PIRAMIDA.ID- Sejumlah elemen masyarakat sipil menolak ajakan Presiden Joko Widodo untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Mereka memilih untuk melakukan demonstrasi turun ke jalan untuk mendesak Jokowi segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) pembatalan UU Cipta Kerja.
Namun permintaan itu kata pengamat hukum tata negara sulit dipenuhi karena akan menjatuhkan wibawa dan kehormatan pemerintah sebagai pengusul UU Cipta Kerja, sehingga solusinya adalah penerbitan perppu penundaan, bukan pembatalan.
Aliansi Gerakan Rakyat Indonesia bersama Kongres Aliansi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KASBI) akan melakukan demo dari 20-22 Oktober 2020.
Tiga puluh dua konfederasi buruh yang berafiliasi dengan KSPI Said Iqbal juga akan melakukan demonstrasi walaupun belum ditentukan jadwalnya.
Beberapa kelompok ormas Islam juga menyatakan akan berdemonstrasi.
Pada hari Senin (12/10), terjadi beberapa aksi demo di beberapa tempat yang melibatkan buruh, mahasiswa dan kelompok masyarakat, seperti dilakukan oleh Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR) di Medan, Aliansi Gerakan Rakyat di Makassar, Komite Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) di Jakarta, dan beberapa tempat lain seperti di Palembang, Bandung.
Desakan perppu pencabutan UU Cipta Kerja
Kelompok buruh, masyarakat, dan mahasiswa menyatakan akan terus melakukan aksi demonstrasi hingga pemerintah mengeluarkan perppu pencabutan atau pembatalan UU Cipta Kerja.
Juru Bicara Aliansi Gerakan Rakyat Makasar Rizki Anggriana mengatakan, “Kami dari organisasi buruh, tani, nelayan, mahasiswa, pelajar tidak akan berhenti melakukan aksi untuk menuntut rezim hari ini pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Omnibus Law.”
Di Sumatera Utara, Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat atau AKBAR berdemo meminta Jokowi mengeluarkan perppu, Senin (12/10).
“Kami kembali turun ke jalan agar Omnibus Law dibatalkan. Persoalannya bukan pesangon, status PKWT, karyawan tetap semata, tapi ini bentuk pengkhianatan cita-cita NKRI. UU ini akan menjual Indonesia dan isinya kepada investor dan kepentingan kaum modal internasional,” kata Martin Luis, seorang wakil buruh.
Senada, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) meminta presiden menerbitkan perppu, “karena UU berbahaya, sangat liberal, bahkan ultra neo liberal karena mengukuhkan kapitalisme agrarian di Indonesia,” kata perwakilannya Dewi Kartika.
Kemudian, dari Fraksi Rakyat Indonesia, Asfinawati mengatakan jika UU Cipta Kerja dilaksanakan maka akan membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru.
“Demokrasi sedang bergerak mundur, hukum dibuat untuk mengatur kepentingan penguasa, mendisiplinkan dan merampas hak rakyat seolah-olah legal padahal ilegal akibatnya kesejahteraan berkurang, kebebasan berbicara hilang. Selamat tinggal demokrasi, kita resmi masuk ke dalam Neo Orde Baru,” kata Asfinawati.
Kelompok masyarakat tersebut yang tergabung dalan Jejaring Gerakan Rakyat mengancam akan melakukan demo besar dari 20-22 Oktober.
Lalu, 32 konfederasi buruh yang berafiliasi dengan KSPI Said Iqbal juga akan melakukan demonstrasi dan mendesak dikeluarkannya perppu (executive review) atau pembahasan ulang di DPR (legislative review).
“Kami minta dikeluarkan perppu, walaupun presiden sudah tidak berkenan, atau legislative review, melakukan uji legislasi,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Menolak ke MK, mengapa?
Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, menolak mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Bagaimana mungkin rakyat dipaksa mengikuti jalur hukum tapi pembentukan UU sendiri tidak taat hukum. Dari awal, pembahasan UU ini tidak terbuka, partisipasi publik minim, maka kita sebut cacat prosedur dan cacat hukum,” kata Nining.
Arif Minardi, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia mengatakan, serikat pekerja meragukan hasil yang akan diputuskan dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi.
“Kita was-was di MK. Terus terang saja, kami curiga MK tidak netral maka kami akan turun aksi untuk menuntut UU ini dicabut,” kata Arif.
