PIRAMIDA.ID- Sejak deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928, berbagai lapisan masyarakat menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang harus digunakan di berbagai aspek kehidupan, termasuk di sektor pendidikan.
Di dunia pendidikan, penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya di buku teks.
Peraturan Presiden No. 63/2019 menegaskan bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Meski demikian, seperti yang tertulis pada Pasal 23 Ayat 2, penggunaan bahasa daerah dibolehkan sebagai bahasa pengantar, terutama di level sekolah dasar (SD) untuk memudahkan proses pembelajaran.
Namun, riset yang dilakukan oleh Save the Children menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% total populasi Indonesia yang mendapatkan pendidikannya dalam bahasa pertama mereka.
Masih banyak guru di kelas tingkat awal (kelas 1-3) hanya menggunakan bahasa Indonesia saat mengajar. Praktik tersebut menyulitkan bagi anak-anak yang belum lancar berbahasa Indonesia ketika mereka masuk sekolah.
Studi awal kami juga menunjukkan bahwa anak-anak yang belum lancar berbahasa Indonesia memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka tidak sepenuhnya mengerti materi pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Melalui pelaksanaan program uji coba transisi bahasa di pendidikan dasar di Indonesia bagian timur sejak 2018, kami membuktikan pentingnya penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.
Hasil riset
Sejak dua tahun lalu, INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Australia dan Indonesia, memfasilitasi guru untuk belajar menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar secara lebih efektif di dalam kelas.
Kami melakukan program Pendidikan Multibahasa Berbasis Bahasa Ibu (PMBBI). Program ini melibatkan sekitar 40 sekolah di dua provinsi Indonesia bagian timur. Kami memilih daerah tersebut karena masih banyak siswa yang belum lancar berbahasa Indonesia.
Implementasi program bervariasi, namun ada beberapa pendekatan yang umum digunakan.
Pertama, guru menjelaskan berbagai konsep pelajaran kepada siswa dengan bahasa daerah secara bertahap. Ketika siswa sudah cukup kuat dalam memahami konsep tersebut, guru melakukan transisi menggunakan bahasa Indonesia. Pendekatan ini dinamakan jembatan bahasa.
Kedua, guru mengembangkan dan memperkenalkan media pembelajaran yang dilengkapi dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ketiga, guru melaksanakan metode mengajar partisipatif yang sesuai dengan kemampuan bahasa dan belajar masing-masing siswa.
Survei akhir yang kami lakukan pada 2019 di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pendekatan PMBBI yang diimplementasikan sejak awal 2018 mengindikasikan peningkatan kemampuan literasi siswa secara umum. Tingkat kelulusan tes literasi dasar (mengenal huruf, suku kata, dan kata) siswa dengan bahasa daerah meningkat dari 27% menjadi 79%.
Selanjutnya, evaluasi yang kami lakukan di Bima, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan bahwa PMBBI berpotensi mengurangi kesenjangan hasil belajar antara siswa yang lancar berbahasa Indonesia dan yang tidak.
Daerah tempat program PMBBI berlangsung mengalami penurunan kesenjangan antarsiswa yang lebih signifikan (7%) dibandingkan dengan daerah yang tidak melaksanakan pendekatan PMBBI (1%).
Mengapa bisa berhasil
Ada beberapa potensi penjelasan terkait ini.
Pertama, siswa yang diajar menggunakan bahasa ibu lebih mudah dan cepat memahami materi pelajaran. Selain itu, kemampuan literasi yang dibangun dengan menggunakan bahasa ibu sebagai jembatan bahasa, membuat siswa lebih mudah untuk belajar bahasa lain.
Bagi siswa yang belum fasih dengan bahasa Indonesia, memulai pendidikan dalam bahasa Indonesia tentu sangat menantang.
Praktik ini dapat menyebabkan mereka kesulitan untuk mengikuti pembelajaran, bahkan memaksa mereka keluar dari sekolah. Dampak dari praktik ini akan semakin terlihat setelah siswa naik ke jenjang yang lebih tinggi saat bahasa yang digunakan dalam pembelajaran semakin kompleks.
Lebih lanjut, wawancara yang kami lakukan dengan penerima manfaat program yaitu guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah menunjukkan bahwa pembelajaran menjadi lebih mudah dilakukan ketika menggunakan bahasa daerah. Lebih jauh, guru mengaku bahwa siswa menjadi lebih aktif berpartisipasi karena mereka lebih percaya diri untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
Keterlibatan aktor pendidikan lokal, termasuk orang tua dan komite sekolah pada awal program dianggap berkontribusi pada penerimaan komunitas terkait pelaksanaan program. Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia yang sangat beragam, pendekatan dari bawah ke atas dengan melibatkan pemangku kepentingan sekolah dan memperhatikan konteks lokal menjadi sangat penting dalam implementasi program semacam ini.
Jalan masih panjang
Meski terbukti berhasil, INOVASI masih terus berusaha untuk memahami kunci efektivitas program PMBBI ini. Studi dari Uganda menunjukkan bahwa efektivitas pendekatan ini bergantung juga pada kompleksitas bahasa daerah.
Kami juga mengidentifikasi adanya beberapa tantangan dalam implementasi program, seperti belum adanya kesadaran dari pemerintah lokal dan sekolah akan pentingnya program bahasa tersebut.
Tantangan lain hadir dalam bentuk keberagaman bahasa siswa di sekolah dan keterbatasan guru terkait pemahaman bahasa setempat khususnya bagi guru pendatang. Ada juga dilema guru dalam mengaplikasikan PMBBI di tengah target pencapaian kriteria kelulusan siswa yang sering disebut sebagai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang tinggi.
Guru memegang peranan penting dalam implementasi bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Namun, dukungan institusi dibutuhkan untuk membuat implementasi menjadi lebih efektif.
Sebagai langkah awal, pengembangan pedoman teknis terkait penggunaan bahasa ibu dapat dilakukan oleh pemerintah bersama instansi terkait, termasuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dan Badan Bahasa.
Di tingkat lokal, pemerintah bisa bekerja sama dengan lembaga lokal, termasuk universitas dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memetakan bahasa dominan yang digunakan siswa. Pemetaan penting dilakukan agar program tepat sasaran dan mempermudah pemerintah membangun kesadaran akan pentingnya PMBBI di sekolah.
Untuk daerah yang banyak siswanya belum lancar berbahasa Indonesia, pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu perlu dilakukan lebih dari sekadar menjadikannya sebagai muatan lokal terutama di kelas rendah.
Pemerintah dapat melengkapi pedoman teknis dengan pelatihan untuk guru dan sumber pembelajaran dalam bahasa daerah. Selain itu, di tingkat sekolah, guru yang ditempatkan di kelas awal perlu memiliki pemahaman bahasa setempat yang mumpuni.(*)
The Conversation.