahwa Islam hanyalah kate benda verbal; nama suatu tindakan, bukan institusi; nama suatu keputusan personal, bukan sistem sosial. Sebagai agama dalam pengertian sekarang, menurut Smith datangnya belakangan.
Dengan demikian, pengetahuan akan religi dirinya, semestinya dibarengi dengan religi orang lain agar paham makna “agama” secara “kelahiran dan tujuan.” Walaupun kata Smith, ‘tidak semua pengamat percaya pada Tuhan dan tidak semua orang taat peduli pada sejarah; tetapi sulit menghindari keduanya [hal. 226].’
Pendirian teologis di atas oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa.
Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan beberapa teolog Kristen yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa teolog Muslim yang menganggap Yesus sebagai suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima.
Sebab, bagi Smith, semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gamblang di hadapan kita, dalam cinta dan kasih-Nya maka seluruh kebenaran lainnya akan memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama [diri] yang paling benar ‘berakhir.’
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana diwahyukan oleh agama yang kita anut.
Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
***
Bagi Smith, bangkitnya kesadaran diri dalam sejarah religius umat manusia merupakan ‘kejadian yang drastis.’ Akibat-akibatnya susah diramalkan secara meyakinkan oleh siapa saja [hal. 342]. Kerena itu, manusia dengan iman religiusnya selalu akan hidup di dunia. Mereka terpengaruh dan ditentukan oleh tekanan-tekanan dunia, terbatasi dalam ketidaksempurnaan dunia [hal. 264].
Akibatnya, agama dan manusia akan selalu berdampingan, saling menguntungkan serta membentuk hubungan yang saling melengkapi. Berhentinya kemansiaan, adalah berhentinya agama; begitu pula sebaliknya. Karena itu, kita dituntut untuk selalu meredefinisi keagamaan dan kemanusiaan kita.
Dan, gagasan ini memang prestisius dan ambisius; tetapi harus dikerjakan oleh mereka yang percaya bahwa setiap diri ada keterbatasannya dan setiap agama mengharuskan kearifan pemeluknya. Selebihnya, biarlah Tuhan yang bicara.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).