Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Tuna literasi adalah kerugian. Rabun sejarah adalah penyakit yang akan mematikan masa gemilang. Maka, jangan sirami hidup kita dengan kerabunan itu. Sebaliknya, siramilah terus dengan hujan literasi agar merasa tak cukup dengan sejuta buku; semilyar diskusi dan setrilyun riset.
Dengan begitu, masa depan kita bisa gemilang. Kegemilangan yang bisa dimulai dengan pertanyaan, “taukah kalian apa yang diburu para pengelana dan penjajah bangsa Barat di Indonesia?” Tiga hal. Yaitu el-Dorado (emas), el-Picante (bumbu atau rempah), dan budak-budak.
Karena emas, dunia mengenal “jalur sutra.” Karena bumbu dan rempah, dunia mengenal “jalur rempah.” Karena budak, dunia mengenal jalur bipolar: timur-barat dan utara-selatan. Pada jalur rempah dan herbal kita mendapati pengaruh kehidupan Indonesia dan dunia di masa kini. Sebab, karena rempahlah kita dijajah.
Terjajah secara teritori dan pengobatan. Tercerabut dari tradisi kesehatan dan kedokteran asli dan diganti yang tak pasti. Padahal, di sinilah antitesanya. Di sini alternatifnya. Antitesa dari kimia. Alternatif dari racun. Itulah rempah dan herbal.
Rempah dan herbal telah diperdagangkan berabad lamanya sebelum masehi. Perdagangan ini menempuh Asia Selatan hingga Timur tengah dan Eropa, dilakukan oleh pedagang Arab dan Cina. Di masa itu rempah-rempah miliki peranan penting bagi kehidupan, mulai dari urusan citarasa masakan, birahi, pengobatan, kedokteran hingga mengawetkan mayat.
Dengan rempah, perubahan dunia di mulai. Dus, dari Nusantara revolusi peradaban bermula. Buku riset tiga tahun karya Jack Turner (2013) sudah membuktikannya. Menurutnya, sebab musabab kolonialisme dan turunannya adalah rempah-rempah. Turner mengisahkan sejarah panjang rempah-rempah dari segi geopolitik, filosofis, mitos, dan bahkan teologis.
Rempah sang bumbu dapur, kata sederhana tapi mampu menggerakkan penjelajahan dan kehidupan umat manusia sejak ratusan silam. Bahkan genosida pertama karenanya. Bahkan kemakmuran dan kekuasaan terbangun dan diruntuhkan demi kata yang sama, rempah. Rempah telah mengkontruksi ulang peradaban. Rempah bukan saja semata bumbu dapur yang memperkaya rasa kuliner, namun pengobatan, hingga ritual kebudayaan.
Tak terhitung buku dan riset yang lahir bercerita tentang eksotisme dan asosiasi rempah dalam putaran romantisme peradaban manusia. Rempah telah menyihir manusia sebagai kekayaan harta dan jiwa, sejak beribu tahun silam yang lalu hingga sekarang.
Selain mengupas sejarah perdagangan rempah yang menjadi salahsatu faktor penting di balik gelombang imperialisme, ia juga menelaah sisi lain yang menarik dan jarang disorot dari rempah, pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh penting dalam sejarah, kegunaannya dalam berbagai bangsa dan periode, serta mitosnya dengan erotisme percintaan dan alam surgawi.
Berpijak dari argumen di atas, memulai membongkar sejarah rempah adalah titik awal yang tepat soal kita sebagai bangsa modern bermula. Membahasnya melalui sejarah—baik sejarah ekonomi, politik, kebudayaan, maupun sejarah maritim—bisa jadi pemantik bagi penelusuran pengetahuan yang lebih luas lagi.
Mulai dari mana sejarah rempah dan herbal ini kita mulai? Jejak purbanya dari Maluku. Sebab, tak ada Maluku, tak ada Indonesia. Tak ada rempah, tak ada Nusantara. Rempah, Nusantara, Maluku dan Indonesia menjadi sejarah tersendiri hingga kini yang saling berhubungan. Tetapi, yang menghubungkan keempatnya cuma satu: penjajah.
