Oleh: Ados Aleksander Sianturi
PIRAMIDA.ID- Kebebasan berekspresi merupakan salah satu prinsip vital dari demokrasi. Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan menggelar diskusi publik. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia seyogyanya mampu menjamin hak dan menjaga keberlangsungan kebebasan berekspresi oleh setiap warga negara dalam bingkai hukum yang jelas.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh setiap warga negara untuk berekspresi atau menyampaikan pendapatnya terhadap hal apapun dalam konteks kenegaraan. Beberapa di antaranya, yaitu unjuk rasa, audiensi, tulisan/kajian yang dimuat di media, sastra, hingga mural seperti yang ramai diperbincangkan baru-baru ini.
Secara etimologi, mural berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata “murus” yang berarti dinding. Secara luas, mural diartikan sebagai gambar atau lukisan yang ditempatkan di permukaan dinding, tembok, ataupun media luas lainnya yang bersifat tetap/permanen. Pada umumnya mural digunakan sebagai jalan menuangkan pendapat maupun kritik terhadap masalah sosial yang telah atau sedang terjadi. Akan tetapi, saat ini mural juga sudah banyak dijadikan sebagai ladang untuk mencari penghasilan.
Beberapa hari belakangan ini ramai muncul mural-mural hasil kreatifitas anak bangsa yang memuat ekspresi terhadap konflik sosial yang muncul akibat ruwetnya regulasi dalam hal penanganan pandemi. Pasalnya, kebijakan-kebijakan yang diturunkan oleh pemerintah terkesan tendensius dan tidak solutif. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) misalnya, kebijakan ini merupakan kebijakan yang masih berlaku hingga saat ini. Menurut hemat penulis, di antara kebijakan yang sebelumnya diturunkan, kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling berhasil menimbulkan gejolak sosial.
Bagaimana tidak? Pengetatan aktivitas yang dilakukan sangatlah berdampak pada mata pencaharian masyarakat, terutama masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Keberadaan pandemi saja sudah sangat berpengaruh pada akses mereka dalam mencari penghasilan yang menjadi jalan hidup mereka. Ditambah lagi kebijakan yang malah menutup hampir keseluruhan akses yang sebelumnya masih sedikit terbuka. Apabila kedapatan melanggar aturan, masyarakat akan langsung dikenakan sanksi berupa denda ataupun penjara.
Jerit tangis pun tak terhindarkan. Tidak adanya solusi ataupun bantuan yang merata menambah peluh penderitaan. Berangkat dari hal inilah , mural-mural muncul sebagai kritik keras akibat ruahnya rasa muak terhadap pemerintah. Akan tetapi, kritik yang dituangkan dalam karya seni tersebut seketika langsung mendapat respon negatif oleh negara. Ya, mural-mural tersebut berujung pada penghapusan oleh tangan-tangan para aparat negara. Berbagai dalil hukum yang tidak relevan pun diturunkan untuk membenarkan giat penghapusan mural tersebut.
Sebelumnya, ada beberapa mural yang dihapus, yaitu mural dengan tulisan “Tuhan Aku Lapar”, “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”, dan yang terakhir adalah mural yang diduga wajah presiden RI yang bertuliskan “404 Not Found.”
Penghapusan mural yang terakhir yang diduga memuat wajah Presiden RI itu dilakukan karena dianggap melecehkan presiden yang menurut pihak kepolisian adalah lambang negara yang harus dihormati. Padahal dalam UUD 1945 tak satupun pasal yang menyebutkan bahwa presiden merupakan lambang negara. Lambang negara pada UU adalah bendera merah putih, bahasa, Garuda Pancasila dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sudah mengatur berbagai hal terkait bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan. Berikut ini simbol negara yang diatur dalam UUD 1945:
a. Pasal 35 menyebutkan Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih;
b. Pasal 36 menyebutkan Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia;
c. Pasal 36A menyebutkan Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika;
d. Pasal 36B menyebutkan Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
Hal ini dipertegas kembali pada UU No. 24 Tahun 2009. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa lambang-lambang negara sesuai yang telah diatur dalam UUD 1945, yaitu:
a. Pasal 1 ayat 1 Bendera Negara NKRI adalah Sang Merah Putih;
b. Pasal 1 ayat 2 Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah NKRI;
c. Pasal 1 ayat 3 Lambang Negara NKRI adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika;
d. Pasal 1 ayat 4 Lagu Kebangsaan NKRI adalah Indonesia Raya.
Mengenai pernyataan pihak kepolisian di atas yang menyebutkan bahwasanya presiden itu merupakan lambang negara sudah tentu kurang tepat dan tidak berdasar. Apalagi pernyataan tersebut dijadikan sebagai dalil dalam penghapusan mural yang notabenenya merupakan kritik sosial yang dijamin dalam UU sebagai bentuk penyampaian pendapat.
Penghapusan-penghapusan mural ini merupakan bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi. Ini menambah daftar penghambat setelah sebelumnya banyak pasal-pasal karet dan dalil-dalil sepihak yang juga membatasi warga negara untuk menyalurkan ekspresinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan mengungkapkan isi pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kebebasan berekspresi telah diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara.”
Sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, konstitusi sudah menegaskan bahwasanya kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 28, dan kini dipertegas dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Artinya, pengakuan atas kebebasan berekspresi tersebut memiliki history yang sama dengan negara ini sejak lahir.
Pandemi ini ternyata tak hanya menggerogoti sektor ekonomi, kesehatan, kehidupan sosial, maupun pendidikan. Melainkan juga merenggut dengan paksa hak-hak fundamental setiap warga negara dalam menyampaikan aspirasinya yang telah dijamin dalam hukum. Hal ini salah satu bukti bahwa negara ini sudah mengarah kepada otoritarianisme. Pemerintah pusat terlihat terima segala aspirasi akan tetapi jajaran dibawah sibuk mengeksekusi dan merepresi tiap ekspresi.
Degradasi kebebasan berekspresi ini tentunya berpotensi menimbulkan gerakan sosial yang amat besar. Gerakan itu dapat menimbulkan gelombang atau gejolak yang luar biasa apabila represifitas terhadap penyampaian ekspresi ini terus berlanjut. Penindasan terhadap kebebasan berekspresi menggunakan kekuasaan ini akan menimbulkan instabilitas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibat dari situasi ini adalah masyarakat akan menjadi kaku dan tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang dinamis. Penindasan ini haruslah dihentikan secepatnya apapun alasannya.
Ke depannya negara harus memperjelas supremasi hukum di mana supremasi hukum merupakan prasyarat utama untuk menjamin kebebasan berekspresi, dan kepatuhan terhadap hukum adalah cara berfungsinya demokrasi. Sebab, dewasa ini terdapat beberapa undang-undang dan regulasi yang sudah kadaluarsa dan kalimatnya kurang jelas sehingga dapat dimanipulasi untuk memuaskan kepentingan sekelompok orang tertentu dan merugikan hak orang lain.
Dalam kasus-kasus tersebut, undang-undang ini yang seharusnya melindungi setiap warga harus diamandemen atau dirombak agar dapat menyelesaikannya secara hukum atau tidak. Penyalahgunaan undang-undang dapat menimbulkan efek intimidatif dan bahkan membungkam terhadap kebebasan berekspresi.
Sebagai penutup, Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi haruslah kembali pada pelaksanaan yang seharusnya. Supaya demokrasi tidak tinggal narasi yang merampas hak penduduk negeri untuk menyampaikan aspirasi.(*)
Penulis merupakan Komisaris DPK GMNI Trituntas Universitas Jambi (Unja).