Reiner Emyot Ointoe*
PIRAMIDA.ID- “Saudara Jaksa tidak membuktikan bahwa dunia imajinasi identik dengan dunia kenyataan, bayangan mempunyai dimensi yang sama dengan benda, namun demikian dia memakai ukuran-ukuran yang berlaku dalam dunia kenyataan pada dunia mimpi dan khayal.”
(Duplik Paus Sastra Indonesia H.B. Jassin dalam Perkara Cerpen “Langit Makin Mendung”, 1970).
Bisakah fiksi diadili? Betapapun itu sudah dipertontonkan sebagai reka imajinasi dengan campuran tokoh rekaan vs tokoh faktual (historis).
Pada akhir tahun 60-an setelah rezim Orde Baru runtuh, H.B. Jassin (1917-2000), redaktur majalah Sastra (edisi, No.8 Tahun VI Agustus 1968), memuat cerita pendek “Langit Makin Mendung” karangan Kipandjikusmin yang menokohkan Nabi Muhammad dalam turba ke Pasar Senen Jakarta. Dalam rekaan Kipandjikusmin, Nabi Muhammad sedang gusar oleh ulah umatnya yang sudah kembali ke era jahiliyah.
Kontan, pemuatan cerpen ini mendorong suatu ormas agama mendatangi Kejaksaan dan menuntut H.B. Jassin sebagai redaktur majalah Sastra agar diseret ke pengadilan atas tuduhan menghina Nabi Muhammad karena memuat cerpen dengan tokoh Muhammad secara vulgar dan verbal.
Atas dasar gugatan dengan delik cerita rekaan, Jassin pun terseret ke pengadilan untuk diadili dalam kasus cerita rekaan alias imajinatif. Kasus yang kelak dikenal sebagai pengadilan imajinatif/sastra pertama di dunia atau “heboh sastra”, setelah beberapa persidangan dengan saksi-saksi ahli seperti Ketua Umum MUI Prof. Dr. Hamka (ulama dan sastrawan yang mengarang fiksi terkenal: Tenggelamnya Kapal Van der Weijk dan Di Bawah Lindungan Ka’abah) serta Ali Audah.
Walhasil, hingga pleidoi Jassin yang ketiga, Pengadilan Negeri Jakarta tak pernah memutuskan perkara itu dan Jassin pun dibebaskan.
Sekiranya, salah satu adegan rekaan pemenggalan kepala Raja Loloda Datu Binangkang oleh prajuritnya atas suruhan siasat Pingkan Mogogunoiy, baik dalam rekaan sutradara Achi dan novelis Taulu, dijadikan delik perkara penghinaan (blashphemy) pada ketokohan Loloda maka bagaimana mungkin menyeret perekanya H.M. Taulu yang sudah berkalang tanah?
Alasannya, dengan segala keterbatasan metafora estetika adegan yang secara verbal dikutip sutradara Achi dari rekaan novel “Bintang Minahasa” H.M. Taulu, delik pada cerita rekaan (fiksi) yang dianggap rasis dan menghina atas sosok faktual
(Loloda) itu sama sekali tidak benar, palsu bahkan hoaks beraroma horor dan sadisme.
Sekali lagi, itu bukan fakta dan tidak benar. Jadi, bagaimana mungkin rekaan, imajinasi bahkan fiksi akan dijadikan alat bukti perkara?
Dengan lain kata, pengadilan fiksi ini akan menjadi rekonstruksi rekaan baru dengan tergugat lain yang menjadi sumber utama “reka perkara” H.M. Taulu sebagai subyek pencerita.
Andai pengadilan fiksi ini berlangsung, hakim pun harus menyeret Taulu sebagai tergugat satu. Mirip tuntunan Jaksa pada pengarang Kipandjikusmin yang ditolak H.B. Jassin untuk menunjukkan atau menghadirkan sang pengarang ke pengadilan.
Hingga Jassin wafat pada 2000, sosok Kipandjikusmin tak diberitahu olehnya pada siapapun.
Gugatan pada karya fiksi yang menampilkan kisah rekaan antara tokoh faktual (historis) dan tokoh khayalan pengarang sudah banyak terjadi meski tak ada yang berakhir di pengadilan kecuali untuk kasus bajakan dan plagiarisme.
Salah satunya, novel “Satanic Verses” (Ayat-Ayat Setan) karangan sastrawan asal Pakistan yang bermukim di London, Salman Rusdhie. Novel ini menyulut protes dan kemarahan umat Islam sedunia karna menokohkan Ayesha (Aisha), istri Nabi Muhammad sebagai pelacur dan Mahound (Muhammad) sebagai germo.
Akhirnya, pada 1989, Rusdhie yang difatwa mati oleh mendiang Ayatolah Khomeini tanpa bisa diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan karya fiksinya. Kecuali novelnya dibakar di mana-mana dan di Indonesia ketika itu dilarang beredar.
Ars longa vita brevis.
(Seni itu kekal manusianya fana).
Licensi poetica.
(Kekebalan kreativitas).(*)
Penulis merupakan pegiat media sosial.