Maka, teritorial sejarah Maluku adalah sekelompok pulau di Indonesia yang merupakan bagian dari Nusantara. Maluku terletak di lempeng Australia. Ia berbatasan dengan Pulau Sulawesi di sebelah barat, Nugini di timur, dan Timor di sebelah selatan, Palau di timur laut. Pada zaman dahulu, bangsa Eropa menamakannya “Kepulauan rempah-rempah.” Tentu saja istilah ini merujuk pada sekelompok pulau di Afrika pada awalnya.
Berikut kukutip semua reviews buku itu di www.bukukita.com. “Sejak 1950-1999, Kepulauan Maluku secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Utara kemudian ditetapkan sebagai Provinsi Maluku Utara. Sejarah Maluku sebagai kepulauan rempah-rempah memang mengandung catatan luka dan impian tak terbayangkan. Negeri-negeri Eropa bertualang dan bersaing ketat untuk memburu rempah-rempah. Maluku yang kaya rempah-rempah itu cepat terkuras oleh kelihaian ulah politik-ekonomi bangsa-bangsa penjajah, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Fragmen awal kolonialisme memang memudahkan orang mengenangkan Maluku. Buku karya Adnan Amal (2010) ini sengaja hadir dengan pelbagai penjelasan sejarah dan argumentasi tentang lakon ekonomi, politik, sosial, dan agama di Maluku Utara. Pembaca tentu tidak sekadar disuguhi oleh fragmen kolonialisme saja, tetapi juga rentangan sejarah panjang mulai dari 1250-1950 yang menegangkan.
Buku ini terbagi dalam 18 bab disertai lampiran-lampiran penting mengenai pelbagai hal. Penulis cukup telaten menarasikan kisah-kisah pada masa kerajaan Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku. Narasi sejarah itu dilacak mulai dari mitos, legenda, folklor, hingga dokumen-dokumen sejarah. Uraian mengenai sejarah Maluku cukup memikat meski pembaca membutuhkan ketelatenan untuk pemahaman utuh mengenai tokoh, peristiwa, atau tahun. Sejarah Maluku pada masa kerajaan memang kerap melahirkan sejumlah intrik politik pelik yang membuat uraian sejarah memiliki banyak belokan.
Penamaan Maluku, misalnya, terus mengundang polemik karena muncul sekian versi mengenai asal-usul dan makna kata. Amal dalam halaman awal menghadirkan perbedaan versi penamaan Maluku. Sumber lokal menyebutkan, Maluku terbentuk dari kata “moloku” dengan arti menggenggam atau menyatukan.”
Dalam versi lain, Maluku memiliki nama asli “Jazirah al-Mulk” yang artinya kumpulan kerajaan. Hal ini karena terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Maluku dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘the three golden from the east’ (tiga emas dari timur) yakni Ternate, Banda dan Ambon. Sebelum kedatangan Belanda, penulis dan tabib Portugis, Tome Pirez menulis buku ‘Summa Oriental’ yang telah melukiskan tentang Ternate, Ambon dan Banda sebagai ‘the spices island (pulau rempah)’ tempat di mana jalur rempah dunia bermula.
Selanjutnya bisa mulai menjelajah Kerajaan Sriwijaya, Banten, Mataram Islam dan kerajaan atau kesultanan masa nusantara. Telaah sejarawan Wiwit Kurniawan (2016) cukup menarik. Menurutnya, kita berada karena pada mulanya adalah rempah. Dari rempahlah tercipta peradaban, kebudayaan dan kekuasaan.
