Delima Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 mengatur perubahan kedelapan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri Kepada PT Inti Indorayon Utama.
Melalui keputusan yang ditandatangani 28 Juli 2020 ini, ada pengurangan konsesi PT TPL, sehingga saat ini PT TPL memiliki luas wilayah konsesi 167.912.
Adapun peruntukan lahan tersebut adalah untuk mendukung program ketahanan pangan yang berlokasi di Kabupaten Humbang Hasundutan; pengembangan Kebun Raya seluas 1120 hektar; Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan kemenyan masyarakat seluas 618 hektar; pengembangan tanaman herbal di Kabupaten Humbang hasundutan; dan TPA Sampah di Kabupaten Simalungun seluas 10 hektar.
Tentu keputusan mengurangi wilayah konsesi ini patut diapresiasi. Sebab selama ini PT TPL menguasai hampir keseluruhan wilayah daratan di hulu Danau Toba.
Pengurangan konsesi ini juga merupakan hasil perjuangan panjang masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil yang peduli lingkungan hidup dan pariwisata di Kawasan Danau Toba.
Namun, perkembangan ini menarik untuk ditelisik lebih jauh. Sejak tahun 2015, ada 11 komunitas masyarakat adat di Tanah Batak yang telah menyampaikan tuntutannya kepada Pemerintah Indonesia, Presiden RI, dan KLHK untuk melepaskan wilayah adatnya dari konsesi PT TPL.
Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pada masa itu memfasilitasi proses penyelesaian konflik tenurial tersebut. Berbagai pertemuan multi-pihak dilakukan sebagai bentuk keseriusan pemerintahan Jokowi-JK dalam pengakuan dan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat.
Hasilnya, pada tanggal 30 Desember 2016, Presiden Jokowi mengundang masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta ke Istana Negara untuk menerima SK pencadangan hutan adat.
Ibu Siti Nurbaya, Menteri LHK pada waktu itu dan di beberapa kesempatan juga berjanji akan segera memproses pengembalian wilayah adat 10 komunitas lainnya dengan luasan sekitar 20.000 hektar.
Tapi kemudian proses ini terhambat oleh belum adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba, dan Samosir.
Beranjak dari janji Ibu Menteri, pada akhir Juli 2020 tepatnya tanggal 28 Juli, keputusan mengeluarkan 16.574 hektar di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Simalungun dari konsesi TPL ibarat angin segar memasuki bulan Kemerdekaan Indonesia yang ke-75.
Anggap saja ini hadiah kecil kemerdekaan bagi Tanah Batak. Tapi hadiah kemerdekaan akan lebih dirasakan oleh komunitas masyarakat adat yang sudah lama berjuang jika wilayah adatnya juga dikeluarkan dari konsesi dan Kawasan hutan negara.
Bahkan hadiah ini jangan sampai menina-bobokan perjuangan komunitas masyarakat adat atas hak-haknya.
Luasan 16.574 hektar lahan tersebut sudah ditentukan peruntukannya seperti disebutkan di atas.
Pertama, lahan lumbung pangan melalui Program Super Prioritas Program Pertanian (SP3) di lahan khusus berkualifikasi tinggi dengan komoditas unggulan kentang, bawang merah dan bawang putih.
Seiring dengan itu dalam dua bulan terakhir telah berkembang isu “food estate” yang kian menggema di Tanah Batak.
Kabarnya Pemkab Humbang Hasundutan bersedia menerima program “food estate” yang ditujukan sebagai pasokan ketahanan pangan nasional dan juga untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Program ini, walau belum dipublikasikan secara luas, namun sudah menjadi perbincangan hangat di beberapa kalangan.
Banyak yang khawatir bahwa skema atau mekanisme penerapan lumbung pangan ini akan menimbulkan masalah bagi masyarakat adat dan petani lokal. Apalagi kabarnya luasannya mencapai sekitar empatbelas-ribuan hektar.
Walaupun asal-usul lahan diklaim dari konsesi TPL, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa lokasi-lokasi yang berada di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan tersebut juga adalah wilayah adat.
Artinya bahwa, pemerintah tidak bisa secara sepihak menentukan lahan tersebut mau diperuntukkan untuk apa.
Masyarakat yang ada di sana harus diberikan informasi sebanyak-banyaknya tentang program ini, termasuk status kepemilikan dan pengelolaan lumbung tanaman pangan tersebut.
Jika tidak, maka situasinya tidak akan banyak berbeda bagi komunitas masyarakat adat. Jika dulu hak adatnya atas lahan dikangkangi oleh PT TPL. Dalam perkembangan terbaru food estate bisa menjadi bentuk lain pengangkangan atas hak adat masyarakat.
Sudah tentu harapan masyarakat bahwa lahan tersebut nantinya akan dikembalikan ke masyarakat di sana dan dikelola sebagai lumbung pangan.