Di tambah lagi, Presiden KSPI Said Iqbal juga memprediksi kecilnya peluang mendapatkan keadilan di MK.
“Kami dapat info ada beberapa kelompok mau mengajukan uji materi klaster ketenagakerjaan ke MK. Jangan-jangan kelompok ini akan membuat dalil pasal lemah sehingga kalah, dan menolak permohonan juga karena mengajukan pasal yang sama, itu berbahaya sekali. Kami membaca pola itu,” kata Said.
Terkait tudingan tersebut, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menegaskan “mengajukan perkara ke MK bukan semata-mata utk mencari menang, melainkan mencari dan menemukan keadilan,” katanya.
Di MK, kata Fajar, seluruh pendapat dan argumentasi konstitusional diberi ruang di persidangan dan putusan MK bergantung pada argumentasi yang dibangun para pihak, alat bukti, dan keyakinan hakim.
“MK dapat menegaskan keadilannya sendiri berdasar konstitusi, yang mungkin tak sejalan dengan harapan pemohon. Situasi itu harus dipahami sebelum mengajukan permohonan. Mengajukan perkara ke MK berarti memercayakan sepenuhnya MK untuk mengadili, jadi apapun putusannya kelak, atas nama hukum dan konstitusi, semua pihak harus menghormatinya,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, “ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja” dapat disalurkan melalui uji materi ke MK.
“Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak silakan diajukan uji materi ke MK,” ujarnya setelah memimpin rapat terbatas secara virtual “tentang undang-undang Cipta kerja bersama jajaran pemerintah dan para gubernur”, Jumat (09/10).
“Saya perlu tegaskan pula Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah atau PP dan peraturan presiden atau Perpres. Jadi setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan.”
“Pemerintah membuka dan mengundang masukan masukan dari masyarakat dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan dari daerah-daerah,” tambahnya.
Pemerintah: Tidak ada alasan berdemo lagi
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, mengatakan tidak ada lagi alasan untuk melakukan demo UU Cipta Kerja.
“Tidak ada legitimasinya karena ada jalur hukum ke MK yang bisa diikuti, dan mereka bisa ikut dalam perumusan rancangan peraturan pemerintah, turunan dari UU itu,” kata Dita.
Ia pun menegaskan tidak mungkin pemerintah akan mengeluarkan perppu pembatalan UU Cipta Kerja.
“Kalau minta dihapus kan sama saja all or nothing, tidak bisa begitu, tidak fair karena UU ini tidak hanya mengurus ketenagakerjaan tapi juga sektor penting lain,” katanya.
Untuk itu, Dita menghimbau agar masyarakat berpartisipasi membahas rancangan peraturan pemerintah (RPP), turunan dari UU Cipta Kerja, dibandingkan berdemo.
“Instruksi presiden membahas RPP jadi areannya sudah beda, bukan lagi bahas pasal di UU tapi pasal di RPP. Jangan ditarik mundur, mari maju ke depan, kami menunggu dan bisa rapat penyusunan minggu ini,” katanya.
Apa jalan tengahnya?
Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menjelaskan hampir tidak mungkin Jokowi mengeluarkan perppu pembatalan karena UU Cipta Kerja merupakan usulan dari pemerintah itu sendiri.
“Pertama, kalau dibatalkan maka wibawa kehormatan pemerintah dan DPR akan jatuh, kedua pembatalan akan menyebabkan hal-hal yang baik dalam Omnibus Law menjadi hilang sama sekali,” katanya.
Untuk itu, Asep menawarkan jalan tengah, yaitu dikeluarkannya perppu penundaan pelaksanaan UU Cipta Kerja.
“Keluar perppu penundaan, misal satu tahun, untuk dilakukan review kembali, didiskusikan lagi. Dan ada untungnya juga, pertama, pilkada takutnya terganggu karena khawatir akan diboikot publik kalau pemerintah terus bergeming tidak melakukan perubahan,” kata Asep.
Kedua, lanjutnya, UU ini bisa dipersiapkan dan dipublikasikan kembali lebih matang dan menemukan jalan terbaik.
“Ketiga, waktu membuat aturan pelaksanannya juga lebih leluasa, bayangkan sekarang dalam waktu tiga bulan mesti dibuat PP dan Perpres, di tengah demo yang menguras tenaga dan pikiran pemerintah, kan tidak realistis,” katanya.
Source: BBC Indonesia