Layaknya ‘logos’ yang menjadi awal mula pencitaan alam semesta. Rempah adalah awal mula peradaban nusantara. Rempah adalah pondasi, tiang, dinding dan sekaligus atap. Tidak ada sendi kehidupan–pada masa tua itu- yang tidak tersentuh dan terjamah oleh rempah. Dari urusan selera di meja makan, mahkota, singgasana, sampai surga dan neraka.
Dengan rempahlah, bangsa-bangsa di nusantara bisa menjelajah dunia, berkuasa dan berjaya. Dengan datangnya imperialisme yang merampok Nusantara, membuat tidak tersisa satu biji rempah pun. Imperialisme telah merenggut rempah nusantara, baik kuantitasnya, maupun petuah dan kedigdayaan yang ada dalam setiap butir bijinya.
Rempah di jaman dulu layaknya dolar di masa kini. Rempah bukan hanya sekedar komoditas, namun juga sebagai alat tukar yang memiliki nilai yang tinggi. Dengan rempah inilah Nusantara berkuasa. Menjelajah dan mengarungi samudra. Dihormati disetiap bangsa yang disinggahi.
Dengan kekuatan yang ada dalam rempah, para kolonial menyadari bahwa untuk menaklukan nusantara mereka harus menaklukan rempah. Monopoli rempah oleh penjajah membuat bangsa kita menjadi bangsa paria. Praktek monolopi dan cara dangang yang kotor tersebut juga berakibat pada jatuhnya citra rempah di mata dunia.
Dengan hilangnya kesaktian dan pesona rempah, hilang pula supremasi dan kedigdayaan bangsa-bangsa Nusantara di antara bangsa lain di dunia. Lewat imperialisme, bukan hanya pusaka-pusaka dan harta nusantara yang diboyong ke Eropa, namun semuanya.
Imperialisme telah merenggut segalanya, kekayaan, kebanggaan, bahkan sejarah kita. Kita menjadi bangsa yang fakir, kehilangan jati diri dan kehilangan masa lalu. Cerita tentang bagaimana rempah telah mengubah dan mempengaruhi dunia adalah sebuah sejarah yang telah dihapus dari ingatan kolektif bangsa-bangsa Nusantara.
Adanya jalur rempah semakin pudar dari ingatan. Tidak banyak masyarakat Indoneisa yang mengetahui bahwa dulu Nusantara memiliki jalur perdagangan yang ramai dan luas. Jalur perdagangan yang menjadikan Nusantara sebagai poros peradaban dunia. Jalur yang menyatukan Barat dan Timur, dan mempertemukan ratusan kebudayaan dan tradisi dari berbagai benua.
Akibat kuasa diskurus orientalisme, sejarah tentang imperium Sriwijaya juga hanya dijadikan mitos. Bangsa Nusantara telah lupa akan kebesaran nenek moyang mereka. Kita telah lupa akan fakta bahwa Sriwijaya telah menguasai laut dengan armadanya yang kuat dan telah melakukan perdagangan global dengan menjadikan rempah sebagai komoditas andalan. Bangsa kita ini telah dijauhkan dari berbagai hal tentang laut. Kita bukan lagi menjadi kekuatan utama maritim dunia.
Sejak ribuan tahun lalu, Rempah nusantara telah menghangatkan dinginnya benua di utara, menyembuhkan penyakit-penyakit di wilayah belantara, mengkultusakan ritual-ritual di setiap agama. Kala itu, tidak ada suatu bangsa pun yang tidak membutuhkan rempah. Dengan rempah yang berlimpah, dan penguasaan atas laut, membuat Sriwijaya menjadi imperium yang sangat adidaya.
Sudah saatnya kita belajar dari sejarah. Bangsa yang tidak memiliki sejarah adalah bangsa yang tidak memiliki masa depan. Oleh karena itu, kita harus mengenal sejarah sebagai refleksi dan motivasi dalam membangun masa depan. Dari sejarah Kedatuan Sriwijaya dan jalur rempah, kita belajar bahwa Indonesia adalah bangsa maritim yang besar, berperadaban dan bermartabat.(*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).