Namun mereka akan keberatan jika peruntukan lahan tersebut dikelola oleh investor besar dengan pemberian izin.
Keberatan dan kekhawatiran ini tidak berlebihan, mengingat adanya pernyataan Direktur Jenderal Hortikultura, Kementan, Prihasti Setyanto terkait sudah adanya lima perusahaan swasta yang berminat untuk berinvestasi dalam pengembangan lahan sekaligus penyerap hasil panen petani.
Di antaranya, yakni PT Indofood Sukses Makmur, PT Wings Food, PT Calbee Wings Food, PT Champ, serta PT Great Giant Pineapple.
Beberapa petani di Pandumaan-Sipituhuta mengatakan, bahwa mereka akan mendukung program ini jika status kepemilikan tanah adalah milik masyarakat adat; bukan milik pemerintah yang akhirnya diberikan izin ke investor asing.
Akhir Juli lalu, menurut Sekretaris Perjuangan Masyarakat Adat, Kersi Sihite, seringkali ada drone yang terbang di wilayah adat mereka. Namun masyarakat tidak mengetahui itu milik siapa.
“Seharusnya kami dilibatkan, jika ada program yang akan dikembangkan di wilayah adat kami,” harapnya.
Artinya, rencana Pemerintah bukan saja tidak mengubah banyak soal hak-hak adat yang dikangkangi, tapi juga mengabaikan partisipasi masyarakat.
Kedua, pengembangan Kebun Raya seluas 1120 hektar. Peruntukan Kebun Raya dan lumbung pangan ini berdasarkan surat Bupati Humbang Hasundutan kepada pemerintah pusat, yakni Surat Bupati No.1705/HH/VI/2020 tanggal 30 Juni 2020.
Kebun Raya ini sendiri belum jelas peruntukannya untuk apa. Walau desas-desus yang berkembang itu akan dijadikan taman bunga nasional dan dikelola oleh Pemkab Humbang Hasundutan. Lokasinya juga berada di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan,
Ketiga, Tanaman Kemenyan masyarakat dan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) seluas 618 hektar berdasarkan surat permohonan dari Rektor IT DEL No.090/ITDEL/REK/SDM/V/20 tanggal 20 Mei 2020. Dari isu yang berkembang, lahan ini, selain untuk pengembangan kemenyan masyarakat, juga akan dikelola oleh IT DEL untuk pengembangan tanaman herbal.
Keempat, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kabupaten Simalungun. Peruntukan ini berdasarkan permohonan dari Bupati Simalungun Nomor 660/11807/7.1/2020 tanggal 19 Juni 2020. Jika melihat dari lampiran peta, bahwa lokasi TPA ini berada di wilayah Sitahoan, Kecamatan Girsang Sipangan-Bolon Parapat.
Kembali ke Surat Permohonan 11 komunitas masyarakat adat di Kawasan Danau Toba yang sudah berjalan hampir lima tahun agar dikeluarkan dari konsesi TPL dan dikembalikan kepada masyarakat adat. Tuntutan ini sudah direspon baik oleh Presiden Jokowi dan Ibu Siti Nurbaya.
Proses demi proses sudah dilalui, syarat-syarat yang diaturkan pun coba dipenuhi. Prosesnya sangat panjang, dan tentunya berliku-liku. Walau pemerintah pusat sudah mengatakan itu hal yang mudah, namun dalam praktiknya masih saja terkendala belum adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten-Kabupaten pemohon.
Jika dibandingkan dengan permohonan Bupati Humbang Hasundutan dan Bupati Simalungun yang baru disampaikan akhir Juni 2020 lalu, dan juga Rektor IT Del yang disampaikan Mei 2020 lalu, sangat mengejutkan, KLHK begitu tanggap terhadap permohonan tersebut.
Hanya tidak kurang tiga bulan, SK Adendum bisa segera dipenuhi. Namun tidak begitu dengan tuntutan masyarakat adat yang hidupnya berada di sana. Perjuangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata karena menyangkut hidup ribuan keluarga anggota masyarakat adat, sudah mengorbankan tenaga, waktu, materi dan bahkan kerap dikriminalisasi dan diintimidasi.
Memang ini ibarat membandingkan apel dengan jeruk, mungkin bukan bandingannya. Tergantung pada siapa yang bermohon dan untuk kepentingan apa. Tapi apapun itu, pengurangan konsesi PT TPL harus diapresiasi, dan akan lebih berarti jika tanah-tanah adat juga dikeluarkan dari konsesi PT TPL.
Sehingga di 75 tahun Indonesia Merdeka, Masyarakat Adat Batak juga merasakan kemerdekaan di tanahnya sendiri.
Penulis merupakan Direktur KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat).