Lestari Simanjuntak
PIRAMIDA.ID – Hai, nama saya Lestari. Salah satu tim redaksi di Piramida.id. Berdomisili di Kabupaten Simalungun, meski lebih sering menghabiskan waktu berinteraksi dengan orang lain di Pematangsiantar. Secara personal saya memiliki kepribadian yang kurang menarik.
Alhasil tidak banyak yang mengenal.
Terlahir dari keluarga yang memiliki jiwa insecure menyelamatkan saya ketika bertemu dengan para sahabat yang berhati baja. Mungkin jika tidak, saya akan meneruskan karakter bapak yang luar biasa pendiamnya.
Sedikit informasi, tulisan ini saya buat pada saat pandemi COVID-19 masih merajalela.
Meski begitu, saya bukan mau bahas COVID-19. Iya, karena saya bukan ahlinya.
Baiklah saya akan menceritakan pengalaman yang lumayan menarik di dalam hidup saya. Bersifat aib sih.
Jadi begini ceritanya.
Bercerita hidup, berarti mengarah bagaimana caranya mempertahankan diri agar bisa tetap hidup. Salah satunya adalah dengan mendapatkan uang, berarti bekerja. Lulus dari bangku perkuliahan, Kota Pekan Baru adalah tujuan saya mencari pekerjaan.
Lama sekali baru saya sadari apa yang menjadi motivasi untuk merantau di sana, ternyata mencoba lari dari kenyataan saat itu. Yang terjadi adalah setelah hampir 2 minggu berada di sana, saya langsung diterima bekerja di salah satu perusahaan distributor sebagai admin komputer. Namun di bulan ke-3 mengundurkan diri karena jam kerja yang kurang masuk di akal. Kemudian melamar lagi di perusahaan lain dan sekolah-sekolah, hampir 2 bulan jadi pengangguran.
Sisa gaji sudah tidak sanggup lagi memenuhi biaya makan dan uang kos. Lagi-lagi karena orang baik selalu ada di sekitar, saya masih bisa makan dan bertahan, serta kemudian memutuskan untuk balik ke Siantar. (Orang baik itu adik kost saya Rora dan teman kuliah dulu, Kak Adel).
Terimakasih ya. Semoga kalian baca ini.
Saya pun kembali ke rumah. Orangtua saya pun melakukan upa-upa (dalam adat batak) dan menyuguhkan ikan mas arsik di hadapan saya. Kata mereka, keberangkatan saya ke Pekan Baru itu terkesan mendadak supaya mengembalikan tondi saya dan mendoakan supaya segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan.
Padahal — layaknya harapan kolektif para orangtua — mereka berkeinginan besar saya bisa jadi PNS.
Ini intinya.
Tahun 2017 saya mendaftarkan diri di satu lembaga pengawas pemilu di Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun. Dengan bermodalkan niat tanpa pengalaman yang belum banyak, saya pun lolos dengan menghafal teori pengawasan pemilu dan bantuan relasi.
Tapi sebenarnya point-2 lah yang lebih berperan. Belum ada sebulan, saya harus mengundurkan diri karena data pribadi saya dibongkar oleh salah satu calon pengawas yang gagal ketika mengikuti seleksi pada saat itu.
Saya mengakui, bahwa kesalahan saya adalah memalsukan data pribadi. Tidak sedikit yang merasa kesal dan kecewa. Bahkan saya cukup lama tidak memberanikan diri untuk bertemu dengan mereka yang sudah mengusahakan saya berada di posisi itu.
Padahal hampir saja saya bergelut dengan dunia politik. Ternyata lembaga itu belum melepaskan saya, melalui ketua panitia pengawas yang terpilih saya diajak bergabung menjadi salah satu staf di kantor. (Kalau abang baca ini, saya mengucapkan terimakasih ya bang).
Dengan memutus urat malu, saya menerima dan bergabung dengan tim ini. Jika diingat-ingat kembali di antara 2 staf yang ada, saya bukanlah pribadi yang menonjol. Hampir satu tahun, saya bekerja setengah hati. Hidup saya gak menarik. Bahkan saya mendengar di pemilihan tahap kedua, saya bakal diganti (saat itu kebijakan pemerintah menyatakan bahwa pemilihan dilaksanakan dengan panitia pengawas yang sama karena waktunya berdekatan).
Setelah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di tahun 2018 selesai, dilanjutkan persiapan untuk Pemilihan Umum, ternyata saya gak jadi diganti.
Di tahun kedua saya pun berusaha bekerja dengan baik. Sebenarnya tidak ada yang menarik dari setiap formulir-formulir pengawasan tersebut, kecuali dengan menghidupkan suasana ruangan supaya tidak membosankan.
Sampai saat ini saya selalu bersyukur karena bertemu dengan orang orang yang menerima kekurangan saya saat itu, ada banyak motivasi dan candaan yang saya dapat. Ada kakak-kakak, abang-abang yang selalu mendorong, saya yakini mereka tulus melakukannya.
Kami mengakhiri panitia tanpa ada rasa sesal, sampai salah satu status saya di media sosial saya mencantumkan gambar-gambar mereka, kelak nanti saya diingatkan kembali dengan keberadaan mereka.
Dengan keputusan yang singkat saya kembali mencoba mengambil peran untuk menjadi salah satu Penyelenggara Pemilu Kecamatan di tahun 2019. Tekad yang besar dan penuh harapan, ternyata saya gagal mendapatkannya.
Kembali ingatan saya, mungkin ini efek dari kesalahan yang pernah tergariskan di catatan hidup. Dan sangat kecil kemungkinannya, untuk saya mencoba lagi.
Pesan yang bisa saya petik dari pengalaman ini:
1. Tuntutan hidup untuk mendapatkan uang terkadang menjebak kita dengan melakukan kesalahan. Maka, jika ingin bahagia menjalaninya sebisa mungkin hindari;
2. Dengan kekurangan yang kita miliki, ada banyak orang-orang di sekitar yang bersedia menyediakan diri untuk membantu bertumbuh dan tidak membiarkan kita terlarut di kesalahan masa lalu;
3. Pengalaman ini menjadi pelajaran yang berharga, yang terkadang akan menjadi joke pribadi disaat saya mulai putus asa.
4. Saat ini saya melakukan setiap pekerjaan dengan bersemangat, nyatanya ini membuat saya bahagia. Lagi – lagi tak terlepas dari motivasi dari sahabat sahabat yang selalu mendukung.
Editor: Red/Hen